Rabu, 11 September 2013

Dekatkan SurgaMu



Aku menangis dalam sembahyang
air mataku jatuh berlinang
teringat dosa yang ku lakukan
padamu Tuhan mohon ampunan


roda dunia kadang ku lupa
seakan hidup terus selamanya
dunia bagai fatamorgana
terlena diri dustakan mata


astaghfirullah rabbal baraya
astaghfirullah minal khothoya
hamba bertaubat mohon ampunan
hapuskan segala noda dan dosa


Kau Maha Pengampun, Maha Penyayang
jauhkan dari azab siksaan
dekatkan hamba dengan surga-Mu
sungguh tak sanggup di neraka-Mu


aku menangis dalam sembahyang
air mataku jatuh berlinang
teringat dosa yang ku lakukan
padamu Tuhan mohon ampunan

astaghfirullah rabbal baraya
astaghfirullah minal khothoya
hamba bertaubat mohon ampunan
hapuskan segala noda dan dosa


Kau Maha Pengampun, Maha Penyayang
jauhkan dari azab siksaan
dekatkan hamba dengan surga-Mu
sungguh tak sanggup di neraka-Mu


astaghfirullah rabbal baraya
astaghfirullah minal khothoya
hamba bertaubat mohon ampunan
hapuskan segala noda dan dosa


Kau Maha Pengampun, Maha Penyayang
jauhkan dari azab siksaan
dekatkan hamba dengan surga-Mu
sungguh tak sanggup di neraka-Mu


dekatkan hamba dengan surga-Mu
sungguh tak sanggup di neraka-Mu

Sabtu, 15 Juni 2013

Kupas arti SURAH aL-HUJURAT 49 AYAT 6



Oleh Drs. Hafidz Abdurrahman, MA
بسم الله الرحمن الرحيم
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ[
Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan.
(QS al-Hujurat [49]: 6)

Tafsir Ayat:
Ayat ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu, al-Walîd, menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan melapor kepada Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah akan menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat (49) ayat 6 ini.[1]
Konteks turunnya ayat ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah: Al-‘ibrah bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat ini berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian membuat kaidah periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran Islam. Tidak hanya itu, secara praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para politikus untuk mengambil keputusan sehingga pantas jika Rasul saw. menyatakan:
»اَلتَّبَيُّنُ مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ«
Pembuktian itu berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. (Dikeluarkan at-Thabari). [2]
Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati ketika ada orang fasik membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak menelannya mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in fatabayyanû). Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah syarthiyyah (kalimat bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik] membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang berbentuk sifat, fâsiqun (orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya hadis ahâd yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik.[3] Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan yang disampaikan oleh seorang guru yang adil.
Fâsiq (fasik) sendiri mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan). Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini adalah dusta atau bohong.[4] Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[5]
Penggunaan kata naba’ (berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut adalah berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita pada dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang bisa menghasilkan keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). [6] Di sisi lain, kata naba’ tersebut merupakan bentuk nakirah (umum), yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat disimpulkan, jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus diperiksa. Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush (mengindentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan berita yang disampaikan. [7]
An tushîbû qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam kondisi kalian tidak mengetahui) adalah keterangan hâl (keadaan yang menjelaskan perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni, konteks bi jahâlatin tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak mengetahui);[8] sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu. Tindakan yang sama juga dilarang oleh Allah dalam ayat lain:
]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً[
Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).
Fatushbihû ‘alâ mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain; termasuk pengambil keputusan.
Wacana Tafsir: Cara Menerima Berita
Untuk menerima berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang urgen. Islam, melalui surat al-Hujurât (49) ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber berita tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) ‘âdil (Muslim dan tidak fasik); (2) fâsiq (tidak adil). Jika sumber berita tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan dosa kecil atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang asalnya adil sehingga al-Qurthûbi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil keputusan (al-hâkim), baik penguasa maupun bukan, tetap harus melakukan pengecekan terhadap berita yang diterimanya, sekalipun dari orang Islam.[9] Ini seperti yang terjadi dalam kasus al-Walîd di atas. Al-Walîd adalah utusan Nabi saw., yang tentu merupakan orang pilihan. Akan tetapi, akibat kesalahpahamannya terhadap sambutan Bani Musthaliq, ia bisa melakukan kesalahan, yang barangkali tidak sengaja ia lakukan.
Berbeda jika sumber berita tersebut orang fasik, maka Islam sangat tegas memerintahkan agar beritanya dicek sehingga kita tidak terjebak dalam pengambilan keputusan berdasarkan kebodohan yang akhirnya berujung pada penyesalan. Jika berita orang Islam yang fasik saja perlu dicek, maka bagaimana dengan berita yang disampaikan orang kafir? Tentu lebih perlu lagi. Misalnya, berita yang disampaikan CIA, bahwa Omar al-Farouq telah mengaku mempunyai rencana untuk membunuh Megawati. Menurut berita yang sama, al-Farouq juga diberitakan sebagai anggota jaringan al-Qaedah. Indonesia juga diberitakan sebagai salah satu tempat berkembangnya jaringan al-Qaedah. Berita-berita tersebut semuanya bersumber dari orang kafir, atau orang Islam yang bekerjasama dengan orang kafir, alias orang fasik. Karena itu, berita tersebut harus diperiksa kebenarannya. Dalam kasus seperti ini ada contoh menarik; Rasul langsung mengirim Khâlid bin al-Walîd untuk memeriksa keadaan Bani Musthaliq mengenai benar dan tidaknya informasi pembangkangan mereka sebagaimana yang dituturkan al-Walîd di atas.[10] Sebagaimana Rasul tidak mengecek kepada al-Walîd, maka para pengambil keputusan di negeri ini, juga tidak seharusnya melakukan klarifikasi kepada CIA, mengenai benar dan tidaknya informasi tersebut. Lebih dari itu, karena merupakan manuver politik negara kafir, maka informasi tersebut tidak bisa dilihat semata-mata sebagai informasi, tetapi harus dilihat sebagai manuver politik dengan tujuan dan target tertentu yang hendak diraih oleh negara kafir, seperti Amerika dan lain-lain.
Ini, misalnya, tampak ketika pemerintahan Bush Jr. menyatakan, bahwa al-Qaedah yang dipimpin Usamah bin Laden merupakan aktor pengeboman Peristiwa 11 September 2001. Informasi ini sesungguhnya bukanlah informasi biasa, melainkan manuver politik. Akan tetapi, sayang, karena ketidakmampuan penguasa Taliban membaca informasi yang sesungguhnya merupakan manuver politik Amerika ini, mereka tidak menyiapkan langkah-langkah real untuk menghadapinya. Akibatnya, seperti yang bisa disaksikan, manuver Amerika ini berjalan dengan gemilang dan hasilnya sangat fantastis. Taliban berhasil dijatuhkan dengan sangat singkat, digantikan dengan kaki tangannya yang loyal, Hamid Karzai; sistem imarah yang dibangun Taliban berhasil diruntuhkan, digantikan dengan demokrasi ala Amerika; kemudian rancangan politik Amerika berhasil ditancapkan melalui kaki tangan dan seluruh kinerjanya. Pada saat yang sama, monopoli Amerika atas wilayah tersebut berhasil diwujudkan dengan berdirinya pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan. Dengan demikian, Amerika telah berhasil mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa tunggal dunia setelah menguasai jantung dunia, Afganistan dan Asia Tengah.
Karena itu, untuk merealisasikan manuver politiknya, negara-negara kafir seperti Amerika dan Inggris, akan selalu menyebarkan informasi atau berita bohong untuk menutupi niat jahatnya. Namun, jika umat Islam sadar, bahwa negara-negara kafir itu adalah musuh, dan hubungan antara negeri-negeri kaum Muslim dengan mereka adalah hubungan permusuhan, bukan persahabatan—sebagaimana yang mereka pertontonkan terhadap Islam, umat, dan negeri-negeri mereka—maka seharusnya umat Islam berpegang teguh pada sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Harayrah, sebagai berikut:
»اَلْحَرْبُ خِدْعَةٌ«
Peperangan itu merupakan tipudaya. (HR Muslim).
Karena itu, mereka tidak seharusnya menelan mentah-mentah informasi yang datang dari musuh mereka. Karena itu pula, seperti yang dikatakan Ibn Hajar al-Asqalâni, perang yang baik bagi pelakunya dengan niat dan tujuannya yang sempurna adalah Perang Tipudaya, bukan berhadap-hadapan secara langsung.[11] Inilah yang dimainkan Amerika, Inggris, dan negara-negara kafir lainnya, karena mereka tidak sanggup berperang berhadap-hadapan secara langsung dengan umat Islam yang haus surga dan merindukan mati syahid. Kesadaran yang sama seharusnya dimiliki oleh umat Islam supaya mereka juga bisa memenangkan pertarungan ini.
Akan tetapi, sayangnya, umat Islam saat ini dipimpin oleh orang-orang yang lebih loyal kepada musuhnya ketimbang kepada mereka. Akibatnya, ketika Amerika menabuh gendang Perang Melawan Terorisme, yang target dan tujuannya jelas untuk memerangi Islam dan umatnya, para penguasa itu justru menari mengikuti irama gendang yang ditabuh Amerika; bak kata penyair:
إذَا كاَنَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفِّ ضَارِبًا
فَسِيْمَاتُهُ أَهْلُ الْبَيْتِ كُلُّهُمُ الرَّقْسُ
Jika tuan rumah memukul gendang,
seluruh penghuninya tampak menari.
Wacana Tafsir: Tabayyun Berita melalui Kondisi yang Meliputinya
Ketika berita tidak dapat dipahami hanya dengan membaca makna kata (madlûl), misalnya Perang Melawan Terorisme, yang berarti peperangan melawan individu atau kelompok yang mengancam keselamatan umum dengan tujuan atau motif politik tertentu—padahal peperangan tersebut dimaksud sebagai peperangan melawan Islam dan umatnya—dengan tujuan untuk mengukuhkan hegemoni pelakunya atas dunia, maka berita tersebut harus di-tabayyun dengan cara mengaitkannya dengan situasi dan kondisi (zhurûf)-nya. Penggulingan Taliban dan pelantikan Hamid Karzai dengan pemerintahan barunya atas nama Perang Melawan Terorisme adalah salah satu kondisi; pendirian pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain; penyusunan UU Antiteroris di beberapa negara, seperti Pakistan dan Indonesia, serta ditandatanganinya perjanjian regional atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain; kerjasama intelijen dan penangkapan tokoh-tokoh Islam atas nama Perang Melawan Terorisme juga merupakan kondisi lain; upaya penggulingan Saddam yang pro-Inggris untuk digantikan dengan kaki tangan Amerika atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain. Semua itu merupakan kondisi yang secara telanjang menjadi indikator, bahwa istilah Perang Melawan Terorisme tidak dapat ditangkap hanya dengan memahami makna katanya, melainkan harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Dari sanalah, baru dapat disimpulkan bahwa Perang Melawan Terorisme tersebut sesungguhnya merupakan peperangan untuk melawan musuh politis dan ideologis Amerika dengan tujuan mengukuhkan hegemoninya atas dunia.
Berita mengenai Indonesia, bahwa Indonesia merupakan Sarang Teroris, juga tidak dapat ditafsirkan secara terpisah dari berbagai kondisi, seperti penangkapan WNI yang membawa bom di Filipina, 3 WNI yang ditangkap di Singapura dengan tuduhan sebagai anggota Jamaah Islamiyah, penangkapan Omar al-Farouq di Indonesia, penangkapan 3 WNI di Filipina dengan tuduhan terlibat pengeboman, pengeboman mes Kedubes Amerika, pengeboman mal Cijantung, latihan ketentaraan di salah satu pulau di Jawa Timur, dan lain-lain. Dengan adanya semua kondisi di atas, berita Indonesia merupakan Sarang Teroris tersebut kemudian mempunyai impresi yang kuat di benak orang yang mendengarnya, dan berita tersebut akhirnya dianggap benar adanya. Hanya tetap harus diperhatikan, bahwa impresi tersebut tidak boleh dipisahkan dengan situasi dan kondisi politik di atas, juga kondisi historis bangsa Indonesia. Dilihat dari situasi dan kondisi politik di atas, jelas bahwa berita Indonesia merupakan Sarang Teroris itu bertujuan untuk mengukuhkan kembali cengkeraman Amerika di negeri ini setelah sebelumnya pudar pasca dijatuhkannya Soeharto. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk merealisasikan itu berbagai rekayasa di atas harus dilakukan? Alasannya, secara historis, bangsa Indonesia tidak mudah ditundukkan oleh Amerika, kecuali melalui berbagai kerusuhan, pemberontakan, dan rekayasa di dalam negeri sehingga bangsa ini terpaksa menerima uluran tangan Amerika. Setelah itu, barulah mereka tunduk di tangan Amerika. Realitas ini ditunjukkan oleh bangsa ini pasca Perang Kemerdekaan hingga dekade 1950-an; Amerikalah yang memprovokasi Perang Permesta, PRRI, termasuk DII/TII, dan terakhir pemberontakan G 30 S PKI, sampai akhirnya negeri ini berhasil dicengkeram oleh Amerika melalui militer. Karena itu, kerjasama militer Indonesia dengan Amerika yang dimulai September 2002 juga tidak dapat dipisahkan dari skenario di atas. Kasus lain adalah Sudan, yang akhirnya tunduk di bawah ketiak Amerika, setelah sebelumnya didera dengan tuduhan Teroris, hingga pengeboman gudang farmasi yang diklaim Amerika sebagai pabrik pembuatan senjata pembunuh massal, dan sebagainya, termasuk naiknya Jenderal Omar Bashir setelah digulingkannya Hassan at-Turabi, padahal dia telah memenuhi keinginan Amerika, termasuk melakukan penangkapan terhadap aktivis Muslim untuk dijebloskan dalam penjara.
Akankah negeri ini mengalami sejarah yang sama, dijajah kembali, yang berarti keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa? Tentu semuanya kembali pada kearifan, kecerdasan, dan kesadaran politik umat dan bangsa ini. Wallâhu a‘lam. []
[1] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qu’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI, hlm. 123-124.
[2] Ath-Thabari, Ibid, hlm. 124; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV, hlm. 210.
[3] Al-Qurthûbi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI, hlm. 312.
[4] As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, Dâr al-Fikr, Beirut, juz V, hlm. 60.
[5] Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 307 dan 315.
[6] Lihat, As-Shâbûni, Shafwat at-Tafâsîr, Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III, hlm. 231.
[7] Asy-Syawkâni, Ibid, hlm. 60.
[8] Asy-Shâbûni, Ibid, hlm. 233.
[9] Al-Qurthûbi, Ibid, juz XVI, hlm. 311.
[10] At-Thabari, Ibid, juz XXVI, hlm. 124.
[11] Al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, 1376, juz VI, hlm. 158.


Minggu, 09 Juni 2013



Rahasia Kesempurnaan Makrifat Para Wali Jawa
Judul Buku       : Rahasia Kesempurnaan Makrifat Para Wali Jawa
Pengarang        : Agus Wahyudi
Harga               : Rp 30.000,00
Penerbit            : Lingkaran 

Ringkasan : 
Tanah Jawa menyimpan kekayaan yang melimpah ruah, termasuk warisan ilmu dan ajaran tasawuf. Salah satu warisan yang berharga yang ditinggalkan leluhur Jawa tersebut adalah ajaran kesemprunaan makrifat yang dikenal juga dengan istilah ngelmu sangkan paran ( ilmu asal usul ).
Ilmu sangkan paran adalah ilmu tentang asal muasal semua kejadian, tentang sejarah penciptaan semua makhluk hingga tujuan akhir manusia setelah kematian. Dalam khazanah tasawuf, didapat satu kesimpulan bahwa asal segala sesuatu adalah Allah Swt dan akan kembali lagi kepada Allah Swt, sejalan dengan firman-Nya, innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kita kembali kepada-Nya). Jika landasan ini diterapkan dalam setiap desah nafas selama hidup di dunia ini maka akan berujung pada makna manunggaling kawula Gusti ( bersatunya hamba Tuhan ).
ternyata, tidaklah mudah untuk sekedar memahami makna dari ajaran makrifat ini. Maka wajar jika Wali Songo tidak mengijinkan seseorang untuk belajar ilmu kesejatian ini jika dinilai belum siap secara mental. Akan akan fatal akibatnya jika salah pengertian. Bahkan pada mulanya ilmu terbagi menjadi 9 ajaran yang terpisah untuk mrmudahkan pemahaman orang yang mempelajarinya, hingga atas kehendak Kanjeng Sultan Agung dari Mataram semua ilmu ini disatukan dalam satu ajaran yang utuh. Adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito yang berjasa menggabungkan ulang ajaran ini, setelah terpisah-pisah lagi pasca meninggalnya Kanjeng Sultan Agung.
Buku ini terasa berbeda, penuh dengan nuansa praktis (amaliah) dan bukan sekedar teoritis (ilmiah). Bersumber dari Serat Wirid Hidayah Jati, penulis memberikan pemaparan secara gamblang tentang ajaran makrifat sejati, mempermudah jalan menuju pemahaman terhadap makna manunggaling kawula Gusti.