Oleh
Drs. Hafidz Abdurrahman, MA
بسم الله الرحمن الرحيم
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ[
Wahai orang-orang yang beriman, jika
datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita
itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun
sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan.
(QS al-Hujurat
[49]: 6)
Tafsir Ayat:
Ayat ini, menurut
laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah bin
Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani
Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka
menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu,
al-Walîd, menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah
mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan
melapor kepada Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah
akan menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani
Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk
persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat (49) ayat
6 ini.[1]
Konteks turunnya ayat
ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah: Al-‘ibrah
bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan
berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat
ini berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian
membuat kaidah periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran
Islam. Tidak hanya itu, secara praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para
politikus untuk mengambil keputusan sehingga pantas jika Rasul saw. menyatakan:
»اَلتَّبَيُّنُ مِنَ اللهِ
وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ«
Pembuktian itu
berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. (Dikeluarkan
at-Thabari). [2]
Ayat ini dinyatakan
oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati ketika ada
orang fasik membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak
menelannya mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun
binaba’in fatabayyanû). Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah
syarthiyyah (kalimat bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik]
membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang berbentuk sifat, fâsiqun
(orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm
mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya
hadis ahâd yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik.[3]
Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan yang disampaikan oleh seorang guru
yang adil.
Fâsiq (fasik) sendiri
mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan).
Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini
adalah dusta atau bohong.[4]
Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang
melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[5]
Penggunaan kata naba’
(berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut adalah
berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita
pada dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang
bisa menghasilkan keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). [6]
Di sisi lain, kata naba’ tersebut merupakan bentuk nakirah
(umum), yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi,
politik, pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat
disimpulkan, jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan
bentuknya, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut
harus diperiksa. Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa
tafahhush (mengindentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang
terjadi dan berita yang disampaikan. [7]
An tushîbû qawman bi
jahâlatin (supaya
kalian tidak menjatuhkan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi
jahâlatin (dalam kondisi kalian tidak mengetahui) adalah keterangan hâl
(keadaan yang menjelaskan perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni, konteks bi
jahâlatin tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara
kalian tidak mengetahui);[8]
sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau
kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk
mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu.
Tindakan yang sama juga dilarang oleh Allah dalam ayat lain:
]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولاً[
Janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan,
dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]:
36).
Fatushbihû ‘alâ mâ
fa‘altum nâdimîn (sehingga
kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi
tentu karena keputusan yang dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat,
dan merugikan orang lain; termasuk pengambil keputusan.
Wacana Tafsir: Cara Menerima Berita
Untuk menerima
berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang urgen. Islam,
melalui surat al-Hujurât (49) ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber
berita tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) ‘âdil
(Muslim dan tidak fasik); (2) fâsiq (tidak adil). Jika sumber berita
tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan dosa kecil
atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun
demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang
asalnya adil sehingga al-Qurthûbi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil
keputusan (al-hâkim), baik penguasa maupun bukan, tetap harus
melakukan pengecekan terhadap berita yang diterimanya, sekalipun dari orang
Islam.[9]
Ini seperti yang terjadi dalam kasus al-Walîd di atas. Al-Walîd adalah utusan
Nabi saw., yang tentu merupakan orang pilihan. Akan tetapi, akibat
kesalahpahamannya terhadap sambutan Bani Musthaliq, ia bisa melakukan
kesalahan, yang barangkali tidak sengaja ia lakukan.
Berbeda jika sumber
berita tersebut orang fasik, maka Islam sangat tegas memerintahkan agar beritanya
dicek sehingga kita tidak terjebak dalam pengambilan keputusan berdasarkan
kebodohan yang akhirnya berujung pada penyesalan. Jika berita orang Islam yang
fasik saja perlu dicek, maka bagaimana dengan berita yang disampaikan orang
kafir? Tentu lebih perlu lagi. Misalnya, berita yang disampaikan CIA, bahwa
Omar al-Farouq telah mengaku mempunyai rencana untuk membunuh Megawati. Menurut
berita yang sama, al-Farouq juga diberitakan sebagai anggota jaringan
al-Qaedah. Indonesia juga diberitakan sebagai salah satu tempat berkembangnya
jaringan al-Qaedah. Berita-berita tersebut semuanya bersumber dari orang kafir,
atau orang Islam yang bekerjasama dengan orang kafir, alias orang fasik. Karena
itu, berita tersebut harus diperiksa kebenarannya. Dalam kasus seperti ini ada
contoh menarik; Rasul langsung mengirim Khâlid bin al-Walîd untuk memeriksa
keadaan Bani Musthaliq mengenai benar dan tidaknya informasi pembangkangan
mereka sebagaimana yang dituturkan al-Walîd di atas.[10]
Sebagaimana Rasul tidak mengecek kepada al-Walîd, maka para pengambil keputusan
di negeri ini, juga tidak seharusnya melakukan klarifikasi kepada CIA, mengenai
benar dan tidaknya informasi tersebut. Lebih dari itu, karena merupakan manuver
politik negara kafir, maka informasi tersebut tidak bisa dilihat semata-mata
sebagai informasi, tetapi harus dilihat sebagai manuver politik dengan tujuan
dan target tertentu yang hendak diraih oleh negara kafir, seperti Amerika dan
lain-lain.
