Sabtu, 20 November 2010

PEMIKIRAN Muhammad al-Ghazali

Muhammad al-Ghazali (450AH/1058 Muhammad al-Ghazali (450AH/1058 – 505 AH/1111 CE) - AH/1111 505 CE)

Muhammad al-Ghazali remains one of the most celebrated scholars in the history of Islamic thought. Muhammad al-Ghazali tetap menjadi salah satu yang paling dirayakan sarjana dalam sejarah pemikiran Islam. His exceptional life and works continue to be indispensable in the study of jurisprudence, theology, philosophy and mysticism. hidup yang luar biasa-Nya dan bekerja terus sangat diperlukan dalam studi tentang yurisprudensi,, filsafat teologi dan mistisisme. The tens of books that he left behind were the result of an inquisitive mind that began the quest for knowledge at a very early stage. Puluhan buku yang ia tinggalkan adalah hasil dari pikiran yang ingin tahu yang memulai pencarian pengetahuan pada tahap awal yang sangat. In the introduction to his autobiographical work Deliverance from Error Dalam pendahuluan buku autobiografi Pembebasan dari Kesalahan ( Al-Munqidh min al-Dalal , p. 81), al-Ghazali said: (Al-Munqidh min al-Dalal, hal 81), al-Ghazali mengatakan:

“The thirst for grasping the real meaning of things was indeed my habit and want from my early years and in the prime of my life. "Yang haus akan menangkap arti sebenarnya dari hal-hal itu memang kebiasaan saya dan inginkan dari tahun-tahun awal saya dan dalam utama dalam hidup saya. It was an instinctive, natural disposition placed in my makeup by Allah Most High, not something due to my own choosing and contriving. As a result, the fetters of servile conformism fell away from me, and inherited beliefs lost their hold on me, when I was quite young.” Itu adalah alami, disposisi naluriah ditempatkan di make up saya dengan Allah Swt, bukan sesuatu yang karena saya sendiri memilih dan contriving. Sebagai akibatnya, belenggu conformism budak jatuh jauh dari saya, dan keyakinan mewarisi kehilangan terus mereka pada saya, ketika Saya masih cukup kecil. "

Al-Ghazali's Life: Al-Ghazali's Life:

Al-Ghazali's full name is Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Tusi. Nama lengkap Ghazali-Al adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi. He was born in 450/1058 in Tus, Khurasan near Meshhad in present-day Iran. Ia dilahirkan di 450/1058 di Tus, Khurasan dekat Meshhad di Iran hari ini. He bore the title of respect Hujjat al-Islam (Proof of Islam) for the role he played in defending Islam against the trends of thought that existed at the time. Dia menanggung judul menghormati Hujjat al-Islam (Bukti Islam) untuk peran yang dimainkan dalam membela Islam terhadap tren pemikiran yang ada pada saat itu. His father was a wool spinner ( ghazzal ) and thus, relative to this profession, al-Ghazali acquired this name. Ayahnya adalah seorang pemintal wol (ghazzal) dan dengan demikian, relatif terhadap profesi ini, al-Ghazali diperoleh nama ini. (al-Subki, Tabaqat al-Shafi`iyyah al-Kubra , vol. VI, pp. 191-193) Although he was born in Tus, a Persian, non-Arabic land, Al-Ghazali wrote the overwhelming majority of his works in Arabic, the lingua franca of his world. (Al-Subki, Tabaqat al-Syafi'i `iyyah al-Kubra, jilid,. VI hal 191-193) Meskipun ia lahir di Tus, sebuah Persia, lahan non-Arab, Al-Ghazali menulis mayoritas karya-karyanya dalam bahasa Arab, lingua franca dunia nya.

Before his death, al-Ghazali's father entrusted him and his brother Ahmad to a Sufi friend. Sebelum kematiannya, ayah-Ghazali al dipercayakan kepadanya dan saudaranya Ahmad ke teman sufi. He asked him to spend whatever little money he left behind, to teach them reading and writing. Dia meminta dia untuk mengeluarkan sedikit uang apapun yang ditinggalkannya, untuk mengajar mereka membaca dan menulis. When the money was finished, the Sufi asked them to join a school so that they might subsist. Ketika uang itu selesai, Sufi meminta mereka untuk bergabung dengan sekolah sehingga mereka bisa hidup. According to Al-Subki ( Tabaqat , vol. VI, p.195), schools used to provide room, board and stipend. Menurut Al-Subki (Tabaqat, vol p.195. VI,), sekolah digunakan untuk memberikan ruang, papan dan uang saku.

Al-Ghazali began studying at Tus where his teacher was Ahmad Al- Radhakani. Al-Ghazali mulai belajar di Tus mana gurunya adalah Ahmad Al-Radhakani. His next station was Jurjan where he wrote Al-Ta`liqah from the lectures of Abu Al-Qasim Al-Isma`ili Al-Jurjani. Stasiun berikutnya adalah Jurjan di mana ia menulis Al-Ta `liqah dari ceramah Abu Al-Qasim Al-Isma` ili Al-Jurjani. He returned to Tus for three years only to leave afterwards for Nishapur, where he joined the Nizamiyyah school and studied under Imam Al-Haramayn Al-Juwaini for eight years until the death of his teacher in 478 AH / 1085 CE. Ia kembali ke Tus selama tiga tahun hanya untuk pergi setelah itu untuk Nisyapur, dimana ia bergabung dengan sekolah Nizamiyyah dan belajar di bawah Imam Al-Haramayn Al-Juwaini selama delapan tahun sampai kematian gurunya di 478 AH / 1085 CE. (Al-Subki, Tabaqat , vol. VI, pp. 195-196) During this period al-Ghazali excelled in all the Islamic sciences with the exception of the science of the Hadith; he confessed this in the last paragraph of his work Qanun al-Ta'wil (The Law of Metaphorical Exegesis). (-Subki, Tabaqat, vol. Al VI, hal 195-196) Selama periode al-Ghazali unggul dalam semua ilmu-ilmu Islam dengan pengecualian ilmu hadits, ia mengakui ini dalam paragraf terakhir karyanya Qanun al-Ta'wil (Hukum Exegesis metafora). This may have been the reason for the presence of Ini mungkin telah menjadi alasan untuk keberadaan some unsound traditions in his works, such as the famous Ihya' `Ulum al-Din beberapa tidak sehat tradisi dalam karyanya, seperti yang terkenal "Ihya` di Ulum al-Din ( The Revival of the Islamic Sciences ). (Kebangkitan dari Ilmu Islam).

After the death of Al-Juwaini, al-Ghazali went to the Camp ( Al-Mu`askar ) of vizier Nizam Al-Mulk who founded the Nizamiyyah schools. Setelah kematian Al-Juwaini, al-Ghazali pergi ke Camp (Al-Mu `Askar) dari wazir Nizam al-Mulk yang mendirikan sekolah Nizamiyyah. The Camp was reputed as a meeting place for scholars who debated in the Islamic sciences. Camp ini terkenal sebagai tempat pertemuan bagi para sarjana yang diperdebatkan di ilmu-ilmu Islam. al-Ghazali won the respect of other scholars and was assigned by Nizam Al-Mulk to be the teacher at the Nizamiyyah of Baghdad. al-Ghazali memenangkan rasa hormat dari ulama lain dan ditugaskan oleh Nizam Al-Mulk menjadi guru di Nizamiyyah Baghdad. He lectured there between 484 AH / 1091 CE and 488 AH / 1095 CE. Dia mengajar di sana antara 484 AH / 1091 CE dan 488 AH / 1095 CE. (Al-Subki, Tabaqat , vol. VI, pp. 196-197) This position won him prestige, wealth and respect that even princes, kings and viziers could not match. (Al-Subki, Tabaqat, vol,. VI hal 196-197) Posisi ini membuatnya memenangkan prestise, kekayaan dan hormat bahkan pangeran, raja dan wazir tidak bisa menyamai. ( Al-Zubaydi, Ithaf , vol. I, p.7) (Al-Zubaydi, Ithaf, jilid,. Saya hal.7)

During this period, al-Ghazali studied philosophy on his own and wrote Maqasid al-Falasifah ( The Aims of the Philosophers ) and appeared as if he was one of them. Selama periode ini, al-Ghazali belajar filsafat sendiri dan menulis Maqasid al-Falasifah (The Tujuan para filsuf) dan muncul seolah-olah dia adalah salah satu dari mereka. His critique of philosophy followed, in a book he called Tahafut Al-Falasifah ( The Incoherence of the Philosophers ). Almost all scholars tend to generalize and say that al-Ghazali gave a coup de grace to philosophy in this book. kritik Nya filsafat diikuti, dalam sebuah buku yang ia sebut Tahafut Al-Falasifah (The Ketaklurusan dari Filsuf). Hampir semua ulama cenderung untuk menggeneralisasi dan mengatakan bahwa al-Ghazali memberikan rahmat kudeta de filsafat dalam buku ini. Indeed, few notice that he was critical of Greek metaphysics and its spread in an “Islamic” dress at the hands of reputed Muslim philosophers such as Ibn Sina and Al-Farabi. Memang, beberapa memperhatikan bahwa ia kritis terhadap metafisika Yunani dan penyebarannya dalam Islam "gaun" di tangan para filsuf muslim terkenal seperti Ibn Sina dan Al-Farabi. A detailed discussion of al-Ghazali's relationship with philosophy and science will follow. Sebuah diskusi rinci-Ghazali hubungan al dengan filsafat dan ilmu pengetahuan akan mengikuti.

