Corporate DNA – Sindo 29 September 2011
Ditulis pada oleh bohemianarea
Minggu ini, di Nusa Dua Bali saya diberi tugas oleh BP Migas menjelaskan mengenai Corporate DNA dihadapan pada eksekutif minyak dan gas. Tentu saja tidak sulit memberi contoh Corporate DNA dalam industri migas, karena masing-masing mereka memiliki corporate DNA
yang berbeda-beda. Chevron, Exxon, Pertamina, dan Medco misalnya, meski
sama industrinya, dapat ditelusuri DNA yang berbeda. Dan eksekutif
Indonesia punya banyak pengalaman dalam mengembangkan perbankan cross-corporate DNA.
Eksekutif ex Citibank misalnya, paska krisis 1997-1998 diketahui hanya
cocok manangani bank-bank besar, sementara yang terdampar di bank-bank start-up kesulitan beradaptasi.
Corporate DNA berbeda dengan corporate culture, karena yang satu merupakan unsur pembentuk yang bersifat struktural, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bersifat kontaminasi, sedangkan yang satunya dibentuk untuk menghadapi lingkungan. Corporate DNA adalah unsur bawaan yang mendasar, sedangkan corporate culture dibentuk sebagai strategi. Maka, perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang tak membentuk corporate culture as a strategy, bisa jadi hanya memiliki corporate DNA belaka.
DNA atau Budaya
Dalam buku barunya, The Why of Work, Dave Ulrich menyebut kembali peran Corporateculture dalam membentuk suasana sejahtera (abundance) pada lembaga-lembaga dan perusahaan. “Corporate culture is something about what your feel when you are entering their home” Dan karena perusahaan –perusahaan dan kantor-kantor kementerian kelas dunia memiliki Corporate culture yang unik dan menjadi penentu kinerja, maka perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor kementerian diIndonesia pun berlomba-lomba membentuknya.
Celakanya, banyak sekali eksekutif yang menyerah saat melakukan engagement dari tata nilai (values) menjadi corporate culture dan mengaitkannya dalam visi – misi – dan strategi. Akibatnya, budaya korporat yang diinginkan sebenarnya belum pernah ada. Yang ada hanyalahcorporate DNA yang diwariskan oleh para pendahulu, dan terus berevolusi, terkontaminasi dari orang ke orang.
Corporate DNA yang tak dikelola menjadi corporate culture dan dihubungkan pada strategi tak akan pernah bermuara pada kinerja yang diinginkan. Jangankan transformasi, beradaptasi saja lembaga itu akan kesulitan. “Penyakit-penyakit” yang diduga genetis, berdatangan silih berganti. Tata kelola memburuk, dan muncul kegelisahan-kegelisahan di kalangan pengambil keputusan, konflik , dan perilaku-perilaku tidak produktif. Lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan yang demikian terbentuk menjadi ”organisasi politik” yang sulit bergerak.
Maka, dalam melakukan transformasi perusahaan-perusahaan tua atau saat membentuk perusahaan baru yang lebih terorganisir, para eksekutif perlu melakukan mapping dan DNA treatment,atau setidaknya memahami peran corporate DNA dalam membentuk perilaku.
Perilaku seperti apa yang diinginkan?
Banyak eksekutif yang membuat list perilaku yang terkesan hebat, lengkap dan luas, namun sesungguhnya perusahaan hanya butuh satu perilaku dasar yang bersifat genetik, yaitu adaptif. Dari perilaku adaptif itulah dibangun tata nilai positif yang dirancang dalam berbagai elemen mulai dari budaya korporat, sistem penilaian dan monitoring, reward system, teknologi, aturan kerja, dan seterusnya.
Co-evolusi Budaya – DNA
Bahwa DNA berinteraksi dengan budaya, sudah banyak temuan-temuan dalam teori evolusi yang membuktikannya. Belum lama ini, dalam jurnal Nature of Genetics, Kevin N. Laland, seorang biologist, menyimpulkan dari penelitiannya bahwa budaya merupakan ”a powerful force of nature selection”. Bagi Laland, manusia beradaptasi secara genetis untuk menghadapi perubahan.
Sebuah studi lain yang dilakukan dua orang peneliti dari Universitas of California (Boyd & Richerson) menemukan di beberapa negara di Eropa Utara mayoritas penduduknya memiliki gen Lactose-Tolerance. Gen ini tidak dimiliki oleh orang-orang Asia atau penduduk daerah lain yang sama seperti mereka sudah disapih sejak usia satu tahun. Sejak disapih ibu diketahui kemampuan manusia mentoleransi atau mencerna laktosa (ada pada susu), hilang.
Pertanyaannya, mengapa pada masyarakat di Eropa Utara mereka memiliki lactose-tolerance gene? Jawabnya adalah karena budaya minum susu murni ada pada mereka yang sejak 6000 tahun lalu hidup berdampingan dengan beternak sapi.
Hal serupa juga ditemui pada masyarakat pertanian yang memiliki gen pada saliva (air liur) untuk memecahkan tepung dalam pencernaan, sementara gen ini tak dimiliki oleh masyarakat berbudaya kelautan yang banyak makan ikan. Jadi kesimpulannya, gen berubah bersama-sama dengan budaya. Demikian pula dengan gen perilaku yang membentuk corporate DNA
Menilik pada temuan-temuan itu, studi-studi dalam Sociobiology yang sudah lama dipelopori oleh E. O. Wilson (1975) mungkin perlu kita baca kembali untuk menata dunia usaha dan kelembagaan di sini. Indonesa tengah mengalami suatu transisi besar, dari bangsa yang diam menjadi bangsa yang bergeliat – resah. Dari sebuah sistem tertutup menjadi sangat liberal dan terbuka. Bahkan dari suasana damai menjadi konflik terbuka dan penuh ancaman. Dari pedesaan menjadi perkotaan dengan sejuta masalah.
Masalahnya, kita diamkan saja diri terlena oleh perubahan atau bertransformasi dengan mewariskan budaya adaptif yang inherited ke dalam DNA kita? Kalau kita ingin bangsa ini tumbuh menjadi besar dan selamat dari gelombang-gelombang tsunami krisis yang datang dari luar, maka DNA treatmentperlu segera dilakukan.
Sekarang kita banyak menyaksikan gelombang-gelombang perubahan semu digerakkan pemimpin-pemimpin yang tidak memilikiLeadership-DNA yang kuat. Dengan karakter yang lemah mereka begitu mudah digoyang karena masih mempertahankan budaya-budaya lama yang tidak cocok. Di perusahaan-perusahaan keluarga, banyak ditemui masalah pengorganisasian dan tatakelola perusahaan pada anak tertua yang tidak adaptif namun menguasai perusahaan. Di perusahaan-perusahaan swasta besar maupun menengah, gangguan serupa terjadi di kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga publik ternyata sama saja. Kala masyarakat telah menjadi sangat demokratik, kepemimpinan yang otoriter akan menjadi sandungan. Kala keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi begitu luas menuntut transparansi, maka pemimpin-pemimpin yang korup tak lagi punya pijakan dan kehilangan respek. Kala tata kelola menjadi tuntutan, pemimpin yang bersandariwara kekuasaan, akan kehilangan legitimasi.
Pemimpin-pemimpin yang demikian susah berkuasa, namun juga susah untuk diturunkan. Duduk dikursi hanya mengurus kekuasaan dan ketidakpercayaan. Sedangkan perusahaan butuh pemimpin yang adaptif dan bisa membawa karyawan hidup dalam kesejahteraan dan suasana jiwa “berkelebihan” dalam segala hal.
Saya khawatir, banyak orang yang tidak mengerti keberlangsungan hidup ditentukan oleh kemampuan beradaptasi. Dan kemampuan itu diperlukan untuk membangun budaya baru yang lebih efektif. Lalu bagaimana melakukan engagement corporate DNA dengan corporate culture? Kapan-kapan saja ya kita diskusikan. Selamat berpikir!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
Corporate DNA berbeda dengan corporate culture, karena yang satu merupakan unsur pembentuk yang bersifat struktural, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bersifat kontaminasi, sedangkan yang satunya dibentuk untuk menghadapi lingkungan. Corporate DNA adalah unsur bawaan yang mendasar, sedangkan corporate culture dibentuk sebagai strategi. Maka, perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang tak membentuk corporate culture as a strategy, bisa jadi hanya memiliki corporate DNA belaka.
DNA atau Budaya
Dalam buku barunya, The Why of Work, Dave Ulrich menyebut kembali peran Corporateculture dalam membentuk suasana sejahtera (abundance) pada lembaga-lembaga dan perusahaan. “Corporate culture is something about what your feel when you are entering their home” Dan karena perusahaan –perusahaan dan kantor-kantor kementerian kelas dunia memiliki Corporate culture yang unik dan menjadi penentu kinerja, maka perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor kementerian diIndonesia pun berlomba-lomba membentuknya.
Celakanya, banyak sekali eksekutif yang menyerah saat melakukan engagement dari tata nilai (values) menjadi corporate culture dan mengaitkannya dalam visi – misi – dan strategi. Akibatnya, budaya korporat yang diinginkan sebenarnya belum pernah ada. Yang ada hanyalahcorporate DNA yang diwariskan oleh para pendahulu, dan terus berevolusi, terkontaminasi dari orang ke orang.
Corporate DNA yang tak dikelola menjadi corporate culture dan dihubungkan pada strategi tak akan pernah bermuara pada kinerja yang diinginkan. Jangankan transformasi, beradaptasi saja lembaga itu akan kesulitan. “Penyakit-penyakit” yang diduga genetis, berdatangan silih berganti. Tata kelola memburuk, dan muncul kegelisahan-kegelisahan di kalangan pengambil keputusan, konflik , dan perilaku-perilaku tidak produktif. Lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan yang demikian terbentuk menjadi ”organisasi politik” yang sulit bergerak.
Maka, dalam melakukan transformasi perusahaan-perusahaan tua atau saat membentuk perusahaan baru yang lebih terorganisir, para eksekutif perlu melakukan mapping dan DNA treatment,atau setidaknya memahami peran corporate DNA dalam membentuk perilaku.
Perilaku seperti apa yang diinginkan?
Banyak eksekutif yang membuat list perilaku yang terkesan hebat, lengkap dan luas, namun sesungguhnya perusahaan hanya butuh satu perilaku dasar yang bersifat genetik, yaitu adaptif. Dari perilaku adaptif itulah dibangun tata nilai positif yang dirancang dalam berbagai elemen mulai dari budaya korporat, sistem penilaian dan monitoring, reward system, teknologi, aturan kerja, dan seterusnya.
Co-evolusi Budaya – DNA
Bahwa DNA berinteraksi dengan budaya, sudah banyak temuan-temuan dalam teori evolusi yang membuktikannya. Belum lama ini, dalam jurnal Nature of Genetics, Kevin N. Laland, seorang biologist, menyimpulkan dari penelitiannya bahwa budaya merupakan ”a powerful force of nature selection”. Bagi Laland, manusia beradaptasi secara genetis untuk menghadapi perubahan.
Sebuah studi lain yang dilakukan dua orang peneliti dari Universitas of California (Boyd & Richerson) menemukan di beberapa negara di Eropa Utara mayoritas penduduknya memiliki gen Lactose-Tolerance. Gen ini tidak dimiliki oleh orang-orang Asia atau penduduk daerah lain yang sama seperti mereka sudah disapih sejak usia satu tahun. Sejak disapih ibu diketahui kemampuan manusia mentoleransi atau mencerna laktosa (ada pada susu), hilang.
Pertanyaannya, mengapa pada masyarakat di Eropa Utara mereka memiliki lactose-tolerance gene? Jawabnya adalah karena budaya minum susu murni ada pada mereka yang sejak 6000 tahun lalu hidup berdampingan dengan beternak sapi.
Hal serupa juga ditemui pada masyarakat pertanian yang memiliki gen pada saliva (air liur) untuk memecahkan tepung dalam pencernaan, sementara gen ini tak dimiliki oleh masyarakat berbudaya kelautan yang banyak makan ikan. Jadi kesimpulannya, gen berubah bersama-sama dengan budaya. Demikian pula dengan gen perilaku yang membentuk corporate DNA
Menilik pada temuan-temuan itu, studi-studi dalam Sociobiology yang sudah lama dipelopori oleh E. O. Wilson (1975) mungkin perlu kita baca kembali untuk menata dunia usaha dan kelembagaan di sini. Indonesa tengah mengalami suatu transisi besar, dari bangsa yang diam menjadi bangsa yang bergeliat – resah. Dari sebuah sistem tertutup menjadi sangat liberal dan terbuka. Bahkan dari suasana damai menjadi konflik terbuka dan penuh ancaman. Dari pedesaan menjadi perkotaan dengan sejuta masalah.
Masalahnya, kita diamkan saja diri terlena oleh perubahan atau bertransformasi dengan mewariskan budaya adaptif yang inherited ke dalam DNA kita? Kalau kita ingin bangsa ini tumbuh menjadi besar dan selamat dari gelombang-gelombang tsunami krisis yang datang dari luar, maka DNA treatmentperlu segera dilakukan.
Sekarang kita banyak menyaksikan gelombang-gelombang perubahan semu digerakkan pemimpin-pemimpin yang tidak memilikiLeadership-DNA yang kuat. Dengan karakter yang lemah mereka begitu mudah digoyang karena masih mempertahankan budaya-budaya lama yang tidak cocok. Di perusahaan-perusahaan keluarga, banyak ditemui masalah pengorganisasian dan tatakelola perusahaan pada anak tertua yang tidak adaptif namun menguasai perusahaan. Di perusahaan-perusahaan swasta besar maupun menengah, gangguan serupa terjadi di kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga publik ternyata sama saja. Kala masyarakat telah menjadi sangat demokratik, kepemimpinan yang otoriter akan menjadi sandungan. Kala keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi begitu luas menuntut transparansi, maka pemimpin-pemimpin yang korup tak lagi punya pijakan dan kehilangan respek. Kala tata kelola menjadi tuntutan, pemimpin yang bersandariwara kekuasaan, akan kehilangan legitimasi.
Pemimpin-pemimpin yang demikian susah berkuasa, namun juga susah untuk diturunkan. Duduk dikursi hanya mengurus kekuasaan dan ketidakpercayaan. Sedangkan perusahaan butuh pemimpin yang adaptif dan bisa membawa karyawan hidup dalam kesejahteraan dan suasana jiwa “berkelebihan” dalam segala hal.
Saya khawatir, banyak orang yang tidak mengerti keberlangsungan hidup ditentukan oleh kemampuan beradaptasi. Dan kemampuan itu diperlukan untuk membangun budaya baru yang lebih efektif. Lalu bagaimana melakukan engagement corporate DNA dengan corporate culture? Kapan-kapan saja ya kita diskusikan. Selamat berpikir!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia