NU dan Peneguhan Islam Moderat
Oleh:
KH. Said Aqiel Siradj
Penulis adalah Ketum PBNU
Penulis adalah Ketum PBNU
NU
yang mengusung nilai-nilai ahlus sunnah waljamaah (Aswaja) dikenal
sebagai organisasi mayarakat Islam berwatak kebangsaan. Watak kebangsaan
itu sesungguhnya telah melekat pada sejarah dan jati dirinya. Ciri khas
NU sejauh ini tampaknya memang hanya dilihat dari manifestasinya dalam
bentuk toleransi dalam kehidupan beragama. Padahal, sikap tersebut hanya
salah satu ekspresi paham kebangsaan NU.
Kelahiran NU merupakan bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa,
yakni sebagai wujud dari kegairahan luhur para ulama dalam membangun
peradaban besar. Para pendiri NU dengan keunggulan komparatifnya secara
gigih dan penuh perjuangan mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa
mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Di sini, kita temukan titik
koordinatnya, ketika kita sama-sama membincangkan idealisasi NU, yaitu
NU yang reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi oleh spirit moral
yang bercahaya.
Artinya, NU yang dinamis merupakan instrumen penting bagi proses
perwujudan negeri yang berperadaban nan bercahaya. Dan karena itu,
dinamika internal dalam tubuh NU tidak bisa kita soroti hanya sebatas
dari perspektif doktrin ke-NU-an, soal tarik menarik perbedaan tafsir
atas Khittah NU, atau keberadaan kelompok-kelompok politik saja, namun
juga harus dilihat dalam totalitasnya, sebagai bagian tak terpisahkan
dari dinamika kehidupan berbangsa.
Jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya
Nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai
tradisi, pluralitas budaya , dan martabat manusia sebagai makhluk
budaya. Dalam perspektif kebangsaan semacam ini, lokalitas mendapatkan
tempat terhormat, yang dalam nasionalisme Eropa cenderung digeser atau
bahkan disisihkan ke batas akhir kepunahan atas nama modernitas.
Kepatriotan yang bersifat kultural tersebut perlu ditegaskan karena
kelahiran NU sejak awal berdirinya tidak pernah menyingkirkan
nilai-nilai lokal. Sebaliknya, ia berakulturasi dengan tradisi dan
budaya masyarakat setempat. Proses akulturasi tersebut telah melahirkan
Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta
menghargai perbedaan agama, tradisi, dan kepercayaan, warisan budaya
Nusantara.
Dalam kaitan ini dengan sendirinya NU memiliki wawasan multikultural,
dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya
setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang
memiliki hak hidup seperti inti dari paham keislaman NU itu sendiri.
Latar belakang itulah yang mendorong kalangan kiai pesantren—yang
menjadi penggerak pembentukan organisasi NU—menjadi sangat prihatin
dengan kemunculan penguasa Wahabi di Arab Saudi pada awal abad ke-20
yang cenderung memaksakan pemberlakuan paham keislaman puritan-radikal
dan tidak toleran terhadap perbedaan yang bisa berimplikasi menimbulkan
disharmoni dalam kehidupan beragama di tanah air. Kalangan pesantren
khawatir, petilasan makam Nabi Muhammad dan simbol-simbol keterkaitan
Islam dengan masa lalu dihancurkan atas nama bidah yang akan berdampak
melahirkan diskriminasi dan mengganggu kehidupan beragama.
Meneguhkan Islam Moderat
Kemampuan NU melakukan praksis, dalam arti memadukan ajaran Islam
tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama,
melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa
ajaran Islam tidak melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara
membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara
lentur.
Patut dicatat juga bahwa perjalanan NU bermula dari sebuah kelompok
kajian pencerahan “Tashwirul Afkar” (1914), kemudian berkembang menjadi
Nahdlatul Wathan (1916), Nahdlatut Tujjar (1918), dan akhirnya menjadi
Nahdlatul Ulama (1926). Hingga kini, jati diri NU hakikatnya tidak
pernah berubah atau memudar, yakni mengembangkan arus utama (mainstream)
keindonesiaan yang dijiwai semangat keislaman secara inklusif dan
kultural.
Nasionalitas NU tegas ditampakkan pada 1945, saat negara baru
Indonesia terpepet dan menghadapi tantangan yang akan dijajah kembali.
Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rais Akbar NU pada 22 Oktober 1945 yang
mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Sekutu/Inggris telah
membakar semangat rakyat, khususnya warga nahdliyin, untuk terlibat
mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan RI dalam
pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Besar sekali andil NU dalam
pertempuran tersebut, meskipun kalangan sejarawan enggan mengakuinya.
Di era reformasi ini, NU harus mampu menjadi hati nurani bangsa. Di
saat warga bangsa banyak gila dengan harta, jabatan, dan haus kekuasaan,
NU tampil dengan pesan-pesan moralitas dan juga keilmuan. Di sinilah,
jati diri NU akan tampil sebagai pelopor bangsa Indonesia serta
percaturan bangsa-bangsa di dunia akan semakin tampak.
Apa yang menjadi kiprah NU di negeri ini bukanlah “kebetulan
sejarah”, melainkan merupakan “keniscayaan sejarah” yang terpanggil
bersumberkan pada inspirasi keagamaan. NU yang dulu dikenal sebagai
organisasi “kiai klompenan”, organisasi tradisional atau sejumlah
sinisme lainnya, ternyata telah membuktikan eksistensinya sebagai
organisasi yang besar.
Besar bukan semata jumlah pengikutnya, tetapi juga besar dalam
andilnya memberikan sumbangsih pemikiran sekaligus gerakan yang sangat
bermanfaat bagi bangsa ini. Hingga kini, NU tetaplah organisasi Islam
moderat dan akan terus memperteguh dan mengembangkan keislaman yang
moderat dan universal.
Dalam suasana menyeruaknya gerakan dan pemikiran Islam radikal,
banyak kalangan kini melirik pentingnya peneguhan dan pengembangan yang
lebih luas bagi kiprah Islam moderat. Gerakan atau paham Islam moderat
diyakini akan berperan penting karena sesuai dengan kultur dan watak
mayoritas Muslim Indonesia. Moderatisme Islam sangat penting untuk
mengimbangi gejala radikalisme yang kian marak. Islam menentang keras
radikalisme, militanisme, dan terorisme dalam segala bentuknya. Sebab,
semua itu sangat membahayakan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan.
Inilah momen peneguhan bagi NU sebagai Islam moderat dan benteng bagi
NKRI. Apalagi, saat ini Indonesia tengah diganggu oleh maraknya
kelompok Islam puritan dan radikal yang hendak mengoyak-ngoyak
eksistensi keindonesiaan yang telah ditegakkan oleh pendiri bangsa. Apa
pun bentuk radikalisme, bagi NU bila melakukan perlawanan merupakan
bentuk “bughot” atau pemberontakan terhadap NKRI yang sah.
SUMBER: Koran-Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar