بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
AlhamduliLLah,
puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, Yang Maha
Menyaksikan segalanya, Maha Pengawas Yang Selalu hadir tanpa pernah
absen,
Maha Pendamping Yang tiada pernah berpisah dalam pemukiman
maupunbepergian,
Yang selalu mendorong kaum cerdik cendekiawan untuk mengamati
ciptaan-Nya di
alam malakut-Nya, di langit dan bumi-Nya yang sarat dengan tanda-tanda
kebesaran ayat-ayat-Nya, yang mengandung pengertian dan pelajaran.
Salawat dan salam
bagi junjungan
kita Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga beliau yang mulia dan
terhormat,
sebanyak bilangan gumpalan awan dan curahan hujan dan sebanyak
bilangan
hembusan angin yang menggerakkan pepohohan.
Ammâ ba’du: Saya
berpesan, terutama
kepada diri saya sendiri dan kepada anda sekalian para sahabatku
tercinta
semoga kita senantiasa bertaqwa kepada Allah Yang Maha Penguasa atas
seluruh
penguasa, Penyebab dari semua sebab, Yang Tiada Tuhan yang patut
disembah
selain Dia, dan tiada suatu tujuan hakiki kecuali kepada-Nya.
Sesungguhnya, orang
yang berbahagia
itu ialah yang selalu bersandar diri kepada-Nya, dan menyerahkan
segala urusan
kepada-Nya, meletakkan dirinya di dalam kuasa dan kekuatan-Nya,
berserah diri
dan tunduk sepenuhnya kepada qudrat dan iradat-Nya. Bersungguh-sungguh
meletakkan harapan dan keinginan kepada apa yang ada di sisi-Nya.
Adapun orang yang
sengsara dan
terjauhkan dari segala keberuntungan adalah yang berpaling dari Allah,
tiada
ingat kepada-Nya, bahkan selalu mengikuti bisikan hawa nafsunya dan
mengutamakan dunianya di atas akhiratnya.
Maka pesan saya
pertama-tama,
hendaklah anda sekalian selalu bertawakal kepada Allah dan percaya
sepenuhnya
kepada jaminan-Nya, seraya merasa tenteram dalam naungan-Nya, selalu
mohon
pertolongan-Nya dalam segala urusan, bersandar kepada-Nya dalam segala
hal,
serta meletakkan harapan dan keperluan dalam lingkup kemurahan dan
kurnia-Nya
semata-mata.
Dan hendaklah
anda sekalian
memeutuskan segala harapan dan keinginan dari apa saja berada di
tangan
orang-orang lain, tidak menunjukkan sedikit pun ketamakan untuk
memperoleh apa
pun pemberian dari mereka. Namun, sekiranya ada seseorang memberikan
hadiah
secara ikhlas, terimalah oleh kalian pemberian itu dengan penuh rasa
terima
kasih kepadanya dan berdoalah untuknya. Nikmatilah seperlunya atau
sedekahkanlah kepada orang lain sekiranya tidak kalian perlukan.
Meskipun
demikian, sekiranya ada keraguan tentang kebaikan sumber perolehan
sesuatu
yang di hadiahkan kepada kalian, tolaklah dengan cara yang santun.
Mementingkan Solat & Zikir
Hendaklah anda
sekalian
senantiasa bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kelima shalat fardhu
seraya
memenuhi segala persyaratannya. Shalat adalah tiang agama dan
diumpamakan
bagai kepala dalam susunan anggota tubuh.
Adapun sebaik-baik cara pemeliharaannya
adalah dengan
mengerjakannya pada awal waktu dan sedapat mungkin dalam berjemaah.
Sedangkan
yang paling utama dan menentukan diterimanya solat itu ialah dengan
menghadirkan hati di dalamnya di sertai dengan penuh kekhusyu’an.
Alangkah
buruknya bagi seseorang yang sedang bersolat, apabila anggota-anggota
tubuhnya
tengah bermunajat dengan Tuhannya, sedangkan hatinya berkelana kesana
sini
memikirkan ehwal dunianya.
Tetap membaca
zikir Ketika
dalam Perjalanan Jauh
Allah Swt. dengan
kemurahan-Nya juga
telah mneyediakan keringinan bagi hamba-hamba-Nya dalam melaksanakan
solat,
iaitu solat qasar dan jama’ (yang dibolehkan ketika
sedang dalam
perjalanan jauh). Maka manfaatkanlah kemudahan seperti itu (sesuai
dengan
persyaratan dan) pada tempatnya masing-masing kerana Allah Swt. amat
suka
kemudahan-Nya dinikmati, sebagaimana juga kewajipan-kewajipan-Nya di
penuhi.
Walaupun demikian, hendaklah kalian tetap melaksanakan semua zikir
yang biasa
kalian laksanakan setiap hari, sebagaimana yang kalian lakukan di saat
sedang
tidak bepergian. Oleh sebab itu, hendaklah kalian secara konsisten dan
tekun
senantiasa memelihara bacaan-bacaan Al-Quran dan pelbagai wirid yang
biasa
kalian lakukan dalam keseharian kalian. Jangan sekali-kali
meninggalkannya.
Kalaupun tidak dapat dilaksanakan secara sempurna akibat kesibukan
dalam
perjalanan, gantikanlah pada kesempatan lain, jika itu termasuk amalan
yang
dapat diganti (di-qadha’). Atau jika tidak termasuk amalan yang dapat
di-qahda’ maka yang demikina itu termasuk dalam keringanan yang
diberikan
Allah Swt bagi orang musafir, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw.:”
Apabila
seseorang Mukmin dalam keadaan bepergian, atau sedang sakit, maka
Allah Swt.
memerintahkan kepada malaikat-Nya agar mencatat baginya segala amalnya
seperti
ketika diamalkannya pada saat-saat ia bermukim dan dalam keadaan sihat
wal-afiat”. Ini tentunya merupakan anugerah Allah serta rahmat dan
kemudahan-Nya.
Alhamdulillah. Puji syukur ke hadirat-Nya, betapa besar rahmat dan
kesayangan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya!
Kesucian Lahir Batin
Dan hendaklah kalian –
disamping
memeperbanyakkan zikir kepada Allah Swt pada setiap saat- demikian
juga, yang
tidak kalah pentingnya, ialah menjaga kesucian batin,d alam erti
kebersihan
hati dari buruk sangka, dendam dan dengki terhadap sesama muslim atau
melakukan penipuan terhadap mereka. Demikian juga hendaklah kalian
selalu
memperhatikan kesucian lahiriah di setiap saat. Yakni mensucikan diri
dari
hadas dan najis. Tentang ini, Allah Swt telah mewahyukan kepada Nabi
Musa
(a.s): “Apabila sesuatu musibah menimpa dirimu, pada saat tubuhmu
tidak sedang
dalam keadaan suci, maka janganlah menyalahkan selain dirimu sendiri”.
Lakukanlah zikir-zikir secara rutin pada
waktu pagi dan
sore, kerana zikir adalah benteng dari gangguan syaitan dan penangkal
dari
berbagai keburukan. Dalam kitab Al-Adzhâr (karya An-Nawawi.-Peny)
cukup
banyak teks zikir yang di anjurkan, terutama ketika sedang dalam
perjalanan
jauh, ketika naik dan turun dari kenderaan dan juga pada saat memasuki
kota
tempat tujuan dan lain-lain sebagainya. Usahakanlah agar mendapatkan
kitab
tersebut, lalu hafalkanlah bacaan-bacaan yang tertera didalamnya, dan
selanjutnya kerjakanlah dengan tekun.
Menghias Diri Dengan Akhlak Yang Baik
Hendaklah anda sekalian selalu mengutamakan kebersihan hati,
kedermawanan dan
kasih sayang kepada setiap muslim, serta sikap bersahabat dan ramah
tamah
kepada siapa saja yang bersahabat dengan kalian. Berupayalah agar
kalian
selalu membantu setiap muslim dalam memenuhi kebutuhannya, sama
seperti
mencukupi keperluan diri kalian sendiri. Tanamkanlah dalam diri
kalian,
kepedulian dan rasa keinginan untuk selalu menyenangkan hatinya.
Jangan pula
merasa malu atau segam memberikan nasihat dan bimbingan, demi kebaikan
akhiratnya. Sebab, perasaan malu untuk melakukan hal seperti itu,
sebetulnya
bukan malu, melainkan sifat pengecut yang oleh setan dinamakan malu,
semata-mata untuk menyenangkan hati orang-orang yang lemah imannya.
Senantiasa Berakhlak Mulia
Dengan siapa saja
kalian bersahabat,
utamakanlah budi pekerti yang baik dan sikap lemah lembut kerana semua
keluhuran akhlak itu bertumpu pada kelembutan budi dan sikap lapang
dada serta
mengutamakan kepentingan para sahabat. Dan hendaklah seorang mukmin
itu
berwatak cepat ridhanya dan lambat amarahnya. Bahkan ciri khas dari
sifat
utama seorang Mukmin Kâmil (mukmin yang sempurna) ialah tidak
akan
mudah marah kerana sesuatu yang bekenaan langsung dengan diri
peribadinya,
melainkan semata-mata kerana sesuatu yang menyangkut pelanggaran
terhadap hak
tuhannya. Kalaupun seorang mukmin marah kerana sesuatu yang berkenaan
dengnan
hak peribadinya, maka keimanan yang bersemayam di dalam hatinya akan
segera
meredam kemerahannya itu. Seorang laki-laki pernah berkata kepada Nabi
Saw.:
“Ya Rasullallah! Berilah aku nasihat!” Maka beliau pun bersabda : “Jangan
marah!” (Ucapan itu beliau ulang-ulang sampau beberapa kali).
Dan hendaklah anda
sekalian selalu
bersikap tawâdhu iaitu dengan memandang kepada sesama kaum Mukminin
dengan
pandangan pengnagungan dan penghormatan dan kepada diri sendiri dengan
perasaan rendah hati.
Demikian pula
hendaknya kalian
selalu bersikap tulus ikhlas iaitu dengan senantiasa mengharapkan
keredhaan
Allah an pahala-Nya semata-mata, pada setiap kali melakukan suatu
kebaikan
ataupun meninggalkan suatu keburukan sebab barang siapa melakukan
suatu
perintah Allah Swt. akan tetapi dalam hatinya ingin mendapatkan
kedudukan di
sisi manusia atau mencar-cari pujian atau menginginkan harta kekayaan
mereka,
maka ia sudah termasuk kelompok orang yang berbuat riya”. Sedangkan
sifat
riya’ dalam beramal akan membatalkan amal itu sendiri serta
melenyapkan
pahalanya.
Memilih Sahabat Yang Berakhlak Baik
Upayakanlah agar kalian selalu bersahabat dengan
orang-orang yang
berakhlak mulia, agar dapat meneladani perilaku baik mereka dan
sekaligus
menggali keuntungan dari perbuatan dan ucapan mereka. Biasakanlah pula
untuk
berkunjung kepada mereka yang masih hidup dan menziarahi mereka yang
sudah
tiada, dengan penuh keikhlasan, penghormatan dan penghargaan. Agar
dengan
demikian diperoleh manfaatnya dan rasa limpahan keberkahan Allah
kepada kalian
dengan perantaraan mereka itu. Pada zaman ini, memang sedikit sekali
manfaat
yang dapat diperoleh dari orang-orang saleh, kerana kurangnya
penghormatan dan
lemahnya husnuzzhan (persangkaan yang baik) terhadap
mereka.
Itulah sebabnya kebanyakan orang di zaman sekarang tidak memperoleh
keberkahan
dari orang-orang soleh itu, an tidak bisa menyaksikan pelbagai
peristiwa
menakjubkan yang berasal dari kedudukan mereka yang telah beroleh karâmah
(penghormatan dan pemuliaan) dari Allah Swt. Sedemikian rupa, sehingga
mereka
mengira bahawa pada zaman ini sudah tidak ada lagi orang-orang yang
disebut
sebagai ‘wali’.Dugaan yang demikian itu tidak benar sama sekali,
Alhamdullillah, para wali itu masih cukup banyak, yang tampak maupun
yang
tersembunyi. Namun tak ada yang bisa mengenali identitas mereka itu,
kecuali
orang-orang yang telah mendapatkan anugerah cahaya kebenaran dan
kebesaran
Allah dalam hatinya dan mereka yang selalu berhusnuz-zhan
terhadap mereka.
Menjauhkan Diri Dari Orang-Orang Yang
Berperilaku Buruk
Hindarilah
orang-orang yang
berakhlak buruk dan bermoral rendah. Jauhilah pergaulan dengan mereka
kerana
dengan menjadikan mereka itu sahabat kalian, maka hanya kerugian dan
malapetaka yang akan kalian alami, di dunia maupun di akhirat.
Pergaulan
seperti itulah yang membengokkan sesuatu yang sudah lurus dan yang
lebih parah
lagi mengakibatkan rosaknya hati dan agama. Sungguh tepat apa yang
dikatakan
oleh seorang penyair : Yang berkudis takkan menjadi sihat kembali
akibat
bergaul berdekatan dengan yang sihat, namun yang sihat mudah
ketularan
penyakit akibat bergaul berdekatan dengan yang berkudis.
Memelihara Hati Dan Lidah
Peliharalah hati kalian masing-masing dati niatan atau bisikan-bisikan
hati
yang tercela dan bersihkanlah dari noda-noda akhlak yang buruk dan
berupayalah
mencegah keterlibatan setiap anggota tubuh kalian dalam kegiatan
bermaksiat
atau berdosa. Lebih-lebih lagi dalam menjaga dan memeilahara lidah
dari
pembicaraan-pembicaraan yang terlarang atau yang sia-sia; terutama
yang
bersifat umpatan atau gunjingan terhadap sesama muslim. Begitu besar
dosa
pengunjingan (ghibah) sehingga dinyatakan bahawa dosanya lebih
besar
daripada dosa perzinaan.
Jangan
sekali-kali berkata bohong. Sebab kebohongan sangat bertentangan
dengan
keimanan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis nabi Saw.: “Barangsiapa
ingin mengutuk dirinya sendiri, silakan ia berkata bohong”.
