Kamis, 31 Desember 2009

Demokrasi, Islam, Indonesia:
Dari Socrates sampai Gus Dur

Yudhistira ANM Massardi

ISLAM dan demokrasi – apakah bagaikan bumi dan langit?

Islam adalah agama langit, yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw, melalui Al-Qur'an (vox Dei, suara Tuhan, bukan vox populi, suara umat), dan harus diimani sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Secara vertikal/teologis, ia bersifat dogmatis, tapi secara horizontal/sosial bersifat lentur, dan terbuka ruang ijtihad bagi para ahli.

Demokrasi adalah hasil akal budi manusia di bumi yang, pertama-tama, bersandar pada asas vox populi vox Dei. Merupakan sebuah bentuk/sistem pengelolaan pemerintahan yang pertama kali dikembangkan di negara kota Athena zaman Pericles di abad kelima dan keempat Sebelum Masehi.

Demokrasi merupakan wacana terbuka dan terus berkembang. Bahkan, di tahap awal, dikritik sendiri oleh "bapak" sekaligus "korban"-nya yang pertama, Socrates: "Demokrasi, yang merupakan bentuk pemerintahan yang menggairahkan, penuh dengan variasi dan kekacauan, ...dan hasratnya yang tak bisa dikenyangkan bisa membawa kepada kehancuran."

Dalam perkembangan berbilang abad, demokrasi diperkaya oleh Magna Carta (1215): membatasi dan membagikan hak-hak kaum feodal kepada rakyat; John Locke (1690): semua pemerintahan harus konstitusional dan mendapatkan persetujuan dari yang diperintah; Montesquieu (1748): pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif; Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara Prancis (liberte, egalite, fraternite), serta Bill of Rights Amerika (1789): kebebasan berbicara, berserikat, berekspresi, dan seterusnya.

Tetapi, belakangan, demokrasi diklaim dan dipromosikan ke seluruh dunia sebagai "American Idea" – dalam gerbong-gerbong kapitalisme, liberalisme, dan sekularisme – dan akhirnya berbenturan dengan fasisme, komunisme, dan belakangan ini mengobarkan "perang peradaban" dengan... Islam!

Demokrasi akhirnya memang terbaca sebagai: "Amerika/Barat/
Kristen/Kapitalis/Liberal/Sekuler." Oleh karena itu, demokrasi dianggap merupakan "ancaman" bagi peradaban di luarnya, khususnya "dunia Islam" – dan sebaliknya.

Dalam konteks holistik, itu menegaskan kembali kontras fundamental "awal kejadian"-nya: Islam yang merupakan vox Dei berhadapan dengan demokrasi yang mengagungkan vox populi. Daulat Tuhan vis a vis daulat umat.

Sesungguhnya, asas-asas demokrasi dalam formatnya yang awal (sampai Bill of Rights) juga merupakan nilai-nilai utama di dalam Islam – sebagiannya tercermin dengan indah di dalam silaturahim Idul Fitri, ritual solat dan haji. Tetapi, Islam selalu dipersepsi sebagai "antidemokrasi" melalui contoh-contoh yang ekstrem: kaum perempuannya dieksploitasi dan ditindas (poligami dan jilbab), ketidakadilan (hak waris), memiliki hukum yang kejam (potong tangan, rajam, pancung), tidak toleran (melarang perkawinan antaragama; yang meninggalkan agama Islam wajib dibunuh; nonmuslim dianggap kafir), haus darah/teroris (jihad).

Dalam konteks Indonesia, negara dengan populasi pemeluk Islam terbesar di dunia, semua ketegangan tadi relatif hanya muncul di ruang-ruang "terbatas." Pertanyaan-pertanyaan seperti: "Apakah seorang muslim tidak bisa demokratis?", "Apakah seorang demokrat tidak bisa Islami?", tidak relevan. Pengalaman bangsa ini memberikan jawaban mencengangkan.

Khususnya di Jawa dengan tradisi agraris/pedalaman yang kuat, ada kelenturan luar biasa dalam beradaptasi dengan kebudayaan dari luar. Animisme menyerap Hinduisme/Buddhisme tanpa konflik, bahkan melahirkan sinkretisme. Kedatangan Islam diterima baik dan melahirkan format asimilasi yang unik: Kejawen. Begitu juga ketika modernisme/Barat/Kristen dibawa ke sini oleh penjajah Portugis dan Belanda, tidak terjadi resistensi keras.

Perdebatan yang gaduh justeru terjadi tatkala ada upaya pemilahan dan pemihakan atas konsep Barat-Timur (Polemik Kebudayaan), Islam tradisionalis-modernis (debat NU-Muhammadiyah). Pertumpahan darah memang sempat terjadi, tetapi itu ketika demokrasi jatuh-bangun, Partai Komunis Indonesia bertarung dengan TNI, dan umat Islam yang lama terpinggirkan unjuk gigi (1965).

Proses akulturasi dan asimilasi yang panjang itu akhirnya memberikan jawaban unik atas pertanyaan tadi. Sebuah jawaban yang indah dan khas Indonesia: "Seorang Indonesia bisa menjadi seorang muslim sekaligus demokrat, dan sekuler." Itu menggumpal dalam sosok-sosok historikal: Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Ahmad Dahlan, dan profil-profil kontemporer seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Akbar Tandjung... Pemilu sebagai perwujudan vox populi pun berlangsung aman dan damai.

Jadi, dialektika antara demokrasi, Islam dan Indonesia berlangsung "fine, fine saja dan cool," meskipun sempat diklaim telah memakan "korban" pula, yakni salah seorang pejuangnya yang paling gigih: Gus "Socrates" Dur! []

* Mukadimah untuk buku Hajatan Demokrasi (Gatra, 2006).
   Sumber http://kabarnyaindonesia.blogspot.com