Kamis, 20 September 2007

Rekor Koruptor "Top Markotop"

 
#Penerima lain: medi...@yahoogroups.com
 
 
* Soeharto Inc. striking back? & Data Bank Dunia Korupsi Soeharto
            KOMPAS - Kamis, 20 September 2007
            Rekor Koruptor "Top Markotop"
            M Fadjroel Rachman
            
Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa, patut diacungi jempol karena ia meluncurkan program global
Stolen Asset Recovery Initiative di Markas Besar PBB, New York
(Senin, 17/9). Korupsi di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia,
adalah kejahatan terhadap umat manusia (crimes against humanity),
bukan sekadar kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dan yang
terpenting, korupsi di suatu negara kini bukan lagi masalah negara
itu sendiri, tetapi sudah menjadi kepedulian semua bangsa dan negara
di dunia.
            "From now on it should be harder for kleptocrats to
steal the public's money, and easier for the public to get its
money back," kata Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif UN Office
on Drugs and Crime (UNODC), badan PBB yang bertanggung jawab atas
program Stolen Asset Recovery (StaR) Initiative ini.
            Alhasil, Soeharto dan keluarganya kini tak boleh buru-
buru senang dengan putusan Mahkamah Agung yang mengganjarnya ganti
rugi Rp 1 triliun atas kemenangannya terhadap majalah Time yang
membeberkan kekayaan keluarga Cendana ini mencapai miliaran dollar
AS, yang diduga hasil KKN selama berkuasa. Menurut versi StAR PBB,
Soeharto menduduki peringkat pertama koruptor dunia, "menggelapkan"
15 miliar-35 miliar dollar AS.
            Korupsi Soeharto
            Indonesia ikut menandatangani UN Convention against
Corruption (2003), tentu terikat menyukseskan program StAR.
Kehadiran Adiyatwidi Adiwoso, Deputi Perwakilan Tetap RI untuk PBB,
dan Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Internasional
Departemen Luar Negeri RI, menegaskan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) harus bergerak cepat menuntaskan
kasus korupsi yang disorot Sekjen PBB Ban Ki- moon dan UNODC.
            SBY harus bergerak cepat? Karena StAR Initiative PBB
(Lihat http://siteresources. worldbank.org/NEWS/Resources/Star- rep-
full.pdf) menegaskan fokus program pada sepuluh nama, high earning
political leaders who have been accused of corruption and stealing
from the people, yaitu
(1) Soeharto, Indonesia (1967-1998), 15 miliar- 35 miliar dollar AS;
(2) Ferdinand E Marcos, Filipina (1972-1986), 5 miliar-10 miliar
dollar AS;
(3) Mobutu Sese Seko, Kongo (1965-1997), 2 miliar-5 miliar dollar S;
(4) Sani Abacha, Nigeria (1993-1998), 2 miliar- 5 miliar dollar AS;
(5) Slobodan Milosevic, Serbia/Yugoslavia (1989-2000) 1 miliar
dollar AS;
(6) Jean- Claude Duvalier, Haiti (1971-1986), 300 juta-800 juta
dollar AS;
(7) Alberto Fujimori, Peru (1990-2000), 600 juta dollar AS;
(8) Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996-1997), 114 juta-200 juta dollar
AS;
(9) Arnoldo Aleman, Nikaragua (1997-2002), 100 juta dollar AS; dan
(10) Joseph Estrada, Filipina (1998- 2001), 78 juta-80 juta dollar
AS.
Yang terakhir ini malah sudah dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup, sementara Soeharto masih bisa tertawa
gembira ketika diberi tahu ia menang atas Time.
            Pengumuman PBB seolah membenarkan laporan Time (Asia)
yang menemukan harta Soeharto Inc senilai 15 miliar-73,4 miliar
dollar AS. Keputusan MA jelas mengancam kebebasan pers nasional dan
internasional, ketakberpihakan hukum, mengabaikan UU Pers, dan
menihilkan investigasi empat bulan Time (Asia) di seluruh dunia
melalui cover both sides.
            Kebenaran investigasi Time (Asia), selain ditegaskan
PBB, juga melalui tindakan Jaksa Agung Hendarman Supandji
menyidangkan Yayasan Supersemar Soeharto dan Badan Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh (BPPC) Tommy Soeharto, selain upaya merebut uang
Soeharto Inc, senilai 36 juta euro di BNP Paribas, cabang Guernsey,
Inggris. Walaupun uang 10 juta dollar AS raib entah ke mana—
dipulangkan atas bantuan dua mantan Menhuk dan HAM, Yusril
Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin, tak diusut sama sekali oleh
Hendarman Supandji—tetapi arah investigasi Time (Asia), tindakan
Jaksa Agung, dan ikrar Sekjen PBB Ban Ki-moon sejajar untuk melawan
korupsi di seluruh dunia.