Ini, misalnya, tampak
ketika pemerintahan Bush Jr. menyatakan, bahwa al-Qaedah yang dipimpin Usamah
bin Laden merupakan aktor pengeboman Peristiwa 11 September 2001. Informasi ini
sesungguhnya bukanlah informasi biasa, melainkan manuver politik. Akan tetapi,
sayang, karena ketidakmampuan penguasa Taliban membaca informasi yang
sesungguhnya merupakan manuver politik Amerika ini, mereka tidak menyiapkan
langkah-langkah real untuk menghadapinya. Akibatnya, seperti yang bisa
disaksikan, manuver Amerika ini berjalan dengan gemilang dan hasilnya sangat
fantastis. Taliban berhasil dijatuhkan dengan sangat singkat, digantikan dengan
kaki tangannya yang loyal, Hamid Karzai; sistem imarah yang dibangun Taliban
berhasil diruntuhkan, digantikan dengan demokrasi ala Amerika; kemudian
rancangan politik Amerika berhasil ditancapkan melalui kaki tangan dan seluruh
kinerjanya. Pada saat yang sama, monopoli Amerika atas wilayah tersebut berhasil
diwujudkan dengan berdirinya pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan.
Dengan demikian, Amerika telah berhasil mengukuhkan kedudukannya sebagai
penguasa tunggal dunia setelah menguasai jantung dunia, Afganistan dan Asia
Tengah.
Karena itu, untuk
merealisasikan manuver politiknya, negara-negara kafir seperti Amerika dan
Inggris, akan selalu menyebarkan informasi atau berita bohong untuk menutupi
niat jahatnya. Namun, jika umat Islam sadar, bahwa negara-negara kafir itu
adalah musuh, dan hubungan antara negeri-negeri kaum Muslim dengan mereka
adalah hubungan permusuhan, bukan persahabatan—sebagaimana yang mereka
pertontonkan terhadap Islam, umat, dan negeri-negeri mereka—maka seharusnya
umat Islam berpegang teguh pada sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh
Abu Harayrah, sebagai berikut:
»اَلْحَرْبُ خِدْعَةٌ«
Peperangan itu
merupakan tipudaya. (HR Muslim).
Karena itu, mereka
tidak seharusnya menelan mentah-mentah informasi yang datang dari musuh mereka.
Karena itu pula, seperti yang dikatakan Ibn Hajar al-Asqalâni, perang yang baik
bagi pelakunya dengan niat dan tujuannya yang sempurna adalah Perang Tipudaya,
bukan berhadap-hadapan secara langsung.[11]
Inilah yang dimainkan Amerika, Inggris, dan negara-negara kafir lainnya, karena
mereka tidak sanggup berperang berhadap-hadapan secara langsung dengan umat
Islam yang haus surga dan merindukan mati syahid. Kesadaran yang sama
seharusnya dimiliki oleh umat Islam supaya mereka juga bisa memenangkan
pertarungan ini.
Akan tetapi,
sayangnya, umat Islam saat ini dipimpin oleh orang-orang yang lebih loyal
kepada musuhnya ketimbang kepada mereka. Akibatnya, ketika Amerika menabuh
gendang Perang Melawan Terorisme, yang target dan tujuannya jelas untuk
memerangi Islam dan umatnya, para penguasa itu justru menari mengikuti irama
gendang yang ditabuh Amerika; bak kata penyair:
إذَا
كاَنَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفِّ ضَارِبًا
فَسِيْمَاتُهُ
أَهْلُ الْبَيْتِ كُلُّهُمُ الرَّقْسُ
Jika tuan rumah
memukul gendang,
seluruh penghuninya
tampak menari.
Wacana Tafsir: Tabayyun Berita
melalui Kondisi yang Meliputinya
Ketika berita tidak
dapat dipahami hanya dengan membaca makna kata (madlûl), misalnya Perang
Melawan Terorisme, yang berarti peperangan melawan individu atau kelompok
yang mengancam keselamatan umum dengan tujuan atau motif politik
tertentu—padahal peperangan tersebut dimaksud sebagai peperangan melawan Islam
dan umatnya—dengan tujuan untuk mengukuhkan hegemoni pelakunya atas dunia, maka
berita tersebut harus di-tabayyun dengan cara mengaitkannya dengan
situasi dan kondisi (zhurûf)-nya. Penggulingan Taliban dan pelantikan
Hamid Karzai dengan pemerintahan barunya atas nama Perang Melawan Terorisme
adalah salah satu kondisi; pendirian pangkalan militer di Qirzistan dan
Pakistan atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain;
penyusunan UU Antiteroris di beberapa negara, seperti Pakistan dan Indonesia,
serta ditandatanganinya perjanjian regional atas nama Perang Melawan
Terorisme adalah kondisi lain; kerjasama intelijen dan penangkapan
tokoh-tokoh Islam atas nama Perang Melawan Terorisme juga merupakan
kondisi lain; upaya penggulingan Saddam yang pro-Inggris untuk digantikan
dengan kaki tangan Amerika atas nama Perang Melawan Terorisme adalah
kondisi lain. Semua itu merupakan kondisi yang secara telanjang menjadi
indikator, bahwa istilah Perang Melawan Terorisme tidak dapat ditangkap
hanya dengan memahami makna katanya, melainkan harus dikaitkan dengan situasi
dan kondisi yang menyertainya. Dari sanalah, baru dapat disimpulkan bahwa Perang
Melawan Terorisme tersebut sesungguhnya merupakan peperangan untuk melawan
musuh politis dan ideologis Amerika dengan tujuan mengukuhkan hegemoninya atas
dunia.
Berita mengenai
Indonesia, bahwa Indonesia merupakan Sarang Teroris, juga tidak dapat
ditafsirkan secara terpisah dari berbagai kondisi, seperti penangkapan WNI yang
membawa bom di Filipina, 3 WNI yang ditangkap di Singapura dengan tuduhan
sebagai anggota Jamaah Islamiyah, penangkapan Omar al-Farouq di Indonesia,
penangkapan 3 WNI di Filipina dengan tuduhan terlibat pengeboman, pengeboman
mes Kedubes Amerika, pengeboman mal Cijantung, latihan ketentaraan di salah
satu pulau di Jawa Timur, dan lain-lain. Dengan adanya semua kondisi di atas,
berita Indonesia merupakan Sarang Teroris tersebut kemudian mempunyai
impresi yang kuat di benak orang yang mendengarnya, dan berita tersebut akhirnya
dianggap benar adanya. Hanya tetap harus diperhatikan, bahwa impresi tersebut
tidak boleh dipisahkan dengan situasi dan kondisi politik di atas, juga kondisi
historis bangsa Indonesia. Dilihat dari situasi dan kondisi politik di atas,
jelas bahwa berita Indonesia merupakan Sarang Teroris itu bertujuan
untuk mengukuhkan kembali cengkeraman Amerika di negeri ini setelah sebelumnya
pudar pasca dijatuhkannya Soeharto. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk
merealisasikan itu berbagai rekayasa di atas harus dilakukan? Alasannya, secara
historis, bangsa Indonesia tidak mudah ditundukkan oleh Amerika, kecuali
melalui berbagai kerusuhan, pemberontakan, dan rekayasa di dalam negeri
sehingga bangsa ini terpaksa menerima uluran tangan Amerika. Setelah itu,
barulah mereka tunduk di tangan Amerika. Realitas ini ditunjukkan oleh bangsa
ini pasca Perang Kemerdekaan hingga dekade 1950-an; Amerikalah yang
memprovokasi Perang Permesta, PRRI, termasuk DII/TII, dan terakhir
pemberontakan G 30 S PKI, sampai akhirnya negeri ini berhasil dicengkeram oleh
Amerika melalui militer. Karena itu, kerjasama militer Indonesia dengan Amerika
yang dimulai September 2002 juga tidak dapat dipisahkan dari skenario di atas.
Kasus lain adalah Sudan, yang akhirnya tunduk di bawah ketiak Amerika, setelah
sebelumnya didera dengan tuduhan Teroris, hingga pengeboman gudang
farmasi yang diklaim Amerika sebagai pabrik pembuatan senjata pembunuh massal,
dan sebagainya, termasuk naiknya Jenderal Omar Bashir setelah digulingkannya
Hassan at-Turabi, padahal dia telah memenuhi keinginan Amerika, termasuk
melakukan penangkapan terhadap aktivis Muslim untuk dijebloskan dalam penjara.
Akankah negeri ini
mengalami sejarah yang sama, dijajah kembali, yang berarti keluar dari mulut
buaya masuk ke mulut singa? Tentu semuanya kembali pada kearifan, kecerdasan,
dan kesadaran politik umat dan bangsa ini. Wallâhu a‘lam. []
[1] Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qu’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI, hlm.
123-124.
[2] Ath-Thabari, Ibid,
hlm. 124; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia,
juz IV, hlm. 210.
[5] Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 307 dan 315.