December 13, 2006 in Hankam
Tulisan Mahi M. Hikmat (MMH) di Pikiran Rakyat
yang berjudul: “Aksesibilitas Politik Polri Yang Agamis” tepat pada Hari
Bayangkara ke-59, 1 Juli 2005 membuat saya tidak habis pikir. Selain
karena MMH adalah salah satu intelektual yang konsern terhadap
pengembangan demokrasi, khususnya di Jawa Barat, juga yang bersangkutan
secara rutin mengkaji berbagai permasalahan reformasi kepolisian dari
berbagai sudut pandang keilmuan. Menariknya lagi karena tulisan MMH ini
mengajak dan mendorong kita semua untuk kembali membuka ruang politik
bagi Polri sebagai upaya untuk melakukan pembenahan internalnya, sesuatu
yang sedikit bergeser pada tema besar pembenahan internal Polri;
Profesionalisme dan sipilisasi Polri. Sementara dinamika politik telah
memunculkan sosok Kapolri baru, Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol)
Sutanto. Figur yang dinilai cakap, bersih dan sangat anti KKN, serta
memiliki tekad untuk membangun profesionalisme di internal Polri.
Ada tiga pernyataan MMH yang dirasakan bertolak
belakang dengan semangat reformasi kepolisian yang tengah berjalan.
Pertama, MMH menyatakan bahwa adalah satu kekeliruan mengamputasi
keterwakilan politik Polri bersama TNI di parlemen. Sebab, menurut MMH
dengan diamputasinya keterwakilan Polri di parlemen maka Polri tidak
dapat memperjuangkan nasib rakyat, dan institusinya. Kedua, upaya untuk
mendudukkan Polri pada posisi yang mandiri dan terus memperbaiki diri
nyaris kandas, karena Polri tidak mampu memperjuangkan institusinya,
sehingga upaya kemandirian yang dimaksudkan sangat tergantung pihak
lain, yakni parlemen dan pemerintah. Dan ketiga, rendahnya daya tawar
politik Polri di pentas nasional. MMH menandaskan bahwa daya tawar
politik Polri yang rendah ini mengarah kepada makin sulitnya Polri
menjadi institusi yang mandiri.
Ketiga pernyataan ini justru membalikkan semangat
reformasi kepolisian ke titik nol, yang diusung sejak pemisahan
TNI-Polri, yang menjadi modal politik bagi reformasi kepolisian, yakni:
Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR No.
VII/MPR/2000 Tentang Peran dan Fungsi TNI dan Polri, UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta diterbitkannya
Peraturan Presiden (Perpres) No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian
Negara. Modal politik Polri untuk melakukan reformasi internal ini
sejatinya memberikan jalan mulus bagi pengemban fungsi keamanan
tersebut. Hanya saja benturan watak dan budaya militerisme yang masih
melekat kuat justru mengarahkan Polri menjadi satu-satunya institusi
yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap
masyarakat dengan mengatasnamakan negara. Polri menjadi institusi yang
paling bertanggung jawab saat terjadi kekerasan yang disebabkan oleh
tidak bertemunya kepentingan yang berkembang di masyarakat. Dalam
konteks ini pernyataan MMH menjadi tidak relevan mengembalikan
keterwakilan politik Polri seperti masa Orde Baru. Sebab, sebagaimana
yang terungkap dalam Pasal 5 ayat 1 , UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri,
disebutkan bahwa Polri adalah alat Negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pernyataan kedua MMH juga gugur dengan sendirinya
apabila mengacu kepada Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri di mana
disebutkan bahwa Polri berada di bawah presiden, dan hal ini kemudian
dipertegas dengan lahirnya Keppres No. 17 tahun 2005 Tentang Komisi
Kepolisian Nasional, khususnya Pasal 3 dan 4 yang menjelaskan bahwa
tugas dari Komisi Kepolisian Nasional membantu presiden menetapkan arah
kebijakan Polri, serta tugas dan wewenang dari Komisi Kepolisian
Nasional. Secara eksplisit dapat dipahami bahwa hitam-putih dan masa
depan Polri berada di tangan eksekutif, dengan persetujuan dari
parlemen. Sehingga tidak mungkin Polri mampu mengubah dirinya sendiri
tanpa ada kebijakan politik yang menopangnya.