            Korupsi itu kejahatan
            Mimpikah mengejar harta koruptor kelas dunia? Filipina
membuktikan ketegasannya, perlu 18 tahun memperoleh 624 juta dollar
AS hasil korupsi Marcos yang disimpan di Swiss. Penulis bertemu
Ketua Presidential Commission on Good Government (PCGG) Heydi Yorac
(almarhum) di Manila. Ia mengatakan, "Soalnya bukan berapa lama atau
berapa uang korupsi yang kembali, tetapi Filipina secara moral
menegaskan korupsi itu adalah kejahatan. Korupsi itu salah."
            Karena itu, SBY juga harus membentuk komisi nasional
semacam PCGG untuk menuntaskan masalah Soeharto Inc. Rakyat dan
dunia pasti mendukungnya.
            Joseph Estrada, mantan Presiden Filipina (1998-2001)—
pencuri kelas dunia urutan kesepuluh PBB dan hanya mencuri 78 juta-
80 juta dollar AS uang negara—dijatuhi hukuman penjara seumur hidup
pada Rabu, 12 September 2007 oleh Sandiganbayan, pengadilan khusus
korupsi Filipina, yang persidangannya enam tahun lebih.
            Kenapa korupsi adalah musuh umat manusia? Ban Ki-moon
menegaskan, harta negara yang dikorupsi dapat membiayai program
sosial dan infrastruktur publik. "Every 100 million dollars
recovered could fund full vaccinations for 4 million children,
provide water connections for some 250,000 households, or fund
treatment for over 600,000 people with HIV/AIDS for a full year."
Tentu korupsi Soeharto, jika berhasil dikembalikan ke kas
negara, bisa menyelamatkan 120 juta rakyat miskin Indonesia, yang
hidup dengan 2 dollar AS per hari, 40 juta pengangguran (tertutup
dan terbuka), serta ribuan anak-anak busung lapar yang terancam maut
di Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah lain hari ini.
            M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi
dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
======================================
KOMPAS, Kamis, 20 September 2007
      Laporan Korupsi
      Presiden Akan Bertemu Bank Dunia
      Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-
sela kunjungan kerjanya di New York, Amerika Serikat, 22-26
September 2007, dijadwalkan akan bertemu dengan Presiden Bank Dunia
Robert B Zoellick.
      Presiden Yudhoyono dalam pertemuannya dengan Bank Dunia
tersebut akan membicarakan temuan Bank Dunia menyangkut mantan
Presiden Soeharto yang menempati urutan pertama daftar pemimpin
politik dunia yang diperkirakan mencuri kekayaan negara dalam jumlah
besar selama kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir.
      "Presiden akan minta kejelasan bagaimana rencana mereka (Bank
Dunia dan PBB) soal ini," kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda
seusai bertemu Presiden di Jakarta, Rabu (19/9).
      Dalam buku panduan StAR Initiative, nama Soeharto dimasukkan
dalam daftar paling atas di antara sejumlah figur yang
diduga "mengambil" kekayaan negara. Untuk Soeharto, dugaan aset yang
dicurinya 15 miliar-35 miliar dollar AS, paling tinggi dibandingkan
dengan mantan kepala negara lainnya.
      Salah satu pengacara Soeharto, Mohammad Assegaf, mengecam
pencantuman nama itu karena nilai aset Soeharto di daftar itu bukan
berdasarkan investigasi yang saksama.
      Saat ini Tim Pengembalian Aset di Washington DC dan akan
berbicara dengan Bank Dunia. Tim terdiri atas aparat Kejaksaan
Agung, Departemen Luar Negeri, dan Kepolisian Negara RI. "Kita ingin
mendapatkan konsep secara pasti," ujar Menlu.
      Hassan menilai inisiatif PBB dan Bank Dunia untuk meluncurkan
StAR bertujuan membantu negara berkembang melacak dana hasil
korupsi. "Kalau upaya ini efektif, bisa membantu pengembalian dana-
dana Indonesia yang dilarikan ke luar negeri," ujarnya.
      Menurut Hassan, inisiatif Bank Dunia dan PBB itu bisa efektif.
Bank Dunia punya jaringan dengan berbagai bank di negara-negara
maju. Namun, syaratnya, Bank Dunia mampu memengaruhi bank-bank itu
agar mau membuka data soal simpanan hasil korupsi, tanpa menunggu
munculnya kasus di pengadilan.
      Pemerintah Swedia, dibantu Perancis dan Cile, bersedia
membiayai penyelidikan yang dilakukan Bank Dunia untuk melacak dana-
dana hasil korupsi.
      Staf Khusus Jaksa Agung Budiman Rahardjo di Kejagung
menegaskan, Bank Dunia sudah menyerahkan dokumen data penelitian
lembaga Konsultan Risiko Politik dan Ekonomi (PERC) kepada Jaksa
Agung Hendarman Supandji. Data tersebut dikumpulkan dari bank-bank
di seluruh dunia sejak Soeharto lengser.
(AFP/MON/INU/OKI/VIN)
====================================
* Soeharto Inc. striking back? & Data Bank Dunia Korupsi Soeharto =
================================
SUARA PEMBAHARUAN, Kamis, 20 September 2007 WACANA
      TAJUK RENCANA
      Predikat Negara Terkorup Makin Melekat
      Sudah berkali-kali Indonesia masuk daftar negara terkorup di
dunia dan bahkan masuk di peringkat pertama versi Transparency
International (TI). Kini predikat itu semakin mantap dan lebih
melekat setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia
merilis daftar pemimpin dan pejabat terkorup. Dalam daftar tersebut
nama mantan Presiden Soeharto masuk di peringkat teratas dengan
perkiraan dana yang dicuri antara 15 miliar dolar
AS hingga 35 miliar dolar AS selama periode 1967-1998. Peringkat
kedua mantan diktator Filipina Ferdinand Marcos namun dengan
perkiraan jumlah dana yang dikorup ''hanya'' sepertiga Pak Harto.
      Kalau data itu benar dan rencana PBB dan Bank Dunia memburu
harta yang dikorup itu benar-benar dilakukan tentu akan sangat besar
sekali manfaatnya karena sebagian besar adalah negara-negara sedang
berkembang. Bayangkan 15 miliar dolar AS itu berarti hampir Rp 150
triliun. Dan kalau 35 miliar dolar AS itu berarti lebih Rp 300
triliun. Jumlah yang sangat mencengangkan dan juga sepertinya tidak
masuk akal. Tetapi tentu lembaga itu tidak sembarangan
dalam menginvestigasi dan memperoleh data. Kalau seperempat saja
yang bisa dilacak dan dikembalikan maka itu akan sangat berarti bagi
negara walau kita tahu tentu tidak mudah.
      Sejauh ini pengacara keluarga Soeharto menyangkal data yang
diungkap PBB dan Bank Dunia tersebut karena dinilai sama sekali
tidak berdasar. Apapun semua yang sudah diungkap dan dipublikasikan
secara luas akan sangat memukul kita. Baru beberapa hari setelah
Mahkamah Agung memenangkan Pak Harto dan mengharuskan majalah Time
membayar ganti rugi Rp 1 triliun karena telah menulis laporan
tentang kekayaan dan sepak terjang bisnis keluarga
Cendana. Sekarang kita harus menghadapi kenyataan pahit karena
secara tidak langsung kedua lembaga internasional itu membenarkan
apa yang ditulis Time.
      Apalagi Bank Dunia juga mengaitkan kasus itu dengan kegagalan
negara sedang berkembang dalam memberantas kemiskinan. Yang lebih
memojokkan Indonesia adalah kenyataan hingga sekarang belum ada
proses hukum yang lebih maju atas diri mantan presiden Soeharto.
Masih lebih baik Filipina karena sudah ada 624 juta dolar AS harta
Marcos yang berhasil dikembalikan ke negara. Dan belum lama ini
mantan presiden Joseph Estrada yang juga masuk daftar, divonis
hukuman seumur hidup karena terbukti melakukan korupsi. Jadi
semakin lengkaplah predikat kita yakni bukan saja negara terkorup
tetapi juga lemah dalam penegakan hukum.
      Bagi kita apa yang sudah dilansir PBB dan Bank Dunia haruslah
disikapi serius terutama dengan melanjutkan proses hukum. Setidaknya
bahan-bahan itu bisa dijadikan masukan. Bukan sebaliknya kita hanya
terlibat lagi dalam pro dan kontra soal kebenaran data tersebut.
Semua itu akan berpengaruh besar bagi pencitraan Indonesia di mata
internasional. Kalau sudah sering dinyatakan terkorup dan ternyata
tak ada tindakan nyata untuk memberantasnya maka akan semakin
terpuruklah kita. Jangan lupa ini akan sangat terkait
dengan iklim usaha dan keputusan-keputusan investor asing yang
sangat dinantikan kedatangannya.