Sungguh,
bahaya yang ditimbulkan oleh lidah itu amat besar sekali, demikian
pula cara
mengendalikannya tidaklah mudah. Maka, barangsiapa mendapatkan taufik
(pengarahan dan pemudahan dari Allah Swt.) untuk bisa memelihara
lidahnya,
sungguh ia telah meraih bagian keberuntungan yang amat besar!.
Membaca
Al-Quran Secara
Rutin
Hendaklah
kalian membiasakan diri dengan sering-sering membaca Al-Quran dengan
penuh
kekhusyu’an dan kehadiran hati, di samping menekuni ertinya (tadabbur)
dan mengikuti kaedah-kaedah bacaannya (tartîl). Perbanyakkanlah
pula –
secara khusus-bacaan Surah Yassin, demi memperoleh berbagai kebaikan
dan
menangkal berbagai keburukan.
Menghindari
Kekenyangan
Jangan
sekali-kali memenuhi perut kalian dengan makanan berlebihan.
Kekenyangan
mengakibatkan kekerasan hati serta kemalasan dalam beribadat, di
samping
menghalangi hati dari penyiksaan cahaya-cahaya Iiahi dan menjauhkan
dari
pengaruh positif yang diharapkan dari amalan ibadat dan zikir.
Melaksanakan
Ibadah Haji
Dan Umroh
Hendaklah kalian
bersungguh-sungguh dalam menetapkan niat untuk menunaikan ibadah haji
(segera
setelah memiliki kemampuan untuk itu), guna mengunjungi ka’abah, BaituLLâh
Al-aHarâm
dan melaksanakan manasik haji, mengagungkan syi ‘ar-syi ‘ar-Nya dan
menziarahi
makam Nabi-Nya: Muhammad Saw. Dan hendaklah kalian dalam hal ini,
benar-benar
memfokuskan niat dan tujuan dengna tulus ikhlas hanya untuk ibadah
semata-mata, tidak untuk tujuan apa pun selain itu. Jangan sekali-kali
mencampur adukkan niat-nat mulia ini dengan suatu tujuan yang lain;
seperti
ingin berniaga atau berwisata.
Dan ketika
sedang dalam ibadah
haji, hendaklah sering-sering melakukan tawaf mengelilingi Ka’abah,
rumah
Allah. Sebab, orang yang mengerjakan tawaf, bagaikan seorang yang
sedang
menyelam di dalam samudra rahmat Allah Swt. Maka hendaklah kalian
tidak
menyia-yiakan saat-saat yang baik itu. Penuhilah hati kalian dengan
pengagungan terhadap kebesaran Allah Swt., Sang Pemilik ‘rumah’ yang
kini
kalian sedang berada di hadapannya. Jangan pula menyibukkan hati
kalian dengan
apa pun juga, terkecuali dengan tilawat Al-Quran, zikir dan doa-doa
lain yang
telah dianjurkan. Dna janganlah menyia-yiakan waktu kalian dengan
berbagai
aktivitas yang tidak bermanfaat. Hendaklah kallian dengan
sungguh-sungguh dan
konsisten mengerjakan berbagai zikir, bacaan dan doa-doa yang biasa
diucapkan
secara khusus ditempat-tempat tawaf, sa ‘i dan lain-lain yang bekaitan
dengan
Ibadah Haji. Selain itu, alangkah baiknya bila kalian juga menaruh
perhatian
khusus untuk menyaksikan tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai
sangat
agung.
Perbanyak pula
Umroh, bila ada
kesempatan untuk itu, terutama pada bulan suci Ramadhan. Sebab, satu
kali
umroh pada bulan Ramadhan, pahalanya sepadan dengan pelaksanaan ibadah
haji
bersama Rasulallah saw.
Dan
hendaklah
kalian lebih-lebih menjaga kesopanan yang tinggi selama berada di
Tanah Suci
(Al-Haramain) dan bersikap ramah tamah dan santun terhadap penduduk
setempat.
Hargailah kemuliaan yang mereka peroleh kerana bertetangga dengan
Rasulallah
Saw iaitu dengan cara selalu berbaik sangka terhadap mereka khususnya,
dan
terhadap kaum Muslimin pada umumnya.