The end of al-Ghazali's career at the Nizamiyyah of Baghdad was unexpected. Akhir-Ghazali al karir di Nizamiyyah Baghdad tak terduga. The circumstances surrounding this event became known as the “Spiritual Crisis” of al-Ghazali. Keadaan sekitar acara ini dikenal sebagai "Krisis Spiritual" al-Ghazali. He discussed the reason that prompted him to quit his position in Deliverance from Error . Ia membicarakan alasan yang mendorong dia untuk berhenti posisinya di Pembebasan dari Kesalahan. After discussing the methodologies of the Muslim theologians ( Al-Mutakallimun ), the philosophers and the esoterics ( Al-Batiniyyah ), he chose the Sufi path as the way to acquire indubitable knowledge. Setelah membahas metodologi para teolog Muslim (Al-Mutakallimun), para filsuf dan esoterics (Al-Batiniyyah), ia memilih jalan sufi sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan pasti. He noted though that this method has prerequisites; one should abandon all worldly attachments. Meskipun ia mencatat bahwa metode ini memiliki prasyarat, kita harus meninggalkan semua lampiran duniawi. Al-Ghazali thought that, in order to implement this, he should “shun fame, money and to run away from obstacles.” ( Al-Munqidh , p. 134) Al-Ghazali berpikir bahwa, untuk melaksanakan ini, ia harus jauh dari penghalang. "(Al-Munqidh, hal 134)" menghindari ketenaran, uang dan untuk menjalankan He made it clear that any deed that was not for the sake of Allah was an obstacle. Dia menjelaskan bahwa setiap perbuatan yang tidak demi Allah merupakan kendala. Upon scrutinizing his activities, he decided that his motivation for teaching was not for the sake of Allah. Setelah meneliti kegiatan, ia memutuskan bahwa motivasi nya untuk mengajar tidak demi Allah. ( Al-Munqidh , p. 134) Of this al-Ghazali said: (Al-Munqidh, hal 134) Dari ini al-Ghazali mengatakan:

“For nearly six months beginning with Rajab, 488 AH [July, 1095 CE], I was continuously tossed about between the attractions of worldly desires and the impulses towards eternal life. "Selama hampir enam bulan yang dimulai dengan Rajab, 488 AH [Juli, 1095 CE], Saya terus menerus melemparkan tentang antara atraksi keinginan duniawi dan impuls terhadap kehidupan kekal. In that month the matter ceased to be one of choice and became one of compulsion. Pada bulan itu masalahnya tidak lagi menjadi salah satu pilihan dan menjadi salah satu paksaan. (Allah) caused my tongue to dry up so that I was prevented from lecturing. (Allah) yang disebabkan lidahku mengering sehingga aku terhalang dari kuliah. One particular day I would make an effort to lecture in order to gratify the hearts of my following, but my tongue would not utter a single word nor could I accomplish anything at all.” (Hayman and Walsh, eds., Philosophy in the Middle Ages , p. 277) Suatu hari tertentu saya akan berusaha untuk kuliah dalam rangka untuk memuaskan hati mengikuti saya, tapi saya lidah tidak akan mengucapkan sepatah kata pun juga tidak bisa aku menyelesaikan apa pun.. "(Hayman dan Walsh, eds, Filsafat di Tengah Zaman, hal 277)

Al-Ghazali's health deteriorated and the physicians gave up any hope for they realized that the source of his problem was not physical. -Ghazali kesehatan Al memburuk dan dokter menyerah harapan agar mereka menyadari bahwa sumber masalahnya tidak fisik. He “sought refuge with Allah who made it easy for his heart to turn away from position and wealth, from children and friends.” (Hayman and Walsh, p.278) He distributed his wealth and departed from Baghdad to begin a spiritual journey that lasted for about eleven years. Dia "mencari perlindungan dengan Allah yang membuat mudah bagi hatinya untuk berpaling dari posisi dan kekayaan, dari anak-anak dan teman-teman." (Hayman dan Walsh, p.278) Dia membagikan kekayaan dan berangkat dari Baghdad untuk memulai perjalanan rohani yang berlangsung selama sebelas tahun tentang. He went to Damascus, Jerusalem, Hebron, Madinah, Makkah and back to Baghdad where he stopped briefly. Ia pergi ke Damaskus, Yerusalem, Hebron, Madinah, Makkah dan kembali ke Baghdad di mana ia berhenti sebentar. This part of the journey lasted until Jumada Al-Akhirah, 490 AH / June,1097 CE. Ini bagian dari perjalanan berlangsung sampai Jumada Al-akhirah, 490 AH / Juni, 1097 CE. He continued to Tus to spend the next nine years in seclusion ( Khalwa ). Dia terus Tus menghabiskan sembilan tahun ke depan dalam pengasingan (Khalwa). He ended his seclusion to teach for a short period at the Nizamiyyah of Nishapur in 499 AH / 1106 CE. Dia mengakhiri pengasingan untuk mengajar untuk jangka waktu pendek di Nizamiyyah dari Nisyapur di 499 AH / 1106 CE. From there he returned to Tus where he remained until his death in Jumada Al-Akhirah, 505 AH / December,1111 CE. Dari sana ia kembali ke Tus di mana dia tinggal sampai kematiannya pada Jumada Al-akhirah, 505 AH / Desember, 1111 CE. (Abu Sway, M., al-Ghazali: A Study in Islamic Epistemology , p. 24) (Abu Sway, M., al-Ghazali: Sebuah Studi di Epistemologi Islam, hal 24)

Yet, before delving into al-Ghazali's ideas, it is important to remember that he lived in what might be described as a post-golden age context. Namun, sebelum mempelajari ke-ide al Ghazali, penting untuk diingat bahwa dia tinggal di apa yang mungkin digambarkan sebagai usia emas konteks-pos. The production of the exact sciences faded away, the Islamic state had grown into a massive caliphate that faced disintegration as the provincial governors gained power. Just before al-Ghazali was born, the institution of the Sultan was introduced or rather forced on Baghdad. Produksi dari ilmu-ilmu eksakta memudar, negara Islam telah tumbuh menjadi khalifah besar yang dihadapi disintegrasi sebagai gubernur provinsi mendapatkan kekuasaan. Sesaat sebelum al-Ghazali lahir, lembaga Sultan diperkenalkan atau lebih tepatnya dipaksakan pada Baghdad. The year 450 AH marked the first time a split in power took place between the Sultan, who was the actual ruler, and the Caliph whose role was reduced to dignitary functions. Tahun 450 AH menandai pertama kalinya perpecahan dalam kekuasaan terjadi antara Sultan, yang adalah penguasa sebenarnya, dan Khalifah yang perannya berkurang menjadi fungsi Pembesar. (Ibn Kathir, Al-Bidayah wa al-Nihayah , vol. XII, p. 66) (Ibnu Katsir, Bidayah wa al-Nihayah Al-, jilid,. XII hal 66)

It was a classical case of a wealthy and powerful civilization that lost track of its sense of direction and lost sight of its roots, its source of power. Ini adalah kasus klasik dan peradaban yang kuat kaya yang lupa arti dan kehilangan arah melihat akarnya, sumber daya. The indulgence in material life had led many celebrities to abandon public life and to live in seclusion. The kegemaran dalam kehidupan material telah menyebabkan banyak selebriti untuk meninggalkan kehidupan publik dan hidup dalam pengasingan. It was a search for a meaning of life in asceticism. Sufism thrived before al-Ghazali was born and he ultimately subscribed to the mystics' path. Itu adalah mencari makna hidup dalam asketisme. Tasawuf berkembang sebelum al-Ghazali lahir dan dia akhirnya berlangganan mistik 'jalan.

Al-Ghazali's Thought: Al-Ghazali Pemikiran:

Al-Ghazali was an encyclopedic and prolific scholar. Al-Ghazali adalah seorang sarjana ensiklopedis dan produktif. He was trained as a jurist in the Shafi`i school which is traditionally Ash`arite in its expression of Islamic faith. Ia dididik sebagai ahli hukum di i `sekolah Syafi'i yang secara tradisional Ash` arite dalam berekspresi iman Islam. He contributed many books to these fields. Dia berkontribusi banyak buku untuk bidang ini. In addition, he wrote extensively about Islamic mysticism. Selain itu, ia menulis tentang mistisisme Islam secara ekstensif. He wrote about politics and the sects of the time, and he wrote poetry. Dia menulis tentang politik dan sekte waktu, dan ia menulis puisi. Yet, in what follows, the discussion will be restricted to his position on science. Namun, dalam apa yang berikut, diskusi akan dibatasi untuk posisinya pada ilmu pengetahuan.

The early works of al-Ghazali were in the area of jurisprudence. Karya-karya awal al-Ghazali berada di daerah yurisprudensi. Nevertheless, in Al-Mankhul fi `Ilm al-Usul , a book on usul al-fiqh . Namun demikian, dalam Al-Mankhul fi `Ilm al-Usul, sebuah buku tentang ushul al-fiqh. He devoted a chapter to a discussion of the nature of the sciences ( al-kalam fi haqa'iq al-`ulum ). It should be noted that al-Ghazali's use of the word “sciences” is general and restricted to the natural or physical sciences; it covers all subjects of knowledge including those of the Shari`ah. Ia mengabdikan bab untuk diskusi tentang sifat ilmu-ilmu (-kalam fi al haqa'iq al-`ulum). Perlu dicatat bahwa-Ghazali menggunakan al dari" kata "ilmu bersifat umum dan terbatas pada alam atau ilmu fisik, melainkan mencakup semua subyek pengetahuan termasuk dari Shari `ah. This chapter included important insights reflecting his position regarding science. Bab ini meliputi wawasan penting mencerminkan posisinya tentang ilmu pengetahuan. One of these insights was regarding the definition of `ilm [science]. Salah satunya adalah sehubungan wawasan definisi dari `] ilm [ilmu. He said: Dia berkata: “science cannot be defined” ( inna al-`ilma la hadda lah ). "Ilmu tidak dapat didefinisikan" (inna al-`Ilma la Hadda lah). He explained his statement by saying that it was possible to know science and that “our inability to define (science) does not indicate our ignorance about the same science”. Dia menjelaskan pernyataannya dengan mengatakan bahwa adalah mungkin untuk mengetahui ilmu pengetahuan dan bahwa "ketidakmampuan kita untuk mendefinisikan (ilmu) tidak menunjukkan ketidaktahuan kita tentang ilmu yang sama". ( Al-Mankhul , p. 42) (Al-Mankhul, hal 42)

Al-Ghazali divided the sciences or knowledge into eternal and accidental. Al-Ghazali membagi ilmu atau pengetahuan menjadi abadi dan disengaja. Eternal knowledge belongs to God alone. pengetahuan Kekal milik Allah saja. He divided accidental knowledge into immediate ( hajmiyy ) and theoretical ( nazariyy ). Dia membagi pengetahuan yang kebetulan menjadi segera (hajmiyy) dan teoritis (nazariyy). The first is the kind of knowledge that one has to know with the beginning of reason, such as the existence of the self. Yang pertama adalah jenis pengetahuan yang kita harus tahu dengan awal alasan, seperti keberadaan diri. On the other hand, theoretical knowledge is the result of sound thinking ( al-nazar al-sahih ). Di sisi lain, pengetahuan teoritis adalah hasil pemikiran suara (al-Nazar al-sahih). Related to this is al-Ghazali's definition of reason. Terkait dengan ini-Ghazali definisi al akal. He said that it is “the qualification which enables the qualified [person] to perceive knowledge and to think about the cognizable.” ( Al-Mankhul , pp. 44-45) Dia mengatakan bahwa orang] untuk melihat pengetahuan dan untuk berpikir tentang yg dpt dihukum. "(Al-Mankhul, hlm 44-45)" kualifikasi yang memungkinkan berkualitas [

While al-Ghazali classified the senses into different categories in terms of their function in acquiring knowledge, he maintained that there were no differences between the sciences once knowledge is acquired, regardless of how difficult the subject of the science is. Sementara al-Ghazali mengelompokkan indera ke dalam kategori yang berbeda dalam hal fungsi mereka dalam memperoleh pengetahuan, ia menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu-ilmu pengetahuan yang diperoleh sekali, terlepas dari betapa sulitnya subyek ilmu tersebut. This view of al-Ghazali regarding the equality of the sciences, once they are achieved, is consistent with his position regarding his interchangeable use of the terms “science” and “knowledge”. Pandangan al-Ghazali mengenai kesetaraan ilmu, begitu mereka tercapai, konsisten dengan posisinya mengenai penggunaan dipertukarkan tentang "istilah" ilmu pengetahuan dan "pengetahuan". ( Al-Mankhul , p. 48) (Al-Mankhul, hal 48)

The first period of public teaching at the Nizamiyyah of Baghdad (478-488 AH/1085-1095 CE) was the time when al-Ghazali encountered philosophy. Periode pertama pengajaran publik di Nizamiyyah Baghdad (AH/1085-1095 478-488 M) adalah waktu ketika al-Ghazali bertemu filsafat. In Al-Munqidh min al-Dalal , a biographic work that he wrote towards the end of his life, he sketched his quest for knowledge. Di-Munqidh min Al al-Dalal, sebuah karya biografi yang ia menulis menjelang akhir hidupnya, ia membuat sketsa usahanya mencari pengetahuan. Al-Ghazali reduced the list of the seekers for knowledge to four groups: the dialectical theologians ( Al-Mutakallimun ), the esoterics ( al-Batiniyyah ), the philosophers, and the Sufis ( Al-Munqidh , p. 89). Al-Ghazali mengurangi daftar pencari untuk pengetahuan untuk empat kelompok: para teolog dialektis (Al-Mutakallimun), yang esoterics (al-Batiniyyah), para filsuf, dan Sufi (Al-Munqidh, hal 89). His discussion of philosophy is the most relevant to his position on science. diskusi Nya filsafat adalah yang paling relevan dengan posisinya pada ilmu pengetahuan.

Al-Ghazali stated that in his quest for true knowledge he started studying philosophy after he was done with `ilm al-kalam , which did not provide “certain knowledge” ( `ilm al-yaqin ) he sought. Al-Ghazali menyatakan bahwa dalam usahanya mencari pengetahuan sejati ia mulai belajar filsafat setelah ia dilakukan dengan `ilm al-kalam, yang tidak memberikan" pengetahuan tertentu "(` ilm al-yaqin) ia dicari. In his introduction to the section on philosophy he outlined his approach to this new field. Dalam pengantar untuk bagian pada filosofi ia dijelaskan pendekatan untuk bidang baru ini. He wanted to pursue philosophy to a level higher than that of the most knowledgeable in the field. Dia ingin mengejar filsafat ke tingkat yang lebih tinggi dari yang paling luas di lapangan. Only then, he argued, could one know the intricate depths of the science, as he referred to philosophy. Hanya kemudian, ia berpendapat, bisa kita tahu kedalaman rumit ilmu pengetahuan, karena ia dimaksud filsafat. ( Al-Munqidh , p. 94) (Al-Munqidh, hal 94)

Al-Ghazali was aware that he could not rely on secondary sources, such as those of the Mutakallimun , in order to study philosophy. Al-Ghazali sadar bahwa ia tidak bisa mengandalkan sumber-sumber sekunder, seperti orang-orang dari Mutakallimun, untuk belajar filsafat. For him, their books included fragmented philosophical words that were complex and contradictory to one another. Bagi dia, termasuk buku-buku mereka terpecah kata-kata filosofis yang kompleks dan bertentangan satu sama lain. Instead, he decided to read books of philosophy directly without the assistance of a teacher. Sebaliknya, ia memutuskan untuk membaca buku-buku filsafat secara langsung tanpa bantuan dari seorang guru. Although he was teaching three hundred students at the Nizamiyyah of Baghdad and writing on the Islamic revealed sciences at the same time, in his spare time he was able to master philosophy in less than two years. Meskipun ia mengajar tiga ratus mahasiswa di Nizamiyyah Baghdad dan menulis pada ilmu-ilmu Islam mengungkapkan pada saat yang sama, dalam waktu luangnya ia mampu menguasai filsafat dalam waktu kurang dari dua tahun. He spent almost another year reflecting on it. Dia menghabiskan hampir setahun lagi mencerminkan di atasnya. ( Freedom and Fulfillment , p. 70) al-Ghazali wanted the readers, through such a detailed account of his effort, to have confidence that he had a thorough grasp of philosophy and that his conclusions are trustworthy. (Kebebasan dan Pemenuhan, hal 70) al-Ghazali ingin pembaca, melalui seperti rekening rinci tentang usahanya, memiliki keyakinan bahwa ia memiliki pemahaman menyeluruh filsafat dan bahwa kesimpulan dapat dipercaya.

As a result of his study he wrote two books: Maqasid al-Falasifah ( The Aims of the Philosophers ) and Sebagai hasil penelitian, ia menulis dua buku: Maqasid al-Falasifah (The Tujuan para filsuf) dan Tahafut al-Falasifah ( The Incoherence of the Philosophers ). Tahafut al-Falasifah (The Ketaklurusan dari para filsuf). It was al-Ghazali's intention to write a book that would encompass the thought of the philosophers without criticizing or adding anything to it. Itu-Ghazali niat al untuk menulis sebuah buku yang akan mencakup pemikiran para filsuf tanpa mengkritik atau menambahkan apapun untuk itu. Of this objective, he said: Dari tujuan ini, ia berkata:

“I thought that I should introduce, prior to the Tahafut , a concise account that will include the story of their aims ( maqasid ) which will be derived from their logical, natural and metaphysical sciences, without distinguishing between what is right and what is wrong, without additions and along with that they believed what they believed as their proofs.” ( Maqasid , p. 31) "Saya berpikir bahwa saya harus memperkenalkan, sebelum Tahafut, account ringkas yang akan mencakup kisah tujuan mereka (maqasid) yang akan berasal dari logis, alami dan metafisik ilmu pengetahuan mereka, tanpa membedakan antara apa yang benar dan apa yang salah , tanpa tambahan dan bersama dengan itu mereka percaya apa yang mereka yakini sebagai bukti mereka). "(Maqasid, hal 31

This book, which is a pioneer work in its attempt to deliberately present an objective account of the thought of adversaries, was followed by the Tahafut, which included his critique of the contents of the first one. Buku ini, yang merupakan karya pionir dalam upayanya untuk sengaja menyajikan rekening tujuan pemikiran musuh, diikuti oleh Tahafut, yang termasuk kritik tentang isi yang pertama. It was this latter work (ie Tahafut al-Falasifah ) that prompted Ibn Rushd to write Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence ) which constituted a systematic rebuttal of al-Ghazali's critique of this mélange of Greco-Islamic philosophy. Itu adalah karya terakhir (yaitu Tahafut al-Falasifah) yang mendorong Ibnu Rusyd untuk menulis Tahafut al-Tahafut (The Ketaklurusan dari Ketaklurusan) yang merupakan sebuah bantahan sistematis-kritik al Ghazali ini melange of-Islam filsafat Yunani.

In Maqasid al-Falasifah , al-Ghazali divided the sciences of the philosophers into four major categories: mathematical ( al-riyadiyyat ), logical ( al-mantiqiyyat ), natural ( al-tabi`iyyat ) and metaphysical ( al-ilahiyyat ). Dalam Maqasid al-Falasifah, al-Ghazali membagi ilmu-ilmu dari filsuf ke dalam empat kategori utama: matematika (al-riyadiyyat), logis (al-mantiqiyyat), alam (al-tabi `iyyat) dan metafisik (al-ilahiyyat). ( Maqasid , p. 31) (Maqasid, hal 31) He listed politics, economy and ethics as subdivisions under metaphysics. Dia terdaftar politik, ekonomi dan etika sebagai subdivisi dalam metafisika. In al-Munqidh min al-Dalal , he listed politics and ethics as major sections along with the first four. Di-Munqidh min al-Dalal, ia terdaftar politik dan etika sebagai bagian utama bersama dengan empat pertama. ( al-Munqidh , p. 100) Only mathematics and logic will be discussed here. (Al-Munqidh, hal 100) Hanya matematika dan logika akan dibahas di sini.

Regarding mathematics, al-Ghazali thought that it dealt with geometry and arithmetic. Neither of these subjects contradicted reason. Mengenai matematika, al-Ghazali berpikir bahwa berurusan dengan geometri dan aritmatika. Tak satu pun dari mata pelajaran ini alasan bertentangan. As a result, he did not think that he ought to include a detailed account of mathematics in his book. Akibatnya, dia tidak berpikir bahwa ia harus menyertakan rekening rinci tentang matematika dalam bukunya. ( Maqasid , pp. 31-32) (Maqasid, hal 31-32)

Knowledge is divided, in the second section of the book of knowledge of Ihya' `Ulum al-Din , into `ulum shar`iyyah ( sciences of the Shari`ah ) and ghayr-shar`iyyah ( non-Shari`ah sciences). Pengetahuan dibagi, dalam bagian kedua dari buku pengetahuan dari '`Ihya Ulum al-Din, ke` ulum shar `iyyah (ilmu dari Shari` ah) dan ghayr-shar `iyyah (non-Shari` ah ilmu) . To the latter belongs mathematics and medicine, which al-Ghazali described as praiseworthy sciences. Untuk yang terakhir milik matematika dan kedokteran, yang al-Ghazali digambarkan sebagai ilmu terpuji. The latter sciences are considered fard kifayah (ie there should be enough Muslims who are experts in the concerned field to the degree that they can fulfill the needs of the Islamic society). Nevertheless, al-Ghazali criticized unnecessary studies in mathematics that do not have practical applications. Ilmu-ilmu yang terakhir dianggap fard kifayah (yaitu harus ada Muslim cukup yang ahli di bidang bersangkutan ke tingkat bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Islam),. Namun demikian al-Ghazali dikritik studi yang tidak perlu dalam matematika yang tidak memiliki aplikasi praktis. ( Ihya' , pp. 16-17) (Ihya ', hal 16-17)

The fact that al-Ghazali categorized mathematics and medicine as fard kifayah is a positive position. Kenyataan bahwa al-Ghazali dikategorikan matematika dan obat-obatan sebagai fard kifayah adalah posisi positif. This means that the society at large would be committing a sin if they neglect any of these sciences to the degree the shortage would have negative impact on the society. Ini berarti bahwa masyarakat pada umumnya akan melakukan dosa jika mereka mengabaikan salah satu ilmu dengan derajat kekurangan tersebut akan berdampak negatif terhadap masyarakat. In fact, he blamed the students of jurisprudence for their indulgence in minute details of the Shari`ah. Bahkan, dia menyalahkan siswa yurisprudensi untuk kesenangan mereka di menit rincian Shari `ah. The context indicates that they better study medicine instead of specializing in issues in jurisprudence that might never prove to be of any benefit. Konteks menunjukkan bahwa mereka lebih baik belajar kedokteran bukan mengkhususkan diri dalam isu-isu dalam yurisprudensi yang mungkin tidak akan pernah terbukti bermanfaat apapun. ( Ihya' , vol. I, p. 21) Despite this positive stance, al-Ghazali did not remain consistent in his position. (Ihya ', vol,. Aku p. 21) Meskipun demikian sikap positif, al-Ghazali tidak tetap konsisten dalam posisinya.

Al-Ghazali had fears that though geometry and arithmetic are permissible, they might lead a person to blameworthy sciences. Al-Ghazali telah kekhawatiran bahwa meskipun geometri dan aritmatika adalah diperbolehkan, mereka mungkin menyebabkan seseorang untuk ilmu tercela. ( Ihya' , vol. I, p.22) He did not discuss the reasons that led him to take such a position. (Ihya ', vol,. Aku p.22) Dia tidak mendiskusikan alasan yang menyebabkan dia untuk mengambil posisi tersebut. It should be noted that this remark is atypical for al-Ghazali and does not reflect his general position regarding arithmetic, geometry and the exact sciences. Perlu dicatat bahwa pernyataan ini adalah lazim untuk al-Ghazali dan tidak mencerminkan posisi umum nya mengenai aritmatika, geometri dan ilmu-ilmu eksakta. The context itself might provide some insight as to why al-Ghazali was cautious in dealing with mathematics and the exact sciences. Konteks itu sendiri mungkin memberikan wawasan beberapa seperti mengapa al-Ghazali sangat berhati-hati dalam berurusan dengan matematika dan ilmu-ilmu yang tepat. During his time, there were no compartmentalized studies, and every student learned all branches of knowledge. Selama waktunya, tidak ada penelitian terkotak, dan setiap siswa belajar semua cabang pengetahuan. Al-Ghazali was afraid that a student might be deceived by the accuracy of mathematics and then generalize and consider all the subjects included in philosophy, including metaphysics, to be as accurate. Al-Ghazali takut bahwa seorang siswa mungkin ditipu oleh ketepatan matematika dan kemudian menggeneralisasi dan mempertimbangkan semua mata pelajaran yang termasuk dalam filsafat, termasuk metafisika, untuk menjadi seperti yang akurat.

In al-Mustasfa min `Ilm al-Usul , al-Ghazali stated that arithmetic and geometry are pure rational sciences that are not recommended for studying. Dalam al-Mustasfa min `Ilm al-Ushul, al-Ghazali menyatakan bahwa aritmatika dan geometri adalah ilmu-ilmu rasional murni yang tidak direkomendasikan untuk belajar. They fluctuate between false, yet plausible guesses, and true knowledge that yields no practical applications. Mereka berfluktuasi antara palsu, namun masuk akal dugaan, dan benar pengetahuan yang menghasilkan ada aplikasi praktis. ( Al-Mustasfa , p. 3) (Al-Mustasfa, hal 3) This shift from his early position that studying mathematics is fard `ayn might be attributed to his acceptance of the Sufi path. Al-Mustasfa Pergeseran dari posisi awal bahwa belajar matematika adalah fard `ain mungkin disebabkan penerimaan tentang jalan Sufi. Al-Mustasfa was written towards the end of al-Ghazali's life when he was deeply absorbed by tasawwuf . ditulis menjelang akhir-Ghazali hidup al ketika ia sangat diserap oleh tasawuf.

Al-Ghazali did not see any practical application for the study of physics, and thus declared it useless. Al-Ghazali tidak melihat aplikasi praktis untuk studi fisika, dan dengan demikian menyatakan itu berguna. He knew that physics is concerned with substances and their properties, yet he stated that some of the input of the philosophers contradicted the Shari`ah . Dia tahu fisika yang berkaitan dengan zat dan sifat mereka, namun ia menyatakan bahwa beberapa masukan dari para filsuf bertentangan dengan Shari `ah. ( The Book of knowledge , p. 54) Thus practical application, or rather the lack of it, caused al-Ghazali to reject a particular science as the above example, or at least criticize it ( Ihya' , pp. 16-17). (Kitab pengetahuan, hal 54) praktis aplikasi demikian, atau lebih kurangnya itu, menyebabkan al-Ghazali untuk menolak suatu ilmu tertentu sebagai contoh di atas, atau paling tidak mengkritik itu (Ihya ', hal 16-17) . This position should be seen in the context of the civilizational development of the 5 th century AH/ 11 th century CE. Posisi ini harus dilihat dalam konteks perkembangan peradaban abad ke-AH 5 / 11 CE abad ke.

Regarding logic, he defined it as “the law ( qanun ) that distinguishes a sound premise and analogy from a false one, which leads to the discernment of true knowledge.” ( Maqasid , p. 36) In reviewing the subjects of logic, which he believed to be neutral in its relationship with the Shari`ah, ( al-Munqidh , p. 103) al-Ghazali stated that induction ( istiqra' ) could be correct only if all parts were covered. Mengenai logika, dia ditetapkan sebagai yang membedakan suara premis dan analogi dari satu palsu, yang mengarah ke penegasan dari pengetahuan yang benar. "(Maqasid hal, 36)" hukum (qanun) Dalam meninjau subyek logika, yang ia percaya untuk bersikap netral dalam hubungannya dengan Shari `ah, (al-Munqidh, hal 103) al-Ghazali menyatakan bahwa induksi (istiqra ') bisa benar hanya jika semua bagian yang tercakup. If only one part could be different, then induction in this case could not yield true knowledge. Jika hanya satu bagian dapat berbeda, maka induksi dalam hal ini tidak dapat menghasilkan pengetahuan sejati.

Al-Ghazali criticized the philosophers on twenty accounts in the Tahafut . Al-Ghazali mengkritik para filsuf pada dua puluh akun dalam Tahafut. Of relevance to the discussion here is his position on issue number seventeen, causality. Dari relevansi dengan diskusi di sini adalah posisinya di tujuh belas masalah, nomor kausalitas. Long before David Hume, al-Ghazali said that, in his opinion, “the conjunction ( al-'qtiran ) between what is conceived by way of habit ( fi al`adah ) as cause and effect is not necessary ( laysa daruriyyan ).” He provided a list of pairs that were usually thought of as cause and effect by the philosophers (eg fire and burning, light and sunrise, diarrhea and laxatives). Jauh sebelum David Hume, al-Ghazali mengatakan bahwa, menurut pendapatnya, "bersama (al-'qtiran) antara apa yang dipahami dengan cara biasa (fi al` Adah) sebagai sebab dan akibat adalah tidak perlu (laysa daruriyyan). "Dia memberikan daftar pasangan yang biasanya dianggap sebagai sebab dan akibat oleh para filsuf (misalnya kebakaran dan pembakaran, cahaya dan matahari terbit, diare dan obat pencahar). For him, the conjunction between them was a result of the sequence in which Allah created them, not because this conjunction was necessary in itself. Baginya, kata sambung di antara mereka adalah hasil dari urutan di mana Allah menciptakan mereka, bukan karena konjungsi ini diperlukan dalam dirinya sendiri. Moreover, he thought that it was possible for one of these pairs to exist without the other. Selain itu, ia berpikir bahwa itu adalah mungkin bagi salah satu pasangan ada tanpa yang lain. He did not see any contradiction since these pairs are the phenomena of nature and nature as such, according to the philosophers own admission, does not belong to the realm of necessity but that of possibility, which may or may not exist. Dia tidak melihat kontradiksi karena pasangan ini adalah fenomena alam dan alam dengan demikian, menurut filsuf pengakuan sendiri, tidak termasuk dalam ranah kebutuhan tapi itu kemungkinan, yang mungkin atau mungkin tidak ada. ( Tahafut , p. 239) (Tahafut, hal 239)

Al-Ghazali criticized the philosophers' proof of causality because it was limited to observation ( mushahadah ) which depends on the senses, a source of knowledge that he could not accept on its own merit. Al-Ghazali mengkritik filsuf 'bukti dari kausalitas karena terbatas pada pengamatan (mushahadah) yang tergantung pada indera, sumber pengetahuan yang ia tidak bisa menerima pada prestasi sendiri. Thus his position regarding causality is consistent with his theory of knowledge. Jadi posisinya mengenai kausalitas ini konsisten dengan teori pengetahuan. Using the example of fire and burning, he said that “observation could only prove that burning took place when there was fire, and not by the fire.” Menggunakan contoh api dan pembakaran, dia mengatakan bahwa "pengamatan hanya bisa membuktikan pembakaran yang terjadi ketika ada kebakaran, dan bukan oleh api." He held that inert and lifeless objects such as fire are incapable of action and thus cannot be the agent ( al-fa`il ) that causes burning. Dia berpendapat bahwa diam dan tak bernyawa objek seperti kebakaran tidak mampu tindakan dan dengan demikian tidak dapat menjadi agen (al-fa `il) yang menyebabkan pembakaran. To prove his point, al-Ghazali used a proof, which is neo-platonic in its tone, from the arguments of the philosophers. Untuk membuktikan pendapatnya, al-Ghazali menggunakan bukti, yang neo-platonis di nadanya, dari argumen para filsuf. They held that accidents ( a`rad ) and incidents ( hawadith ) emanate at the time of contact between “bodies”, from the provider of forms ( wahib al-suwar ) whom they thought to be an angel. Mereka menyatakan bahwa kecelakaan (a `rad) dan insiden (hawadith) berasal pada saat kontak antara" tubuh ", dari penyedia bentuk (Wahib al-suwar) yang mereka dianggap malaikat. Accordingly, one cannot claim that fire is the agent of burning. Dengan demikian, orang tidak dapat mengklaim bahwa api adalah agen pembakaran. In addition, he argued that the agent “creates” burning with his will ( bi'iradatihi ). Selain itu, ia berpendapat bahwa agen "menciptakan" terbakar dengan kehendak-Nya (bi'iradatihi). al-Ghazali reduced the problem of causality to that of “will” which makes it rationally possible for the agent, whom he held to be Allah, not to create burning even though there is contact. al-Ghazali mengurangi masalah kausalitas dengan yang "akan" yang membuatnya rasional mungkin bagi agen, yang dia dianggap Allah, bukan untuk menciptakan pembakaran meskipun ada kontak. ( Tahafut , pp. 242-243) (Tahafut, hal 242-243)

Al-Ghazali presented this theory of causality in order to allow room for the existence of miracles ( mu`jizat ) that were associated with the prophets, without resorting to allegorical interpretations as the philosophers did. Al-Ghazali disajikan ini teori kausalitas untuk memungkinkan ruang bagi keberadaan keajaiban-kejaiban (mu'jizat) yang dikaitkan dengan para nabi, tanpa menggunakan interpretasi alegoris sebagai filsuf itu. One of the miracles that he chose as an example was that of Prophet Ibrahim. Salah satu mukjizat bahwa ia memilih sebagai contoh adalah Nabi Ibrahim. The story was that his people attempted to burn him for breaking their idols by throwing him into fire but no burning took place. Cerita ini adalah bahwa orang-orangnya berusaha untuk membakar dia untuk melanggar berhala mereka dengan melemparkan dia ke dalam api tetapi tidak terbakar terjadi. In the Qur'an (21:69) it was Allah's will that the fire would not harm Ibrahim. Dalam Al Qur'an (21:69) itu akan Allah, bahwa api tidak akan membahayakan Ibrahim. al-Ghazali maintained that Allah was the agent ( fa`il ) of every action, either directly or indirectly (ie by the angels). al-Ghazali menyatakan bahwa Allah adalah agen (fa `il) dari setiap tindakan, baik secara langsung maupun tidak langsung (yakni oleh para malaikat). ( Tahafut , pp. 243-247) (Tahafut, hal 243-247)

Al-Ghazali knew that he could not exhaust all the sciences in his writings. Al-Ghazali tahu bahwa dia tidak bisa buang semua ilmu dalam tulisan-tulisannya. He had an insight that there are more sciences within reach of human beings. Dia memiliki pemahaman bahwa ada ilmu yang lebih dalam jangkauan manusia. He said: “It appeared to me through clear insight and beyond doubt, that man is capable of acquiring several sciences that are still latent and not existent.” ( Jawahir al-Qur'an , p. 28) Dia berkata: "Ini muncul kepada saya melalui pemahaman yang jelas dan tanpa keraguan, bahwa manusia mampu memperoleh beberapa ilmu yang masih laten dan tidak ada." (Jawahir al-Qur'an, hal 28)

Al-Ghazali's Impact on Islamic Thought and Beyond: Al-Ghazali Dampak pada Pemikiran Islam and Beyond:

Al-Ghazali's status in Islamic thought ranges from being the “Proof of Islam” and renewer ( mujadded ) of the fifth century AH, to being declared a non-believer by some of our contemporary “scholars” (Dimashqiyyah, Abu Hamid al-Ghazali wal-Tasawwuf ). The unfortunate gap between the two positions reflects the war that ensued between the Sufis and the Salafis , a war that is almost as old as Islam itself. -Ghazali status Al dalam pemikiran Islam berkisar dari menjadi "Proof of Islam" dan pembaru (mujadded) dari AH abad kelima, menjadi mengumumkan tidak percaya oleh beberapa kontemporer kita "ulama" (Dimashqiyyah, Abu Hamid al-Ghazali wal-Tasawwuf). Kesenjangan malang antara dua posisi mencerminkan perang yang berlangsung antara para Sufi dan Salafi, perang yang hampir setua Islam itu sendiri. Al-Ghazali left behind a great number of books and treatises. Al-Ghazali meninggalkan sejumlah besar buku dan risalah. According to Abdurrahman Badawi ( Mu'allafat al-Ghazali ) seventy-three are definitely his. Menurut Abdurrahman Badawi (Mu'allafat al-Ghazali) tujuh puluh tiga jelas nya. One of the most celebrated books is the Ihya' `Ulum Al-Din Salah satu buku yang paling terkenal adalah Ihya '`pada Ulum Al-Din ( Revival of Islamic Sciences ). al-Ghazali believed that Muslims became entrapped within the minute details of fiqh . This included scholars as well because to a certain extent they had lost sight of the original message of Islam. (Kebangkitan Islam Ilmu Pengetahuan). Al-Ghazali percaya bahwa umat Islam menjadi terperangkap dalam menit rincian fiqh. Ini termasuk ulama juga karena sampai batas tertentu mereka telah kehilangan melihat pesan asli Islam. It is in this context that the Ihya' poses a challenge to scholars, despite its own flaws that mostly arise from al-Ghazali's lacked of sufficient knowledge in the science of Hadith, as he admitted in Qanun al-Ta'wil . Ini adalah dalam konteks bahwa Ihya 'menimbulkan tantangan untuk sarjana, meskipun kelemahan sendiri yang sebagian besar timbul dari al-Ghazali tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadis, karena ia mengakui dalam Qanun al-Ta'wil. Al-Subki, an early historian of the Shafi`i school of jurisprudence, listed in Al-Subki, seorang sejarawan awal Shafi `i sekolah hukum, yang tercantum dalam Tabaqat al-Shafi`iyyah al-Kubra more than nine hundred weak or forged traditions that he detected in the Ihya' . Tabaqat al-Syafi'i `iyyah al-Kubra lebih dari sembilan ratus lemah atau tradisi ditempa bahwa ia terdeteksi dalam Ihya '.

Al-Ghazali was the scholar per excellence in the Islamic world. Al-Ghazali adalah sarjana per keunggulan di dunia Islam. He had literally hundreds of scholars attending his lectures at the Nizamiyyah school of Baghdad. Dia memiliki ratusan sarjana menghadiri kuliah-kuliahnya di sekolah Nizamiyyah Baghdad. His audience included scholars from other schools of jurisprudence. penonton nya termasuk sarjana dari sekolah lain dari yurisprudensi. The list includes Judge Abu Bakr Ibn Al-`Arabi who was Maliki, Al-Khattabi and Abu Al-Wafa' Ibn `Aqil who were Hanbalites. Daftar ini meliputi Hakim Abu Bakar Ibn Al-`Arabi yang Maliki, Al-Khattabi dan Abu Al-Wafa 'Ibn` Aqil yang Hanbaliyyah.

Reflecting the influence of al-Ghazali on the Latin world, Manuel Alonso listed forty-four medieval philosophers and theologians who made reference to al-Ghazali. Mencerminkan pengaruh al-Ghazali di dunia Latin, Manuel Alonso terdaftar empat puluh empat filsuf dan teolog abad pertengahan yang membuat referensi al-Ghazali. This included Thomas Aquinas who referred to Maqasid Al-Falasifah thirty-one times ( Al-Andalus , XXIII). Ini termasuk Thomas Aquinas yang dimaksud Maqasid-satu kali Al-Falasifah tiga puluh (Al-Andalus, XXIII). Needless to say, that al-Ghazali is still celebrated in many academic institutions in the West, with numerous orientalists writing about him and translating his books. Perlu untuk mengatakan, bahwa al-Ghazali masih dirayakan di berbagai institusi akademik di Barat, dengan berbagai orientalis menulis tentang dia dan menerjemahkan buku-bukunya. `Uthman Ka`ak has related that he found a translated copy of Al-Munqidh min al-Dalal in Descartes' library in Paris with Descartes' comments in the margin. 'Utsman Ka `ak telah terkait bahwa ia menemukan buku terjemahan Al-Munqidh min al-Dalal dalam' Descartes 'perpustakaan di Paris dengan Descartes komentar di pinggir. The numerous similarities between Al-Munqidh and Discourse on Method Para banyak kesamaan antara Al-Munqidh dan Discourse on Method support Ka`ak's observations. mendukung Ka `ak's pengamatan. Ka`ak passed away and I have attempted to locate the book that he mentioned by corresponding with several libraries in France that contain some of Descartes' book collection, yet to no avail. Ka `ak meninggal dunia dan aku telah berusaha untuk menemukan buku yang ia disebutkan oleh sesuai dengan beberapa perpustakaan di Prancis yang mengandung beberapa koleksi buku" Descartes, namun tidak berhasil.

Conclusion: Kesimpulan:

Al-Ghazali rejected conformism or uncritical acceptance of any set of thought including that of the Shari'ah. Al-Ghazali menolak conformism atau penerimaan tidak kritis dari setiap himpunan pemikiran termasuk syariat. He sketched his quest for peremptory knowledge (ie `ilm al-yaqin ) and the ordeal he had to go through in order to achieve it. Dia membuat sketsa usahanya mencari pengetahuan pasti (yaitu `ilm al-yaqin) dan cobaan, ia harus melalui untuk mencapainya. He reviewed the position of many Islamic groups and others who claimed to be the gate to the knowledge that he sought. Dia meninjau posisi kelompok Islam banyak dan orang lain yang diklaim sebagai gerbang untuk pengetahuan yang ia cari. His position regarding the sciences slightly differed from one to the other, and from time to time. Posisinya mengenai ilmu sedikit berbeda dari satu ke yang lain, dan dari waktu ke waktu. A science, to be sought, has to be in conformity with the Shari`ah, and has to have practical applications which should prove to be beneficial to the society. Sebuah ilmu, harus dicari, harus sesuai dengan Shari `ah, dan harus memiliki aplikasi praktis yang harus membuktikan menjadi bermanfaat bagi masyarakat. It is apparent that by subscribing to the Sufi path, al-Ghazali detached himself from the material world including the exact sciences, which lost whatever status they held in his eyes at one point. Hal ini jelas bahwa dengan berlangganan ke jalan sufi, al-Ghazali memisahkan diri dari dunia material, termasuk ilmu-ilmu eksakta, yang kehilangan apapun status mereka diadakan di matanya pada satu titik. Al-Ghazali had a great spirit that roamed and wandered in search of truth. Al-Ghazali memiliki semangat besar yang berkeliaran dan mengembara untuk mencari kebenaran. Though originally his search was not in the area of science per se, inculcating such a spirit might be a step in the right direction to scientific inquiry. Meskipun awalnya pencariannya tidak di bidang ilmu per se, menanamkan semangat seperti mungkin langkah ke arah yang benar untuk penyelidikan ilmiah. I began this entry with a quotation from al-Ghazali and I would like to conclude with one that reflects this spirit and leave it open ended, he said: Saya mulai entri ini dengan kutipan dari al-Ghazali dan saya ingin menyimpulkan dengan satu yang mencerminkan semangat ini dan membiarkannya terbuka berakhir, ia berkata:

“In the bloom of my life, from the time I reached puberty before I was twenty until now, when I am over fifty, I have constantly been diving daringly into the depth of this profound sea and wading into its deep water like a bold man, not like a cautious coward. "Dalam mekar dalam hidup saya, dari waktu saya mencapai pubertas sebelum saya dua puluh sampai sekarang, ketika saya lebih dari lima puluh, saya terus telah berani menyelam ke kedalaman laut yang mendalam dan mengarungi ke dalam air yang mendalam seperti orang berani , tidak seperti pengecut hati-hati. I would penetrate far into every mazy difficulty. Saya akan menembus jauh ke dalam setiap kesulitan simpang siur. I would scrutinize …!” ( Freedom and Fulfillment , p. 62) Saya akan meneliti ...)! "(Kebebasan dan Pemenuhan, hal 62

Mustafa Abu Sway Mustafa Abu Sway Al-Quds University October, 2001 Universitas Al-Quds Oktober, 2001

Bibliography (Partial List) Bibliografi (Daftar Partial)

Major works by al-Ghazali arranged in chronological order: Mayor bekerja dengan al-Ghazali diatur dalam urutan kronologis:

----- , Al-Mankhul min Ta`liqat al-Usul , ed., Muhammad Hasan Hitu -----, Al-Mankhul Ta `liqat min al-Usul, ed., Muhammad Hasan Hitu (Damascus: Dar Al-Fikr, 1970) (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1970)

-----, Al-Wajiz (Al-Ghuriyya: Matba`at Hush, 1318 AH [1901 CE]) -----, Al-Wajiz (Al-Ghuriyya: Matba `di Hush, 1318 AH [1901 M])

-----, Al-Wasit , ed., Ali Muhyi al-Din al-Qarah Daghi, 2 vols. -----, Al-Wasit, ed., Ali Muhyi al-Din al-Qarah Daghi, 2 jilid. (Cairo: Dar (Kairo: Dar al-Nasr li al-Tiba`ah al-Islamiyyah, 1984) al-Nasr li al-Tiba `ah al-Islamiyyah, 1984)

-----, Fatawa, ed., Mustafa Abu Sway (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996) -----, Fatawa, red)., Mustafa Abu Sway (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996

-----, Maqasid al-Falasifah , ed., Suleiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma`arif -----, Maqasid al-Falasifah, ed arif., Suleiman Dunya (Kairo: Dar al-Ma ` bi-Misr, 1961) bi-Misr, 1961)

-----, Tahafut al-Falasifah , ed., Suleiman Dunya, 7 th ed. -----, Tahafut al-Falasifah, ed., Dunya Suleiman, 7 th ed. (Cairo: Dar (Kairo: Dar al-Ma`arif bi- Misr, 1961) al-Ma `arif bi-Misr, 1961)

-----, Mi`yar al-`Ilm fi al-Mantiq , ed., Ahmad Shams al-Din (Beirut: Dar -----, Mi `yar al-` Ilm fi al-Mantiq, ed:., Ahmad Syams al-Din (Beirut Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1990) al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1990)

-----, Mihak al-Nazar fi al-Mantiq , ed., Muhammad Badr Ad-Din -----, Mihak al-Nazar fi al-Mantiq, ed., Muhammad Badr Ad-Din al-Na`sani (Beirut: Dar al-Nahdah al-Hadithah, 1966) al-Na `sani (Beirut: Dar al-Nahdah al-Hadithah, 1966)

-----, Mizan al-`Amal , ed., Suleiman Dunya (Cairo: Dar al-Ma`arif bi-Misr, 1964) -----, Mizan al-`Amal, red)., Suleiman Dunya (Kairo: Dar al-Ma` arif bi-Misr, 1964

-----, Al-Iqtisad fi Al-I`tiqad , ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula (Cairo: -----, Al-Iqtisad fi al-I `tiqad, ed Kairo., Muhammad Mustafa Abu al-` Ula (: Maktabat al-Jindi, 1972) Maktabat al-Jindi, 1972)

-----, Ihya' `Ulum al-Din , 4 Vols. (Beirut: Dar al-Ma`rifah, nd) -----, Ihya '`Ulum al-Din, 4 jilid). (Beirut: Dar al-Ma` rifah, nd

-----, Al-Maqsad al-Asna Sharh Asma' Allah al-Husna , ed., Muhammad -Maqsad al-Asna Syarah Asma 'Allah al -----, Al-Husna, ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula (Cairo: Maktabat al-Jindi, 1968) Mustafa Abu al-`Ula (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1968)

-----, Bidayat al-Hidayah , ed. Muhammad al-Hajjar (Damascus: Dar -----, Bidayat al-Hidayah, ed:. Muhammad al-Hajjar (Damaskus Dar al-Sabuni, 1986) al-Sabuni, 1986)

-----, Jawahir al-Qur'an , ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula (Cairo: Jawahir al-Qur'an, ed. -----,, Muhammad Abu Mustafa al-`Ula (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1964) Maktabat al-Jindi, 1964)

-----, “ Al-Madnun bihi `ala Ghayri Ahlih ”, Majmu`at Rasa'il al-Imam -----, "Al-Madnun bihi` ala Ghayri Ahlih ", Majmu` at Rasa'il al-Imam al-Ghazali, vol. al-Ghazali, vol. IV (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986) IV (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986)

-----, “ Al-Qistas al-Mustaqim ” Majmu`at Rasa'il al-Imam -----, "Al-Qistas al-Mustaqim" Majmu `at Rasa'il al-Imam al-Ghazali, vol. al-Ghazali, vol. III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986) III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986)

-----, “ Faisal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah ” Majmu`at -----, "Faisal al-Tafriqah bayn al-Islam wa al-Zandaqah" Majmu `at Rasa'il al-Imam Rasa'il al-Imam al-Ghazali, vol. al-Ghazali, vol. III (Beirut: Dar al-Kutub III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,1986) al-`Ilmiyyah, 1986)

-----, Qanun al-Ta'wil . -----, Qanun al-Ta'wil. Published with al-Ghazali's Ma`arij al-Quds , ed., Ditampilkan dengan al-Ghazali Ma `arij al-Quds, ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula (Cairo: Maktabat al-Jindi, 1968) Muhammad Abu Mustafa al-`Ula (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1968)

------“ Ayyuha al-Walad ” Majmu`at Rasa'il al-Imam al-Ghazali, vol. ------" Ayyuha al-Walad "Majmu` at Rasa'il al-Imam-Ghazali, vol al. III III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986) (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986)

-----, Al-Tibr al-Masbuk fi Nsiyat al-Muluk (Cairo: Maktabat al-Kulliyyah -----, Al-Tibr al-Masbuk fi al-Muluk Nsiyat (Kairo: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah) al-Azhariyyah)

-----, “ Al-Risalah al-Ladunniyyah ”, Majmu`at Rasa'il al-Imam -----, "Al-Ladunniyyah Al-Risalah", Majmu `at Rasa'il al-Imam al-Ghazali, vol. al-Ghazali, vol. III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986) III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1986)

-----, Mishkat al-Anwar , ed., `Abd Al-`Aziz `Izz al-Din al-Siyarawan -----, Mishkat al-Anwar, ed., `Abd Al-` Aziz `Izz al-Din al-Siyarawan (Beirut: `Alam al-Kutub, 1986) (Beirut: `Alam al-Kutub, 1986)

-----, Al-Kashf wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma`in (Cairo: Matba`at -----, Al-Kashf wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma `dalam (Kairo: Matba` di Mustafa Muhammad, nd) Published with `Abd al-Wahhab Mustafa Muhammad, nd) Ditampilkan dengan `Abd al-Wahhab al-Sha`rani's Tanbih al-Mughtarrin . al-Sha `rani's Tanbih al-Mughtarrin.

-----, Al-Munqidh min al-Dalal , eds., Jamil Saliba and Kamil `Aiyyad, 10 th -----,-Munqidh min Al al-Dalal, eds., Saliba Jamil dan Kamil `Aiyyad, 10 th ed. ed. (Beirut: Dar al-Andalus, 1981) (Beirut: Dar al-Andalus, 1981)

-----, Al-Mustasfa min `Ilm al-Usul , 2 vols. -----, Al-Mustasfa min `Ilm al-Usul, 2 jilid. (Bulaq: Al-Matba'ah (Bulaq: Al-Matba'ah al-Amiriyyah, 1322 AH) al-Amiriyyah, 1322 AH)

-----, Al-Imla' fi Mushkilat al-Ihya' , Appendix, Iyha' `Ulum al-Din -----, Al-Imla 'fi Mushkilat al-Ihya', Lampiran, `Ulum Iyha 'al-Din (Beirut: Dar al-Ma`rifah, nd) (Beirut: Dar al-Ma `rifah, nd)

-----, Al-Durrah al-Fakhirah fi Kashf `Ulum al-Akhirah . -----, Al-Durrah al-Fakhirah fi `Ulum Kashf al-akhirah. Published with Diterbitkan dengan al-Ghazali's Sir al-`Alamin , ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula Ghazali Sir al-al-`Alamin, ed., Muhammad Mustafa Abu al-` Ula (Cairo: Maktabat al-Jindi, 1968) (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1968)

-----, Sir al-`Alamin wa Kashf ma fi al-Daryn , ed., Muhammad Mustafa Sir -----, al-`Alamin wa Kashf ma fi al-Daryn, ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula (Cairo: Maktabat al-Jindi, 1968) Abu al-`Ula (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1968)

-----, Iljam al-`Awam `an `Ilm al-Kalam , ed., Muhammad al-Musta`sim -----, Iljam al-`Awam` an `Ilm al-Kalam, ed., Muhammad al-Musta` sim Billah al-Baghdadi (Beirut: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1985) Billah al-Baghdadi (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985)

-----, Minhaj al-`Abidin , ed., Muhammad Mustafa Abu al-`Ula (Cairo: Minhaj al-`Abidin, ed. -----,, Muhammad Mustafa Abu al-` Ula (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1968) Maktabat al-Jindi, 1968)

-----, Ma`arij al-Quds fi Ma`rifat al-Nafs (Cairo: Maktabat al-Jindi, 1968) -----, Ma `arij al-Quds fi Ma` rifat al-Nafs (Kairo: Maktabat al-Jindi, 1968)

Translated Works of al-Ghazali Diterjemahkan Karya al-Ghazali

1. al-Ghazali, The Book of Knowledge 1. Al-Ghazali, Kitab Pengetahuan ( Kitab al-`Ilm of Ihya` `Ulum (Kitab al-`Ilm dari Ihya` `Ulum al-Din ) ed. al-Din) ed. and trans., Nabih Amin Faris (Lahore; Sh. Muhammad dan trans;., Nabih Amin Faris (Lahore. Sh Muhammad Ashraf, 1962) Ashraf, 1962)

2.-----, On the Duties of Brotherhood . trans. 2 .-----, Pada Tugas Persaudaraan. Trans. Muhtar Holland (Woodstock, NewYork: The Overlook Press, 1976) Muhtar Holland (Woodstock, NewYork: The Overlook Press, 1976)

3.-----, Freedon and Fulfillment ( Al-Munqidh min al-Dalal ), Published with al-Ghazali's “ Fada'ih al-Batiniyyah wa Fada'il 3 .-----, Freedon dan Pemenuhan (Al-Munqidh min al-Dalal), Ditampilkan dengan-Ghazali "al Fada'ih Batiniyyah wa al-Fada'il

al-Mustazhiriyyah ”. ed. al-Mustazhiriyyah ". ed. and trans., Richard J. McCarthy (Boston: Twayn Publishers, 1980) dan trans)., Richard J. McCarthy (Boston: Twayn Publishers, 1980

4.-----, Inner Dimensions of Islamic Worship (from Ihya' `Ulum al-Din ) trans., Muhtar Holland (Leicester: The Islamic Foundation, 1983) 4 .-----, batin Dimensi Ibadah Islam (dari '`Ihya Ulum al-Din) trans)., Muhtar Holland (Leicester: Islamic Foundation, 1983

5.-----, The Just Balance ( Al-Qistas al-Mustaqim ), trans. 5 .-----, The Just Balance (Al-Qistas al-Mustaqim), trans. and ed., DP Brewster (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1978) dan ed Brewster., DP (Lahore:. Sh Muhammad Ashraf, 1978)

6.-----, The Niche for Lights ( Mishkat al-Anwar ), trans. 6 .-----, The Niche untuk Lights (Mishkat al-Anwar), trans. and ed., WHT Gairdner (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1952) dan ed Gairdner., WHT (Lahore:. Sh Muhammad Ashraf, 1952)

7.-----, The Ninety-Nine Beautiful Names of God ( Al-Maqsad al-Asna 7 .-----, itu Sembilan puluh Sembilan Nama Indah Allah Al-Maqsad al-Asna ( Sharh Asma' Allah Al-Husna ) trans., David B. Burrell and Nazih Syarah Asma 'Allah Al-Husna) trans., David B. Burrell dan Nazih Daher (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1992) Daher (Cambridge: Teks Masyarakat Islam, 1992)

8.-----, The Precious Pearl ( Al-Durrah al-Fakhirah ), trans. 8 .-----, Precious Pearl (Al-Durrah al-Fakhirah), trans. and ed., Jane dan ed., Jane Idleman Smith (Missoula: Scholars Press, 1979) Idleman Smith (Missoula: Scholars Press, 1979)

9.-----, Letters , trans., Abdul Qayyum (Lahore: Islamic Publications, 1976) 9 .-----, Surat, trans)., Abdul Qayyum (Lahore: Islamic Publications, 1976

Other Works: Lain-lain Pekerjaan:

Abu Sway, Mustafa, al-Ghazali: A Study in Islamic Epistemology (Kuala Abu Sway, Mustafa, al-Ghazali: Sebuah Studi di Epistemologi Islam (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1996) Lumpur, Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1996)

Al-A`sam, `Abd al-Amir, Al-Faylasuf al-Ghazali (Beirut: Dar al-Andalus, Al-A `sam,` Abd al-Amir, Al-Faylasuf al-Ghazali (Beirut: Dar al-Andalus, 1981) 1981)

Badawi, `Abdurrahman, Mu'allafat al-Ghazali , 2 nd ed. Badawi, `Abdurrahman, Mu'allafat al-Ghazali, 2 nd ed. (Kuwait: Wakalat al-Matbu`at, 1977) (Kuwait: al-Matbu Wakalat `at, 1977)

Laoust, Henri, La Politique De Gazali (Paris: Librairie Orientaliste Paul Laoust, Henri, La Politique De Gazali (Paris: Paulus Orientaliste Librairie Geuthmer, 1970) Geuthmer, 1970)

Al-Qaradawi, Yusuf, Al-Imam al-Ghazali bayn Madihih wa Naqidih (Al-Mansurah: Dar al-Wafa', 1990) Al-Qaradawi, Yusuf, Al-Imam al-Ghazali bayn wa Madihih Naqidih (Al-Manshurah: Dar al-Wafa ', 1990)

Al-Sharabasi, Ahmad, al-Ghazali (Beirut: Dar al-Jil, 1975) Al-Sharabasi, Ahmad, al-Ghazali (Beirut: Dar al-Jil, 1975)

Al-`Uthman, `Abd al-Karim, Al-Dirasat al-Nafsiyyah `ind al-Muslimin wa Al-`Utsman,` Abd al-Karim, Al-Dirasat al-Nafsiyyah ind wa al-Muslimin ` al-Ghazali bi Wajhin Khas , 2 nd ed. al-Ghazali Khas Wajhin bi, 2 nd ed. (Cairo: Maktabat Wahbah, 1981) (Kairo: Maktabat Wahbah, 1981)

Watt, W. Watt, W. Montgomery, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali Montgomery, Muslim Intelektual: Studi al-Ghazali (Edinburgh: The Edinburgh University Press, 1963) (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1963)

Zaki, Mubarak, Al-Akhlaq `ind al-Ghazali (Beirut: Al-Maktabah al-`Asriyyah, nd) Zaki, Mubarak, Al-Akhlaq `ind al-Ghazali (Beirut: Al-Maktabah al-` Asriyyah, nd)

Al-Zubaydiyy, Murtada, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin bi Sharh Asrar Ihya' Al-Zubaydiyy, Murtada, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin bi Asrar Ihya Syarah ' `Ulum al-Din (Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-`Arabi, nd) `Ulum al-Din (Beirut: Ihya 'al-Turath Dar al-` Arabi, nd)

back to top kembali ke atas

back to the list of entries (g) kembali ke daftar entri (g)

back to Resources on Islam and Science kembali ke Sumber tentang Islam dan Ilmu

back to home kembali ke rumah
Teks asli Inggris
He noted though that this method has prerequisites; one should abandon all worldly attachments.
Sarankan terjemahan yang lebih baik

Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)

Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)

Pada kali ini, saya ingin memperkenalkan buku tulisan Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali yang bertajuk al-Qistas al-Mustaqim. Di tangan saya ada terjemahannya yang bertajuk The Just Balance yang diterjemahkan oleh D.P. Brewster pada tahun 1978 yang merupakan ahli akademik di University of Canterbury ketika itu.

Buku ini ditulis dalam bentuk polemik; dalam bentuk soalan dan jawapan. Buku ini ditulis untuk menjawab persoalan yang berkaitan tentang kepercayaan golongan Isma’ili, salah satu kelompok Shi’ah, terhadap imam-imam mereka yang diberi taraf maksum. Golongan ini juga dikenali sebagai Batiniyyah dan buku ini ditujukan khusus kepada salah satu kelompok di dalam golongan ini yang dikenali sebagai Ta’limiyyah. Di dalam golongan Isma’iliyah ini, terdapat satu kelompok fanatik yang dikenali sebagai “Hashshashin” yang membentuk perkataan Inggeris “assassin”.

Berbalik kepada buku tersebut, Imam al-Ghazali menggunakan kaedah soal jawab dalam menangani persoalan yang menyentuh tentang kepercayaan Ta’limiyyah. Imam al-Ghazali ingin menunjukkan bahawa manusia tidak memerlukan imam yang maksum kerana kewujudan Rasulullah dan Kitabullah sudah cukup untuk menjawab segala persoalan yang menimbulkan kontroversi.

Dalam buku ini, Imam al-Ghazali menerangkan kaedah penggunaan syllogisma dalam memahami bagaimana sesuatu ilmu itu diukur. Imam al-Ghazali juga menerangkan bagaimana kaedah ini disalahgunakan oleh golongan Isma’ili dan golongan lain contohnya Mujassimah.

Sebagai contoh, analogi yang digunakan oleh golongan Mujassimah:

Premis pertama: Setiap agen mempunyai tubuh.
Premis kedua: Pencipta (Tuhan) adalah agen.
Jadi Dia mempunyai tubuh.

Jadi, Imam al-Ghazali mengemukakan soalan, adakah anda golongan Mujassimah sudah menyelidik setiap agen pencipta mempunyai tubuh. Adakah anda hanya menyelidik agen pencipta seperti pembuat kasut, tukang jahit, tukang kayu dan lain-lain tetapi tidak menyelidik agen pencipta langit dan bumi? Golongan Mujassimah ini seperti segolongan manusia yang mengatakan semua haiwan berjalan dengan kaki setelah menyelidik kuda, unta, gajah, serangga dan burung, tetapi mereka tidak menyelidik ular dan cacing. Begitu juga Imam al-Ghazali menerangkan kesalahan golongan Mu’tazilah dan lain-lain dalam menggunakan kaedah syllogisma.

Kemudian, antara lain Imam Ghazali menerangkan kaedah dalam menilai sesuatu secara adil tanpa dipengaruhi prejudis dan hawa nafsu. Menurutnya, hendaklah kita menilai sesuatu itu berdasarkan sesuatu itu, bukan menilai berdasarkan siapa yang mengatakannya, apakah kita suka atau benci kepada siapa yang mengatakannya atau penggunaan kata-katanya yang kelihatan menarik, contohnya bahasa-bahasa akademik dan teknikal dan berbunga-bunga. Imam al-Ghazali berkata:

(Y)ou did not look at a saying for its own sake, but only look at its elegant construction or the good opinion you have of him who utters it. If its form is disagreeable to you, or the one who utters it is hateful in your estimation, you reject the saying, even though it may be true in itself. If, again, someone were were to say to you: “Say: There is no god but God, and Jesus is the Messenger of God,” you would be repelled by this and would reply: “This is a statement from the Christians. How could I say this?” You would not have the intelligence to know that in itself this statement is true and that the Christian is hateful not because of this statement, nor for others like it, but only because of two. The first of these that Muhammad is not the Messenger of God, and the second is that God is the third of three. All else that he says is true.

Imam Ghazali juga menerangkan bagaimana untuk memilih pendapat ‘ulama’ dalam masalah fiqh. Imam al-Ghazali menggunakan analogi pesakit dan doktor. Menurut beliau, pesakit tersebut hendaklah memilih mana-mana doktor yang difikirkan terbaik berdasarkan pemikiran yang waras dan penilaian yang sepatutnya. Menurut beliau lagi, adalah tidak waras bagi seorang pesakit yang telah diberi ubat oleh doktor yang bertauliah untuk mempersoalkan mengapa doktor-doktor lain berlainan pendapat sedangkan nyawanya di hujung tanduk. Imam al-Ghazali berkata:

If someone says to you: “I find it difficult to proceed with circumspection when questions arise in which there is neither yea nor nay, that is whether I should pray in the morning or not and whether I should pronounce the name of God with a loud voice, to such a man I should say: “Now, search within your soul, and consider which of the Imams you find most acceptable, and whose answer to these points carries most weight. If, for example, you were sick and there were many doctors in your town, you would choose one of them by an effort of appraisal and not by whim of a moment or because of your inclination. In matters of religion such an effort of appraisal suffices. Whatever is, in your opinion, most fitting, that follow. If the Imam is right, then you and he will have a double recompense; if not, then both of you will accrue a single recompense.

Seterusnya, Imam al-Ghazali berkata, dalam menilai sesuatu, kita menilai sesuatu berdasarkan apa yang boleh kita perolehi melalui penilaian kita. Menurut Imam al-Ghazali, manusia tidak dibebankan dengan beban yang tidak dapat dipikul, maka apabila kita telah menilai sesuatu dengan sebaik-baik penilaian, dan kita salah menilainya, maka kita tidak dibebankan oleh dosa. Imam al-Ghazali memberikan contoh, seorang musafir tidak disyaratkan untuk menghadap kiblat dengan sebenar-benarnya, tetapi berdasarkan penilaian terbaik musafir itu untuk menentukan arah kiblat berpandukan gunung, bintang dan matahari. Begitu juga Imam al-Ghazali berkata seseorang itu disyaratkan untuk memberi zakat kepada mereka yang dinilai sebagai orang miskin kerana pemberi zakat tidak boleh menyelami hati manusia. Dengan ini, Imam al-Ghazali menolak kepercayaan golongan Ta’limiyyah yang meletakkan imam-imam mereka pada taraf maksum.

Sebenarnya, banyak lagi perkara yang dibincangkan oleh Imam al-Ghazali. Melalui buku ini, boleh dilihat Imam al-Ghazali mempunyai kebolehan mantiq yang tinggi. Ini menunjukkan Imam al-Ghazali telah menguasai bidang falsafah dengan baik, termasuk falsafah Aristotle.

Cuba kita bandingkan kebolehan mantiq yang tinggi yang dipunyai oleh Imam al-Shafi’i dalam menghasilkan kitabnya al-Risalah dan al-Umm. Jelas bahawa kebolehan untuk menggunakan akal yang betul berdasarkan cahaya Sunnah dan Kitabullah amat penting untuk menjadi seorang Muslim yang bebas dari dibebankan oleh kontroversi-kontroversi yang mengganggu kehidupan. Bacalah buku ini. Buku ini elok dibaca dengan sebuah lagi kitab Imam al-Ghazali yang bertajuk Munqidh Min al-Dhalal.

LIHAT http://malakian.blogsome.com/2007/06/22/al-qistas-al-mustaqim-the-just-balance/

Mohammad al-Ghazali

Riwayat Hidup Al-Ghazali (1058-1111)

Abu Hamed Mohammad ibn Mohammad al-Ghazali atau Algazel. Terkenal dalam sejarah islam sebagai ahli falsafah, ahli teologi dan ahli juri yang disegani.Dilahirkan di Tus, Khorasan, Iran pada tahun 1058. Ayahnya ilmuwan yang mengharapkan beliau dan abangnya menjadi orang yang alim. Ayah beliau meninggal ketika mereka masih muda.Mereka pun mendaftar di Madrasah, Gurgan untuk beluga ilmu Fiqh. 7 tahun, Al-Ghazali kembali ke Tus. Kemudian melanjutkan pelajaran dalam bidang agama, falsafah, logik dan lain-lain. Belajar dengan sarjana Muslim yang terkenal, Iman al-Haramayn. 1091, Al-Ghazali dilantik sebagai seorang Professor di Baghdad. 1095, Beliau meninggalkan Baghdad kerana dilanda satu krisis. Kembali ke Tus sehingga kematian beliau pada Th 1111. Sumbangan Menghasilkan lebih daripada 400 buah karya dalam pelbagai bidang seperti teologi, falsafah, sains dan lain-lain.

1.Tahafut al-Falasifa(The Incoherence of the Philosophers).
2.Ihya al-Ulum al-Din or Ihya¶ul Ulumuddin.
3.Maqasid al falasifa. Membentangkan teori- teori asas falsafah.
4.Miyar al-Ilm fi fan al-Mantiq( Criterion of Knowledge in the Art of Logic)
5.Mihak al-Nazar fi al-mantiq( Touchstone of Reasoning in Logic)
6.Al-Qistas al-mustaqim( The Correct Balance)

Rahasia Bait Jaljalut Qubro ke 79 - 83

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjrZICDAI4XSNa9QKqNZrLb_pxz9XcKfPHrPwWmMutgL8tip_g-FMyCucjqmxpeHEKmDl6O2g4JrDolnEhrUFtYtbBgkHwiVgs3jGUJLqc0kEy7Vq958iY9m7izzZbuOJyK05rC6wZhLkk/s400/jaljalut+79.jpg

WA ARSIL LIYAD DUNYA BI TOW’I WA TO’ATIN

BI ISMI QORIBIN YA MUJIIBU TAYASSAROT.

WA BIS SA’DI ARDAFI’UHA ILAYYA WA BIS SOFA

WA BIL JAAHI WAS SULTONI WAL MULKI ARDAFAT.

WA HAB LII ILAHII MIN JALALIKA HAYBATAN

WA NURON WA ANWARON BIHAL KAUNU ASROQOT.

WA YAROBBI ZAWWIJNII BI DZATI MAHASINI

TAHAKII DIYA-A ALBADRI IDZ AQBALAT.

WA JAMMIL BI SIRRIL ISMI DZATII BI NURIHI

WA BIL ISMI ALBISNII SIYABAN TAJAMMALAT.

Ojo Kebenthus Awang-Awang, Ojo Kesandung Dalan Roto

Ojo Kebenthus Awang-Awang, Ojo Kesandung Dalan Roto” Apa yang bisa diambil Refleksi terhadap diri adalah hal yang penting dan telah menjadi kebutuhan manakala seseorang berkehendak untuk semakin mendewasakan diri dalam pola fikir, pola tidak, pola perilaku. Karena manusia adalah mahluk yang unik, karena masing-masing pribadi dapat dipastikan mempunyai kelebihan tertentu dan juga kekurangan tertentu maka bentuk refleksi diri yang dilakukan juga banyak variasinya. salah satunya adalah memahamipetuah bijak dari orang tua tersebut patut digugu dan ditiri ben gak salah arah. Cak Anam