Sementara rendahnya daya tawar politik Polri di
pentas nasional tidak dapat dipahami sebagai upaya membangun eksistensi
Polri dalam politik praktis, sebab jika yang dimaksudkan MMH adalah hal
tersebut, maka langkah untuk menarik Polri untuk terlibat dalam politik
praktis, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Pemerintahan
Abdurrahman Wahid akan terulang. Alih-alih MMH berharap agar daya tawar
politik Polri makin tinggi di pentas nasional, justru ditampik oleh
Kapolri Baru, Komjen Pol. Sutanto yang ingin menjauhkan intervensi
eksekutif, legislative dan yudikatif dari Polri (Koran Tempo 5 Juli
2005). Dalam hemat saya, satu-satunya langkah dan cara untuk membangun
daya tawar politik Polri di pentas nasional adalah dengan mendorong
profesionalisme dan menjadikan Polri sebagai institusi sipil.
Profesionalisme dapat diartikan sebagai perbaikan kinerja dan
efektifitas dalam menjalankan tugas dan fungsi.
Kapolri Baru dan Paria Kompleks
Terpilihnya Komjen Polisi Sutanto sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Da’i Bachtiar adalah sebuah langkah positif bagi upaya mendorong profesionalisme dan reformasi di internal Polri. Jenderal polisi yang dikenal lurus dan memiliki komitmen untuk mendorong agar Polri makin professional dan terus memperbaiki diri ini menjadi institusi yang dicintai oleh masyarakat, karena kinerja dan performance-nya yang baik. Sebab, tantangan bagi kapolri baru ini tidak sekedar memberikan rasa aman kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 13, 14, 15, dan 16 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Polri, melainkan juga bagaimana mendorong agar Polri sebagai institusi yang mampu membangun kebanggaan bagi anggotanya, Permasalahan yang diungkap oleh MMH adalah kompensasi dari ketidakmampuan Polri untuk membangun citranya, baik luar maupun ke dalam. Tak heran apabila MMH juga ikut-ikutan menganjurkan agar Polri mengambil jalan pintas untuk bisa membangkitkan esprit de corps dengan kembali meminta agar Polri memiliki perwakilan politik di parlemen.
Terpilihnya Komjen Polisi Sutanto sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Da’i Bachtiar adalah sebuah langkah positif bagi upaya mendorong profesionalisme dan reformasi di internal Polri. Jenderal polisi yang dikenal lurus dan memiliki komitmen untuk mendorong agar Polri makin professional dan terus memperbaiki diri ini menjadi institusi yang dicintai oleh masyarakat, karena kinerja dan performance-nya yang baik. Sebab, tantangan bagi kapolri baru ini tidak sekedar memberikan rasa aman kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 13, 14, 15, dan 16 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Polri, melainkan juga bagaimana mendorong agar Polri sebagai institusi yang mampu membangun kebanggaan bagi anggotanya, Permasalahan yang diungkap oleh MMH adalah kompensasi dari ketidakmampuan Polri untuk membangun citranya, baik luar maupun ke dalam. Tak heran apabila MMH juga ikut-ikutan menganjurkan agar Polri mengambil jalan pintas untuk bisa membangkitkan esprit de corps dengan kembali meminta agar Polri memiliki perwakilan politik di parlemen.
Perasaan merasa lebih rendah dan menganalogikan diri
menjadi bagian dari kasta terendah dalam strata masyarakat, karena Polri
bekerja membersihkan hal-hal yang kotor di dalam masyarakat menumbuhkan
semangat yang pada akhirnya mendorong anggota Polri bertindak dan
berprilaku menyimpang dari norma-norma sosial yang ada. Fogelson (1992)
menyebutkan bahwa efek dari perasaan menjadi bagian yang terendah dalam
masyarakat (Paria Kompleks) karena melakukan hampir segala hal yang
kotor yang ada di masyarakat mengarah kepada tiga hal. Pertama,
perasaan tersebut mampu menstimulasi psikologis anggota Polri untuk
menerima situasi dan kondisi yang dihadapi, dan menjadikan situasi
tersebut sebagai cerminan untuk menjalankan fungsi-fungsi kepolisian.
Kedua, perasaan paria kompleks tersebut mendorong ketidakpuasaan yang
akut di anggota, sehingga mengarah kepada tuntutan kompensasi, baik
politik, maupun ekonomi agar secara institusi maupun perorangan anggota
Polri dapat sejajar di mata masyarakat. ketiga, perasaan paria kompleks
juga mendorong anggota kepolisian untuk bertindak anarkis sebagai bentuk
pelampiasan karena beban kerja yang tidak menyenangkan. Bentuk
pelampiasan tersebut biasanya mengarah kepada tindakan melawan hukum,
apakah melakukan pembekingan terhadap perjudian, ataupun yang lainnya.
Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah bahwa
perasaan paria kompleks lebih banyak mengarah kepada upaya untuk
melakukan pembentengan diri, baik secara ekonomi maupun politik dengan
mencoba peruntungan maju menjadi bupati/walikota atau wakil
bupati/walikota dalam Pilkada Langsung, ataupun terkait dengan kejahatan
ekonomi seperti pembekingan judi, penggelapan barang, pembalakan kayu,
dan tindak kejahatan ekonomi lainnya. Ini artinya bahwa upaya Kapolri
baru akan makin kompleks, selain mewujudkan rasa aman dari ancaman
terorisme, dan tindakan kejahatan lainnya, juga bagaimana mewujudkan
kesejahteraan anggota Polri, sebab tanpa ada jaminan kesejahteraan
anggota Polri akan cenderung menggunakan wewenang yang dimiliki untuk
keuntungan pribadi. David L. Carter (1994) mengungkapkan bahwa
penyimpangan polisi, dengan menyalahgunakan wewenang yang dimiliki akan
mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi. Memudarnya wibawa polisi
akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, yang bukan tidak
mungkin akan mendorong tindakan anarkis. Memudarnya wibawa polisi ini
sama artinya menyeret kembali Polri kembali ke dalam situasi yang tidak
menguntungkan, sebab penolakan Komjen Polisi Sutanto terhadap
kemungkinan intervensi dari eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif
akan tidak berarti karena pada akhirnya Polri akan terjebak dalam kotak
Pandora yang mereduksi upaya pemandirian dan profesionalisme Polri yang
tengah berlangsung.
Reformasi Internal Polri
Adalah sesuatu yang sangat positif ketika Komjen Pol. Sutanto, sebagai Kapolri baru bertekad untuk mengupayakan penangkapan terhadap pelaku terorisme, dan memperbaiki kinerja anggotanya. Namun hal yang lebih utama adalah bahwa reformasi internal adalah sesuatu yang harus didahulukan, sebab reformasi internal ini akan dapat berimplikasi kepada perbaikan kinerja Polri. Ada lima pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Komjen Pol. Sutanto, sebagai Kapolri baru. Pertama, sinkronisasi modal politik Polri yang telah memisahkan Polri dari TNI, dari Polri yang memiliki wajah militeristik ke polisi berkarakter sipil. Sinkronisasi ini terletak pada upaya pengedepanan nilai-nilai peradaban (civilization), dan keadaban (civility), serta penghormatan pada hak-hak sipil yang termaktub dalam kurikulum-kurikulum pendidikan dan pelatihan anggota Polri.
Adalah sesuatu yang sangat positif ketika Komjen Pol. Sutanto, sebagai Kapolri baru bertekad untuk mengupayakan penangkapan terhadap pelaku terorisme, dan memperbaiki kinerja anggotanya. Namun hal yang lebih utama adalah bahwa reformasi internal adalah sesuatu yang harus didahulukan, sebab reformasi internal ini akan dapat berimplikasi kepada perbaikan kinerja Polri. Ada lima pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Komjen Pol. Sutanto, sebagai Kapolri baru. Pertama, sinkronisasi modal politik Polri yang telah memisahkan Polri dari TNI, dari Polri yang memiliki wajah militeristik ke polisi berkarakter sipil. Sinkronisasi ini terletak pada upaya pengedepanan nilai-nilai peradaban (civilization), dan keadaban (civility), serta penghormatan pada hak-hak sipil yang termaktub dalam kurikulum-kurikulum pendidikan dan pelatihan anggota Polri.
Kedua, mendorong upaya pensejahteraan anggota Polri.
Upaya memberikan kesejahteraan anggota Polri menjadi sangat penting
karena akan membangun kinerja Polri sesuai dengan harapan, dan dicintai
masyarakat. kesejahteraan anggota Polri juga diasumsikan akan mengurangi
polisi yang ngobyek pekerjaan di luar tugas dan fungsinya. Polisi
ngobyek hanya akan membangun citra dan wibawa Polri tidak baik di mata
masyarakat.
Ketiga, meniadakan intervensi dan campur tangan dari
eksekutif, legislative, dan yudikatif. Campur tangan eksekutif dan
legislative hanya terjadi pada tataran kebijakan politik, seperti
memilih kapolri baru, mengganti kapolri lama, dan mendorong agar Polri
makin mandiri dan tidak mudah terpengaruh intervensi dari eksekutif yang
berkenaan dengan kasus hukum yang tengah di sidik. Campur tangan dan
intervensi dari ketiga lembaga tinggi Negara tersebut hanya akan
mengulangi kasus kapolri kembar pada masa Presiden Abdurrahman Wahid,
ataupun kasus VCD Banjarnegara dukungan Polri kepada salah satu calon
presiden pada Pemilu 2004 lalu.
Keempat, mendorong agar Polri makin professional
sesuai dengan tugas dan fungsi, serta wewenang Polri, sebagaimana yang
diatur undang-undang. Profesionalisme Polri juga dapat dipahami dengan
pembuktian kinerja sesuai dengan harapan masyarakat, misalnya
penangkapan gembong terorisme; Dr. Azhari, dan Nordin M. Top. dan
memberikan rasa aman bagi masyarakat.
Kelima, mendorong agar Markas Besar Polri lebih
transparan, dan bertanggung jawab perihal penggunaan dana operasional
Polri. Transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana di Polri sangat
penting karena dapat menjadi salah satu pintu masuk untuk melakukan
reformasi internal Polri. Sehingga tidak ada lagi dana-dana yang tidak
jelas asal-usul maupun pertanggung jawabannya, yang hanya dilabeli
Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Masyarakat (Parmas), dan
Pendapatan dari aktivitas abu-abu atau kriminal (Parmin).
Dari lima pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
oleh Kapolri Baru, Komjen Pol. Sutanto, agaknya adalah sesuatu yang
dapat dan sangat mungkin direalisasikan, tanpa harus membangun daya
tawar politik Polri, dan sikap pesimistis yang diungkap oleh MMH akan
kemungkinan kemandirian Polri. Karena tema besar yang paling mungkin
ditawarkan kepada Polri adalah profesionalisme dan menjadikan Polri
sebagai polisi sipil. Dan semua itu hanya mungkin dilakukan melalui
kebijakan politik pemerintah, dan keinginan yang kuat dari internal
Polri untuk berubah. Selamat Bekerja Pak Kapolri Baru!