Kalaupun kalian
adakalanya menyaksikan atau mendengar di sana, sesuatu yang tidak
berkenan di
hati, sebaiknya bersikap menahan diri dan bersabar, serta tidak perlu
memberikan komentar yang negatif. Akan tetapi jika mampu mengatakan
yang
benar, ungkapkanlah hal itu. Sebab, ajaran islam tidak membolehkan
seseorang
mukmin berdiam diri menghadapi suatu yang bathil kecuali dalam keadaan
terpaksa, dan meyakini ketidakmampuannya untuk mencegah. Dan alangkah
bahagianya orang yang telah mempu memusatkan niat secara bulat dalam
pengabdiaannya kepada Allah, tanpa terpengaruh oleh perilaku buruk
yang
melanda orang-orang di zaman sekarang, yang bertentangan dengan
perilaku para
salaf saleh. “Dan barang siapa diberi petunjuk oleh
Allah, maka
dialah yang benar-benar mendapat petunjuk, dan barang siapa yang di
sesatkan-Nya, maka tak akan ada baginya seorang pemimpin pun yang
memberi
petunjuk kepadanya “ (QS.:18:i7)
Selain
itu, hendaklah kalian tidak menyia-yiakan kesempatan untuk beramal dan
berbuat
kebajikan sebanyak-banyaknya selama berada di Kota Makkah, mengingat
bahawa
setiap amal kebaikan yang dilakukan disana akan dilipat gandakan
pahalanya
sampai seratus ribu kali kelipatan. Penggandaan pahala seperti ini
sebetulnya
disebutkan dalam sebuah hadis Rasullulah Saw. Khusus berkaitan dengan
ibadat
shalat. Akan tetapi sebagian ulama memahaminya sebagai sesuatu yang
bersifat
umum, meliputi semua amal kebaikan yang dilandasi niat yang ikhlas dan
murni
demi meraih keridhaan Allah semata-mata.
Namun
perlu diingat, baawa sebagaimana amal-amal kebaikan di kota suci
Makkah di
lipat-gandakan pahalanya oleh Allah, demikian juga sebaliknya
perbuatan-perbuatan maksiat di sana pun akan dilipat-gandakan
dosa-dosanya.
Sedemikian rupa, sampai-sampai sebagian ulama salaf mengatakan;
tidak
ada suatu tempat di mana ‘niat melakukan maksiat’ saja akan menghadapi
tuntutan,s elain kota Makkah. Dalilnya, menurut mereka adalah, firman
Allah
Swt. dalam Surat Al-Hajj: 25, “Barang siapa bermaksud
didalamnya
melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya
sebahagian siksa yang pedih”.
Abdullah
Bin Abbas (r.a) pernah berkata : “Bagiku lebih baik melakukan
perbuatan dosa
sebanyak tujuhpuluh kali di suatu tempat (selain Makkah), daripadanya
melakukannya satu kali di Makkah”.
Semoga
Allah selalu menjaga kota suci itu, menambah keagungan dan
kehormatannya serta
kebesaran dan kemuliaannya!
Diriwayatkan bahawa ketika Rasullullah Saw. Melaksanakan ibadah haji,
beliau
mengenderai seekor unta berpelana usang, berlapis kain yang harganya
tidak
mencapai empat dirham. Dan ketika pulang, beliau bersabda, “Ya Allah,
jadikanlah ini haji mabrur, tidak tersisip didalamnya perasaaan riya’
atau
ingin ketenaran.”
Demikian
pula Umar bin Khattab r.a., selesai melakukan tawaf di Ka’bah, ia
mencium Hajar
Aswad lalu menangis, kemudian berkata : “Demi Allah, aku sedar bahawa
engkau
ini batu, tidak bisa membawa manfaat ataupun mudarat. Kalau saja tidak
kerana
aku pernah menyaksikan Rasullullah saw. Melakuka seperti ini (yakni
mencium
Hajar Aswad), niscaya aku tidak akan melakukannya. Kemudian ia
menoleh ke
belakang dan melihat Ali bin Abi Talib (karramallahu wajhah). Maka
Umar pun
berkata kepadanya: “Hai Abu’l-Hasan (julukan Ali bin Abi Thalib r.a.),
di
sinilah tempat mencucurkan air mata.” Tetapi Ali r.a. berkata
kepadanya,
“Sesungguhnya Hajar-Aswad ini, wahai Amirul-Mukminin, bisa
membawa
manfaat dan mudarat. Kerana ketika Allah Swt. , mengambil ikrar
anak-cucu
keturunan Adam s.a. dan berkata kepada mereka, “Bukankah Aku ini
tuhan
kalian?’, Ia menuliskan suatu tulisan (yang berisi ikrar mereka
itu) lalu
menyimpannya di dalam batu ini. Maka batu ini pun bersaksi bagi
siapa-siapa
yang menciumnya (atau menyentuhnya) dengan keyakinan yang benar.”
Seorang
laki-laki bertemu dengan Abdullah bin Umar r.a. ketika sedang
mengerjakan
tawaf lalu mengutarakan suatu keperluan kepadanya. Tapi Abdullah tidak
menghiraukannya, sampai berjumpa lagi dengannya setelah itu, dan
berkata
kepadanya: “Saya tahu bahawa anda telah kecewa ketika saya tidak
mengindahkan
pembicaraan anda saat itu. Tidakkah anda mengetahui bahawa kita
ini-pada saat
bertawaf-sedang berhadapan dengan Allah Swt?! bagaimana pun juga
keperluan
anda itu telah terkabulkan!”
Pada
suatu ketika, Ali bin Al-Husain r.a. (cucu Rasullullah Saw) melihat
Hasan
Al-Basri di Masjid’l Haram sedang bercerita dihadapan orang banyak. Ia
pun
berhenti lalu berkata kepadanya, “Wahai hasan, adakah anda telah rela
sepenuhnya dan menyiapkan diri menyongsong kematian?”
“Tidak!”
jawab Hasan Al-Basri.
“Lalu,
ilmu anda untuk dihisab?”
“Tidak!”
jawab Hasan lagi.
“Apakah
Allah Swt.memiliki ‘rumah’ yang menjadi tujuan manusia dari berbagai
penjuru
selain ‘rumah’ ini?” tanya Ali bin Husain lagi.
“Tidak!”
“Kalau
begitu, mengapa anda menyibukkan orang-orang dengan mendengarkan
cerita-cerita
anda itu sehingga mereka terhalang dari melakukan tawaf?”
Mendengar
itu,Hasan Al-Basri segera meninggalkan tempat itu dan tidak pernah
lagi
bercerita selama berada di Kota Makkah.
Thawus
berkata, “Aku pernah menyaksikan Ali Zain’l-Abidin Ibn’l-Husain (cucu
Rasullullah saw.) di tengah malam, sedang shalat di Al-Hijr
(berhadapan dengan
Ka’bah). Aku mencuba mendekatinya seraya bergumam dalam hati: “Ini
seorang
saleh dari keluarga Rasullullah Saw. Moga-moga saya mendengar sesuatu
yang
bermanfaat dari beliau. Lalu kudengar beliau berdoa dalam sujudnya:
“Ya Allah,
hamba-Mu yang peminta-minta ini berada di halaman rumah-Mu, hamba-Mu
yang
miskin di halaman rumah-Mu; hamba-Mu yang fakir di halaman rumah-Mu!’
Sejak
itu, tak pernah lagi do’a yang kupanjatkan untuk meminta sesuatu yang
kumulai
dengan kalimat-kalimat itu, kecuali pasti terkabul.”
Diriwayatkan bahawa ketika Ali Zain’i-Abidin
r.a. memulai
ihramnya dan hendak mengucapkan talbiyah (yakni, Labbaik
Allahumma
Iabbaik, yang berarti: Aku di sini memenuhi panggilan-Mu, ya Allah)
tiba-tiba
seluruh tubuhnya bergemetaran, dan wajahnya pucat pasi, kemudian ia
terjatuh
dari kenderaannya dalam keadaan pengsan. Ketika ditanyakan kepadanya
setelah
itu, “Mengapa demikian?” ia menjawab, “Aku amat khuatir dan takut bila
mengucapkan talbiyah, akan dikatakan kepadaku:”Kedatanganmu tak
diterima!”
Salim
putera Abdullah bin Umar pernah berada di dalam bangunan Ka’bah
bersama dengan
Hisyam bin Abdul Malik, yang ketika itu menjabat sebagai Amir
(walikota
Madinah). Kepada Salim, Hisyam bertanya:”Mintalah apa saja keperluanmy
dariku!”
“Aku
pun
merasa malu meminta sesuatu dari siapa pun selain dari Allah SWT.,
sementara
aku berada di-rumah-Nya.”
Kemudian
setelah mereka berdua keluar Ka’bah, Hisyam berkata lagi: “Sekarang
kita sudah
berada diluar Ka’bah. Ajukanlah keperluanmu!”
“Yang
anda maksud keperluan duniawi atau ukhrawi?” tanya Salim.
“Aku
tidak memiliki sesuatu kecuali dunia.” Jawab Hisyam.
“Aku
tidak pernah meminta dunia dari Dia yang menciptakannya; bagaimana
mungkin aku
memintanya dari selain-Nya?!”
Pada
suatu ketika, Hasan Bin Ali (cucu Rasullulah Saw) lewat di depan
Thawus yang
sedang mengisi Majlis Ilmu di suatu kelompok besar di dalam
masjid’l-Haram. Ia
langsung mendekati Thawus dan membisikkan kepadanya, “Jika pada saat
ini anda
merasa bangga dengan diri anda, segeralah bangkit dan tinggalkanlah
tempat
ini!” Mendengar itu, Thawus pun segera bangkit dan meninggalkan majlis
itu.
Wuhaib
bin Ward mengisahkan: “Pada suatu malam, aku sedang melakukan tawaf di
sekeliling ka’bah, ketika tiba-tiba mendengar suara yang berasal dari
balik
tirai penutup Ka’abah : “Aku mengeluh kepadamu, wahai Jibril, dari
ucapan-ucapan sia-sia dan pengunjingan kelompok-kelompok manusia yang
bertawaf
di sekelilingku. Jika mereka tidak mahu berhenti dari perbuatan mereka
itu,
aku benar-benar akan bergetar sekeras-kerasnya, sehingga batu-batu di
sekitarku akan berguguran dan kembali ke tempat asalnya.”
Diriwayatkan oleh seorang dari kalangan orang-orang soleh, “Aku pernah
melihat
seorang laki-laki sedang melakukan tawaf dan sa’i dikelilingi beberapa
pemuda
yang mengawalnya dan mendorong-dorong orang –orang yang berada di
sekelilingnya. Beberapa waktu setelah itu, aku melihatnya lagi di kota
Baghdad, sebagai pengemis yang meminta-minta dari para pejalan. Maka
aku pun
bertanya kepadanya:”Mengapa keadaan anda seperti ini?” Katanya:
“Dahulu aku
telah berlaku sombong di suatu tempat yang seharusnya manusia bersikap
rendah
hati, maka Allah telah menghinakan diriku di tempat yang biasanya
orang-orang
berlaku sombong”.
Seorang
lainnya dari mereka menceritakan pengalamannya: “Aku pernah melihat
seorang
fakir di dalam Masjid’l Haram, yang tampak jelas di wajahnya
tanda-tanda
kesalahan, sedang duduk di atas sejadahnya. Ketika itu aku kebetulan
membawa
sejumlah wang, yang segera aku letakkan di atas sejadahnya sebagai
sedekah,
seraya berkata kepadanya: “Semoga anda bisa menggunakan ini sekadar
keperluan
anda”.
Tetapi
ia
segera berkata-kata kepadaku: “Hai, sesungguhnya aku telah membeli
tempat ini
hanya demi Allah semata-mata, dengan harga beribu-ribu dan kini anda
hendak
mengusirku dari sini?’ Bersamaan dengan ucapannya itu, ia menepiskan
sejadahnya dan segera bangkit dan pergi meninggalkan tempatnya.
Sungguh, tidak
pernah aku melihat seseorang sedemikian mulianya ketika ia beranjak
pergi. Dan
tidak pernah pula ada orang yang sedemikian hinanya lebih daripada
diriku
sendiri ketika berusaha memungut kembali wangku yang berhamburan.”
Ibrahim
Bin Ad-han mengisahkan bahawa apda suatu malam fi musim penghujan,
keadaan
tempat bertawaf di sekitar Ka’bah sunyi sepi dari manusia. Aku pun
bertawaf
seraya berdoa : “Ya Allah, berikanlah aku ‘ishmah( penjagaan penuh
dari Allah
Swt) agar aku tidak lagi berbuat pelanggaran terhadap-Mu!” Tiba-tiba
terdengar
suara berseru: “Wahai Ibrahim! Engkau meminta ‘ishmah-Ku sementara
hamba-hamba-Ku seluruhnya meminta hal yang sama. Padahal, jika aku
memberikannya kepada kalian semua, siapa lagi Aku akan memberikan
anugerah-Ku
dan kepada siapa pula akan Ku-berikan ampunan-Ku?”.
Pada suatu hari,
Al-Hasan sedang berwukuf di A’rafah, di tengah terik matahari yang
menyengat,
ketika seorang laki-laki berkata kepadanya, “Tidakkah sebaiknya anda
beralih
saja ke tempat yang teduh?”. Dengan terheran-heran Al- Hassan berkata,
“Apakah
aku kini sedang berada di bawah terik matahari? Sungguh aku teringat
satu dosa
yang pernah aku lakukan, sehingga aku tidak lagi merasa kan panasnya
terik
matahari!” padahal, waktu itu, pakaiannya telah basah kuyup kerana
peluh yang
seandainya diperas, nescaya akan mengalir. Sedangkan dosa yang ia
maksud itu
mungkin hanya merupakan selintas fikiran yang tercetus begitu saja,
yang
seandainya terjadi atas orang selainnya, tentu tidak dianggapnya
sebagai dosa
yang sekecil apa pun. Oleh sebab itu, perhatikanlah betapa besar
penghormatan
dan pengagungan mereka dari kalangan salaf itu terhadap Tuhan mereka
dan
betapa jauhnya mereka dari perbuatan maksiat kepada-Nya!
Telah
disampaikan pula kepada kami, tentang seorang dari kalangan shalihin
itu, yang
memungut tujuh buah batu dari padang “Arafah, kemudian meminta
kesaksian dari
ketujuh batu itu, bahasanya ia benar-benar telah bersaksi dengan
kesaksian
bahawa ‘tiada tuhan selain Allah’, Pada malam harinya, ia bermimpi
seolah-olah
berdiri di hadapan Allah Swt. untuk dihisab. Lalu jatuhlah vonnnis
atas
dirinya agar ia dibawa keneraka. Namun didalam pelaksanaannya, setiap
kali ia
sampai di depan salah satu pintu dari ketujuh pintu neraka itu,
datanglah
sebuah batu menutupi rapat-rapat pintu itu. Ia pun menyedari
sepenuhnya,
bahawa batu-batu itulah yang telah pernah minta kesaksiannya atas
tauhidnya
kepada Allah swt. Kemudian datanglah syahadat La Iiaha IllaLLah yang
membuat
pintu syurga terbuka lebar untuknya.