      Predikat negara terkorup mungkin masih akan melekat untuk
waktu yang cukup panjang. Tak perlu disesali karena itu adalah
bagian dari dosa kita di masa lalu. Namun kalau kita berhasil
menunjukkan tekad untuk berubah dan komitmen tinggi untuk memerangi
korupsi maka secara bertahap citra itu pasti akan membaik.
Belakangan ini ''prestasi'' yang ditunjukkan aparat hukum
terutama dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai
kelihatan. Meskipun tentu masih jauh dari memuaskan dan masih
terkesan tebang pilih. Kita pun perlu menyatukan sikap menghadapi
kasus Pak Harto karena bisa luas implikasinya.
========================================
* Bank Dunia Serahkan Data Soeharto
 Jawapos - Kamis, 20 September 2007
JAKARTA - Bank Dunia bergerak cepat dalam memburu mantan Presiden
Soeharto yang ditempatkan sebagai mantan penguasa terkorup. Lembaga
kredibel itu kemarin menyerahkan segepok dokumen kepada Kejaksaan
Agung (Kejagung). Data-data itu berisi tentang uang milik mantan
penguasa Orde Baru tersebut yang tersimpan di sejumlah bank di luar
negeri (LN).
Dokumen itu diterima langsung oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji
dalam pertemuan yang berlangsung di Gedung Bundar. Bank Dunia
diwakili Kepala Kantor Perwakilan Bank Dunia di Jakarta Joachim von
Amsberg.
Hendarman yang menganggap serius persoalan itu mengajak serta Wakil
Jaksa Agung Muchtar Arifin, Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAM
Pembinaan) Parnomo, serta Asisten Khusus (Asus) Budiman Rahardjo.
Data dari Bank Dunia tersebut bisa menjadi amunisi baru untuk
mengusut Soeharto. "Isi dokumen itu bisa menjadi titik awal untuk
menelusuri uang Soeharto di luar negeri yang terkait dengan kasus
korupsi," kata Budiman setelah pertemuan dengan jajaran Bank Dunia
kemarin (19/9).
Menurut dia, dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengumpulkan data-
data berisi uang Soeharto yang tersimpan di seluruh bank di luar
negeri. "Data-data itu dikumpulkan sejak jatuhnya Soeharto pada
1998," jelas mantan Aspidsus Kejati Jawa Timur tersebut.
Jaksa agung bakal menyerahkan dokumen itu kepada bagian pidana khusus
(pidsus) dan perdata/tata usaha negara (datum) untuk digunakan
memproses hukum kasus korupsi Soeharto.
Selain itu, kata Budiman, Bank Dunia menyerahkan materi-materi hasil
survei lembaga bermarkas di Hongkong, Political and Economic Risk
Consultancy (PERC), yang menempatkan RI sebagai negara terkorup nomor
wahid.
Bank Dunia menyodorkan dokumen itu ketika jaksa agung menyinggung isi
pemberitaan yang menempatkan Soeharto pada peringkat pertama mantan
kepala negara terkorup. "Bila dimungkinkan, (kejaksaan) mendapat data
detail tanpa melanggar prinsip-prinsip kerahasiaan bank," jelasnya.
Selasa lalu, Bank Dunia dan PBB lewat program The Stolen Asset
Recovery Initiative (StAR) merilis Soeharto sebagai mantan penguasa
paling korup. Dia diduga telah mencuri uang rakyat senilai USD 15
miliar-USD 35 miliar atau sekitar Rp 130 triliun-Rp 330 triliun. Di
bawah Soeharto, ada mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan
mantan Presiden Zeire Mobutu Seseko.
Data dari Bank Dunia dan PBB tersebut juga langsung direspons
Presiden SBY. Pekan depan, dia segera bertemu Presiden Bank Dunia
James D. Wolfensohn untuk membahas aksi konkret lembaga dunia itu.
Selama sepekan, 22-27 September, SBY akan bertolak ke New York, AS,
menghadiri Sidang Umum PBB. Di sela-sela itulah dirinya akan bertemu
James D. Wolfensohn. Rencana tersebut kemarin dimatangkan SBY dengan
mengadakan rapat terbatas bersama para menteri.
Para menteri itu adalah Menko Polhukam Widodo A.S., Menko Kesra
Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian Boediono, Menteri Luar Negeri
Hassan Wirajuda, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri
Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, serta anggota Wantimpres Ali
Alatas dan Emil Salim.
Menlu Hassan Wirajuda membenarkan soal rencana SBY bertemu presiden
Bank Dunia tersebut. "Tujuannya, meminta kejelasan mengenai rencana
dan inisiatif presiden Bank Dunia dan PBB untuk membantu negara-
negara berkembang yang mengalami persoalan larinya harta atau modal
dari negara berkembang ke negara maju akibat korupsi," ungkapnya
setelah rapat terbatas di Kantor Presiden kemarin.
Indonesia sangat berharap upaya tersebut bisa terealisasi. Menurut
Hassan, upaya itu diharapkan bisa membantu mengembalikan dana yang
lari ke luar negeri. "Ini memang kampanye pada tingkat global. Bagi
kita, kalau efektif, upaya tersebut akan membantu upaya-upaya kita
dalam asset recovery," ujarnya.
Dia menyatakan tidak mudah mengembalikan harta yang dikorupsi dan
kemudian disimpan di luar negeri. Selama ini, Indonesia mengalami
kesulitan, terutama di negara-negara yang belum memiliki perjanjian
ekstradisi.
Menurut Hassan, pihaknya belum memastikan apakah benar Soeharto masuk
urutan pertama mantan kepala negara yang mencuri uang rakyat. Karena
itu, dalam pertemuan nanti, semua diperjelas. Hanya, kata dia,
pengembalian aset tersebut tidak hanya untuk kasus Soeharto, tapi
juga menyangkut aset-aset lain yang dilarikan tokoh lain.
Tawari Kejagung Berpartisipasi
Asisten Khusus Jaksa Agung Budiman Rahardjo menjelaskan, rilis PBB
dan Bank Dunia itu didasarkan pada hasil penelitian Transparency
International (TI) yang sebelumnya dipublikasikan. "Mereka bilang itu
data lama," jelas jaksa berbintang satu tersebut.
Meski demikian, Bank Dunia tetap akan menyerahkan data lebih akurat,
sehingga tidak menutup kemungkinan ada data baru.
Saat ditanya apakah kejaksaan jauh-jauh hari punya data mirip yang
dilansir StAR Initiative, Budiman tidak bisa memastikan. "Kami masih
meneliti, apakah kami punya data tersebut atau data itu benar-benar
baru," ujar jaksa berkacamata tersebut.
Saat disinggung soal StAR Initiative, dia menyatakan, Bank Dunia
menawari kejaksaan untuk ikut dalam program tersebut. Jika tertarik
terlibat, kejaksaan bisa mengajukan surat permohonan. "Bank Dunia
nanti menindaklanjuti dengan mengidentifikasi permasalahan dalam
kerja sama tersebut," jelasnya.
Selain itu, kejaksaan dan Bank Dunia bersepakat mengintensifkan
komunikasi dengan membentuk petugas penghubung alias liaison officer
(LO) untuk membahas rilis StAR Initiative. Di kejaksaan, petugas
penghubung tersebut akan diproses oleh bagian JAM Pembinaan.
Di tempat terpisah, Ketua Tim Pemburu Koruptor (TPK) Muchtar Arifin
mengungkapkan, TPK dan kejaksaan belum punya rencana membentuk tim
pemburu aset Soeharto. "Kami baru tahap menargetkan pencarian 18
buron kasus korupsi. Itu dulu yang kami prioritaskan," tegasnya
kemarin.
Meski demikian, dia menyatakan gembira atas rilis StAR Initiative
tersebut karena bisa membantu program kerja TPK serta kejaksaan.
Pernah Dilacak ke Swiss
Di tempat terpisah, salah satu pengacara Soeharto, Juan Felix
Tampubolon, menegaskan, kliennya tidak terkejut atas langkah Bank
Dunia menyerahkan dokumen ke kejaksaan. Sebab, dari dokumen yang
dimiliki tim pengacara, Soeharto tidak punya sepeser pun uang yang
tersimpan di bank luar negeri. "Kalaupun dikejar uangnya, nanti
sia-sia. Upaya itu sudah dilaksanakan sembilan tahun lalu. Dan,
hasilnya nol besar," kata Juan Felix ketika koran ini tadi malam.
Dia menegaskan, kejaksaan hanya dijadikan alat oleh pihak tertentu
yang kurang menyukai Soeharto. "Anda tahu siapa pemasok data di balik
data Bank Dunia itu. Orangnya itu-itu saja. Mereka adalah yang kalah
melawan kami dalam kasus Time," kata Juan Felix. Pengacara penghobi
bola itu mempertimbangkan untuk menggugat para pihak yang masih
mengusik kekayaan kliennya.
Upaya pelacakan aset Soeharto di luar negeri bukan sekali
dilaksanakan. Pada 11 September 1998, Swiss bersedia membantu RI
melacak rekening-rekening Soeharto pada bank-bank di Swiss.
Selanjutnya, pada 11 Juni 1999, Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri
Kehakiman Muladi terbang ke Swiss. Mereka ingin menelusuri aliran
dana Soeharto senilai USD 9 miliar yang tersimpan di salah satu bank.
Namun, mereka pulang dengan sia-sia. Tak diketahui penyebab kegagalan
memulangkan aset milik mantan penguasa Orde Baru tersebut.
Begitu pulang dari Swiss, pada 11 Oktober 1999, Kejagung mengeluarkan
surat perintah penghentian penyidikan alias SP3 terhadap kasus
korupsi tujuh yayasan dengan tersangka Soeharto.(agm/tom)
=============================
* Presiden ke Amerika Bahas Perburuan Harta Soeharto
 Koran Tempo - Kamis, 20 September 2007
JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan bertemu dengan
Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick di New York untuk meminta
penjelasan lebih lanjut mengenai inisiatif baru di bidang antikorupsi
yang disebut Prakarsa StAR (Stolen Asset Recovery Initiative). Sabtu
mendatang, Presiden akan melawat ke Amerika Serikat guna menghadiri
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konferensi perubahan iklim
dunia.
"Ada kemungkinan Presiden akan meminta kejelasan bagaimana rencana
Bank Dunia mengenai hal ini," kata Menteri Luar Negeri Nur Hassan
Wirajuda setelah mengikuti rapat terbatas di kantor kepresidenan
kemarin.
Dua hari lalu Bank Dunia dan PBB meluncurkan Prakarsa StAR, yang
bertujuan membantu negara-negara berkembang mendapatkan kembali aset
yang telah dicuri dan disembunyikan di luar negeri oleh para pemimpin
negara yang korup. PBB dan Bank Dunia memperkirakan 25 persen dari
pendapatan domestik bruto negara-negara Afrika, atau sekitar Rp 1.400
triliun, amblas dikorupsi.
Dalam laporan itu, mantan presiden Soeharto berada di peringkat
pertama sebagai pemimpin otoriter yang mencuri aset negara paling
banyak selama ia berkuasa. Besarannya ditaksir mencapai US$ 15-35
miliar.
Menteri Hassan menyambut positif prakarsa tersebut. "Ini penting
karena tidak mudah mengembalikan harta yang dikorupsi dan disimpan di
luar negeri. Untuk itu, kita memerlukan dukungan masyarakat
internasional," ujarnya.
Hassan mengaku belum mengetahui mekanisme prakarsa tersebut. Ia
menduga melalui program ini Bank Dunia dan PBB akan mempengaruhi
bank-bank di negara maju untuk lebih terbuka memberikan informasi
tentang keberadaan dana yang diduga merupakan hasil korupsi.
Dia mencontohkan, dalam kasus sengketa duit Tommy Soeharto di Banque
Nationale de Paris Paribas yang diklaim pemerintah, bank tersebut
baru mau terbuka setelah gugatan diajukan. "Mereka tidak terlalu
terbuka, kecuali ada perkara," kata Menteri Hassan. "Mudah-mudahan
inisiatif ini bisa membantu."
Menurut Hassan, tim penelusuran dan pengembalian aset pemerintah saat
ini telah berada di Washington untuk membahas hal ini dengan Bank
Dunia. Tim yang beranggotakan jaksa, polisi, dan staf Departemen Luar
Negeri ini juga akan membicarakan pelatihan personel yang akan
dilibatkan dalam upaya tersebut.
Dalam kesempatan terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan
kurang tertarik dengan data PBB dan Bank Dunia bila tak dilengkapi
dengan bukti konkret. "Minimal data ini akan jadi titik awal bagi
penelusuran atas aset negara," ujar Hendarman setelah menerima
perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim Von Almsberg, di
Kejaksaan Agung kemarin.
Menanggapi hal itu, Von Almsberg mengatakan data yang dirilis Bank
Dunia dihimpun dari informasi media massa. Data tersebut akan dicek
ulang ke seluruh bank di dunia. "Jika Indonesia berminat, silakan
mengajukan permohonan ke PBB," ujarnya.
Direktur Perdata dan Tata Usaha Negara Yoseph Suardi Sabda mengatakan
pihaknya akan mempersiapkan gugatan penarikan aset bila Bank Dunia
dan PBB menunjukkan bukti-bukti. "Kalau cuma data, kami tidak
tertarik."
SUTARTO | SANDY INDRA PRATAMA
=====================================
* Swiss Siap Kerja Sama Pulangkan Duit Koruptor
Koran Tempo - Kamis, 20 September 2007
BERNE --- Pemerintah Swiss kemarin menyatakan akan mendukung upaya
dunia internasional membantu mengembalikan miliaran dolar uang yang
ditilap sejumlah pemimpin negara berkembang dan disimpan di sejumlah
bank di Swiss.
"Kami bersedia bekerja sama," ujar Menteri Luar Negeri Swiss
Micheline Calmy-Rey. Kerja sama itu, kata Calmy-Rey, bisa berbentuk
pembekuan aset, restitusi, dan laporan penggunaan uang yang
diperoleh dari hasil korupsi.
Pemerintah Swiss juga memastikan mereka mendukung penuh program yang
diberi nama Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) atau Prakarsa
Pengembalian Aset Curian, sebuah program kerja sama Bank Dunia dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Direktur Jenderal Hukum Internasional Departemen Luar Negeri Swiss
Paul R. Seger bahkan mengatakan pihaknya ikut terlibat membuat konsep
dasar StAR. "Sangat tepat, dibutuhkan, dan penting," ujarnya
mengomentari konsep StAR.
Dalam salah satu dokumen StAR itu juga disebutkan laporan soal mantan
presiden Soeharto. Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu
dikaitkan dengan hilangnya aset Indonesia sebesar US$ 15-35 miliar
(sekitar Rp 141-327 triliun) selama kurun 1967-1998.
Tak aneh apabila Bank Dunia dan PBB menempatkan Soeharto di urutan
teratas daftar penguasa paling korup di dunia. Laporan itu datang
sepekan setelah Mahkamah Agung memerintahkan majalah Time membayar
ganti rugi sekitar Rp 1 triliun atas pencemaran nama baik akibat
laporan khususnya seputar dugaan korupsi Soeharto.
Selain mencantumkan Soeharto, dokumen itu menempatkan mantan penguasa
Filipina, Ferdinand Marcos, dan Mobutu Sese Seko dari Zaire, di
urutan kedua dan ketiga terbesar sebagai penjarah kekayaan negara.
Tabel di dokumen PBB itu menunjukkan bahwa Marcos menjarah sekitar
US$ 5-10 miliar uang Filipina. Sedangkan Mobutu diduga
menyelewengkan sekitar US$ 5 miliar uang negaranya.
Pemerintah Swiss sudah lama menyatakan negara itu bukan lagi surga
bagi para koruptor yang hendak menyimpan kekayaan mereka di sejumlah
bank di sana. Seiring dengan itu, pemerintah Swiss menerapkan
sejumlah aturan baru yang mengatur pencucian uang. Sebagaimana
dikutip Swissinfo, pemerintah Swiss sudah memulangkan US$ 1,6
triliun uang hasil korupsi. Di antaranya, pengembalian US$ 700 juta
milik diktator Sani Abacha ke Nigeria, juga simpanan US$ 684 juta
kepunyaan Ferdinand Marcos ke tangan kas negara Filipina.
Menurut catatan PBB dan Bank Dunia, pengembalian itu memerlukan waktu
lama. "Delapan belas tahun untuk uang Marcos dan lima tahun proses
pemulangan uang Abacha," demikian dikatakan dalam laporan itu.AP |
AFP
| BBC | DPA | ANDREE PRIYANTO
=======================================
Opinion News - Thursday, September 20, 2007
http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?
fileid=20070920.E03&irec=2
George Junus Aditjondro, Yogyakarta
"We are watching Soeharto Inc. striking back," political and economic
analyst Christianto Wibisono told me in a text message about the
Supreme Court's decision to order Time magazine to pay Rp 1 billion
(US$106 million) to former president Soeharto for libel. Time was
found guilty of insulting the former dictator for alleging he and his
family illegally amassed billions of dollars during his 32-year rule.
Christianto was certainly inspired by the movie Star Wars: The Empire
Strikes Back. But is his concern about the possibility that Soeharto
and his extended family are returning to political and economic power
valid? The answer is yes and no.
Certainly, there are worries the family and cronies of Soeharto are
wrestling to regain the political and economic powers they wielded
before Soeharto was forced to step down in May 1998.
On the other hand, the Attorney General's Office (AGO) and the
judiciary have taken steps to unravel Soeharto's economic oligarchy,
as evident in the imprisonment of his youngest son Hutomo "Tommy"
Mandala Putra, half-brother Probosutedjo and former golfing buddy Bob
Hasan.
The oligarchy's comeback was seemingly marked by the opening of
Tommy's newest business ventures in Surakarta, his late mother's
hometown. But more important is his plan to file a libel lawsuit
against the State Logistics Agency (Bulog) and demand Rp 1 billion in
damages, just after breaking the all-time record for prison sentence
remissions.
The move comes as the AGO is suing Tommy's grocery company, PT Goro
Batara Sakti, for Rp 500 million in damages for causing Bulog to lose
public funds in a land-swap deal in 1995.
The state prosecutors are also investigating a financial scandal
involving Tommy, namely the Rp 145 billion in alleged state losses
caused by Tommy's clove buffer stock agency BPPC. The agency's
monopoly over all clove produced and traded in Indonesia was granted
through a presidential decree, which violated all relevant laws on
cooperatives and free trade.
It's quite interesting in this context to watch the controversial
appointment of businessman Nurdin Halid, Tommy's former business
partner, to the House of Representatives representing Golkar Party.
Nurdin headed the national cooperatives body (Inkud), which served as
a procurement body for BPPC, and after leaving Puskud with big losses
was appointed by Tommy to direct PT Goro Batara Sakti.
Golkar is considering pulling Nurdin from the House after the Supreme
Court found him guilty of embezzling Rp 169.7 billion in Bulog funds
allocated for the distribution of palm oil in 1998.
It seems that for Tommy the best defense is offense. In that light,
one can see Soeharto's victory over Time magazine as part of this
strategy.
The former president badly needed this victory, since he himself is
facing AGO accusations that a foundation he chaired during his
presidency, Yayasan Supersemar, misused its funds to enrich the First
Family and their cronies. The attorney general is demanding $420
million and Rp 185 billion in material damages, plus Rp 10 trillion
in non-material damages from Soeharto.
Now, having to face Soeharto's defense lawyers, eager to collect the
Rp 1 trillion penalty from the Time Asian edition, the magazine's
lawyers and journalists will have their plates full in the coming
weeks. Not much time, energy and financial resources may be left to
report on the AGO's numerous cases against the former president and
his relatives.
At the end of the day, what we may see in the coming days are simply
prolonged battles between highly paid lawyers defending Soeharto and
Time, and poorly paid AGO lawyers desperately trying to take Soeharto
and his youngest son to court.
A badly played drama indeed, since charges leveled against Soeharto
are not necessarily the most crucial ones. Likewise the laws applied
to accuse members of the former First Family and their friends are
not the most effective either.
Law No. 15/2002 on money laundering, for instance, has regrettably
not been enforced against Soeharto, relatives and cronies. This
allows them to enjoy their domestic and overseas wealth, many of it
managed by Indonesian and foreign cronies or sold to friends.
This is a grave weakness in the AGO's cases against the oligarchy,
which will only raise questions about the current government's
commitment to bring the former dictator to justice and return his
allegedly ill-gotten wealth to the people.
The weakness of the AGO's charges, and Soeharto's impending win,
looks to underline the oligarchy's overwhelming influence within the
judiciary in Indonesia.
As we may have learned from the Time defeat, the old tiger still has
claws and fangs left to hurt any media outlet that has the guts to
uncover the origin of the wealth of the dictator's relatives and
cronies.
The writer has studied Soeharto's wealth since 1994, with the results
published last year in Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki
Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (Presidential
Corruption: Reproduction of the Three-Legged Oligarchy: The Palace,
the Military Barracks and the Ruling Party).
 He can be reached at georgejunu...@gmail.com.
=========================
* Case against Tommy Soeharto delayed
Sydney Morning Herald - Sydney,New South Wales,Australia
A civil case involving the youngest son of Indonesia's former
dictator Soeharto has been delayed for two weeks, after
representatives for one of the defendants failed to attend court.
Authorities are attempting to recover millions of dollars linked to a
1990s land exchange scam, in the civil case in South Jakarta District
Court.
Tommy Soeharto was sentenced to 18 months' jail in 2000 over the
deal, in which the company GBS, of which Soeharto was president,
bought land from the national logistics agency Bulog, of which he
was a former chairman.
The land was exchanged for swampy land in north Jakarta.
But the first hearing was postponed for two weeks because lawyers for
GBS failed to appear.
Tommy's conviction - later overturned - was significant because it
was the first time a member of the Soeharto clan had been found
guilty of corruption.
Hutomo "Tommy" Mandala Putra Soeharto was later jailed for ordering
the murder of the judge who had convicted him, but released from
prison last year after serving a third of his 15-year jail term.
(c) 2007 AAP
===============================