Dikisahkan dari Ali bin Al-Muwaffaq, katanya: “Pada suatu malam
setelah wukuf
di Arafah, aku bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, lalu
yang satu
berkata kepada temannya : “Tahukah betapa banyak orang yang telah
melaksanakan
ibadah haji pada tahun ini?”
“Tidak”,
jawab temannya itu.
“Jumlah
mereka enamratus ribu orang”.
“Lalu,
tahukah berapa dari mereka yang diterima hajinya?”
“Tidak!”
“Hanya
enam orang sahaja!”
Kata
Ibnul-Muwaffaq selanjutnya, “Aku merasa amat sedih, dan bergumam dalam
hatiku:
“Di mana aku, di antara keenam orang itu?!” Namun pada malam menjelang
Hari
Raya Idul-Adh-ha aku bermimpi lagi, dan melihat kedua malaikat itu
turun lagi.
Salah satu dari keduanya bertanya kepada yang lain: “Tahukah bagaimana
keputusan Tuhan kita?” “Tidak!” jawab temannya. “Sungguh Allah Swt.
telah
menetapkan, mengikutkan sebanyak seratus ribu orang kepada setiap
orang dari
keenam orang yang diterima hajinya (sehingga keseluruhan enam ratus
ribu orang
diterima haji mereka semuanya).” “Begitulah,” kata Ali ibn Al Muwaffaq
selanjutnya, “Ketika aku terjaga, hatiku diliputi kegembiraan
sedemikian rupa
sehingga tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Dan beberapa tahun
kemudian,
aku berkesempatan lagi melaksanakan ibadah haji, lalu memikirkan
tentang
orang-orang yang tidak diterima hajinya. Maka aku pun berdoa, “Ya
Allah, aku
rela menghadiahkan pahala hajiku kepada siapa-siapa yang tidak Kau
terima
hajinya.” Pada malam itu, aku tidur dan bemimpi seakan-akan melihat
Allah Swt
berfirman kepadaku: ‘Hai Ali, adakah engkau hendak menjadikan dirimu
lebih
dermawan dari aku? Sedangkan Aku lah yang telah menciptakan para
dermawan, dan
Aku-lah yang paling berhak memberikan kemurahan kepada segenap
penghuni alam
semesta. Sungguh aku telah menyerahkan siapa-siapa yang tidak
Ku-terima
hajinya, kepada mereka yang Ku-terima (sehingga semua mereka diterima
hajinya)!”
Demikianlah kisah-kisah dalam Penutup ini tidak terlepas kaitannya
dengan
wasiat-wasiat sebelumnya. Bahkan bagi seorang pembaca yang arif
tentunya dapat
lebih luas lagi menyimpulkan pelbagai aturan dan adab sopan santun
darinya,
yang kiranya patut diamalkan dalam pelbagai keadaan.
Demikian
pula, di dalam membicarakan tentang kiprah para salaf dalam perjalanan
hidup
mereka, terdapat banyak sekali contoh da tauladan serta kepuasan
tersendiri
yanf dapat dirasakan oleh setiap orang yang bersuluk menuju akhirat.
Sebab,
mereka itu adalah sosok-sosok teladan yang patut diteladani. Disamping
itu,
seseorang hanya bisa menyedari tentang kekurangan-kekurangan dirinya
sendiri
ketika ia mengetahui tentang kesungguhan perjuangan para salaf itu
dalam
merintis perjalanan menuju keridhaan Allah Swt. diakhirat.
Adapun
seorang yang hanya menyaksikan kiprah orang-orang pada zaman ini, yang
lebih
banyak diliputi berbagai kelalaian dan penyia-yiaan waktu mereka,
sedikit
sekali kemungkinannya untuk memperoleh pelajaran yang bermanfaat.
Bahkan lebih
buruk lagi mereka merasa berbangga diri atas perbuatan mereka, ataupun
berperangsangka buruk terhadap para tokoh salaf itu. Kedua-dua sikap
seperti
itu pasti menimbulkan keburukan.
Kesimpulannya: orang yang berbahagia itu ialah yang mampu mengikuti
teladan
para pendahukunya yang baik-baik dan selalu menuntut dirinya sendiri
agar
menempuh jalan mereka yang lurus. Dang dengan ini pula, selesailah
wasiat ini
dengan mengucapkan syukur kepada Allah Swt. atas taufiq-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar