Dalam Epik Mahabarata yang diadaptasikan dalam seni wayang di Indonesia terutama Jawa, Sunda dan Bali terdapat tokoh khusus yang dinamakan Punakawan.
Para tokoh dalam kelompok Punakawan ini memiliki karakter yang menarik karena mewakili simbol kerendahhatian dan penebar hikmah. Bahkan kebanyakan penonton pertunjukan wayang (apalagi jika all-night show) lebih menantikan tampilnya tokoh-tokoh tersebut daripada para tokoh utamanya seperti Pandawa. Saya sendiri dari kecil menggemari tokoh Punakawan karena secara karakteristik sebenarnya mereka mewakili profil umum manusia. |
Mereka adalah tokoh multi-peran yang dapat menjadi penasihat para
penguasa/ksatria bahkan dewa, penghibur, kritikus hingga menjadi
penyampai kebenaran dan kebajikan.
Dari mereka kita dapat banyak mengambil hikmah bahkan dengan tanpa terasa sebenarnya menertawakan diri sendiri.
Karakter Punakawan ini memang tidak ada dalam versi asli mitologi
Hindu epik Mahabarata dari India. Punakawan adalah modifikasi atas
sistem penyebaran ajaran-ajaran Islam oleh Sunan Kalijogo dalam sejarah
penyebarannya di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Walaupun sebenarnya
pendapat ini pun masih diperdebatkan oleh banyak pihak.
Jika melihat ke biografi karakter-karakter Punakawan, mereka asalnya adalah orang-orang yang menjalani metamorfosis (perubahan karakter yang berangsur-angsur) hingga menjadi sosok yang sederhana namun memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa.
Para dewa pun tidak ada yang berani marah kepada Bagong (wayang Jawa) atau Astrajingga/Cepot (wayang Sunda) atau Bawor (wayang Banyumas)
sekalipun sosok ini sering mengkritik mereka dengan humor-humor yang
sarat kebijaksanaan. Saya sendiri sering membandingkan tokoh Bagong/Astrajingga/Bawor dengan Abu Nawas atau Nashrudin dari kisah-kisah sufistik yang menyampaikan pesan-pesan bermakna secara jenaka bahkan dengan berlaku konyol sekalipun.
Selain itu dari sosok tersebut ada karakter Nala Gareng atau sering disebut Gareng saja dan tokoh Petruk (wayang Jawa) atau Dawala (wayang Sunda). Dalam cerita wayang Jawa kedua tokoh ini adalah saudara angkat yang diadopsi oleh Semar.
Antara sosok Gareng dan Petruk ini terdapat karakter yang bertolak
belakang. Gareng sekalipun cerdas dan hati-hati tapi sulit menyampaikan
sesuatu melalui kalimat. Berbeda dengan Petruk yang cenderung asal
bicara tapi sedikit bodoh.
Bahkan dalam cerita Petruk jadi Raja, Petruk/Dawala pernah membawa kabur Pusaka Hyang Kalimusodo dari Yudistira kemudian berkuasa di Kerajaan Ngrancang Kencana dengan gelar Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh atau Prabu Helgeduelbek.
Dari sosok tersebut kita banyak belajar tentang bahayanya kebodohan
terutama jika orang yang kurang ilmunya diberi kesempatan untuk berkuasa
sehingga menyebabkan bencana di lingkungannya. (Kok jadi nyambung dengan kondisi pemerintah kita saat ini yaa.. )
Namun di sisi lain juga ternyata sungguh tidak baik jika orang-orang
yang memiliki ilmu yang dalam tidak bisa menyebarkan manfaat atas hal
tersebut karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi seperti Gareng.
Sedangkan sosok Semar atau Batara Ismaya sendiri merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa. Sampai-sampai Batara Guru atau Manikmaya sebagai raja para dewa pun sering meminta petunjuk kepadanya.
Sebenarnya Semar dan Batara Guru adalah bersaudara kandung serta memiliki saudara lainnya yaitu tokoh Togog atau Tejamantri atau Betara Antaga. Ketiganya adalah anak-anak dari Sang Hyang Tunggal.
Proses turunnya Semar/Ismaya dan Togog/Antaga/Tejamantri ke dunia
sendiri banyak memberikan pelajaran kepada kita. Diceritakan bahwa
Batara Guru/Manikmaya sebagai putera bungsu Sang Hyang Tunggal merasa
dirinya paling cakap dan sempurna dibandingkan kedua kakaknya. Hal ini
memunculkan perasaan bahwa dirinyalah yang paling pantas meneruskan
kepemimpinan ayahnya sebagai raja para dewa.
Dengan kecerdikannya (atau kelicikan?) Batara Guru mengajak Batara
Ismaya dan Batara Antaga untuk berkompetisi menguji kesaktian
masing-masing. Barangsiapa yang mampu menelan sebuah gunung dan
memuntahkannya kembali maka dia yang berhak menjadi raja para dewa.
Karena kasih-sayang kepada adik bungsunya dan mungkin juga didorong
oleh ambisi menjadi penguasa maka keduanya menyanggupi tantangan
tersebut. Padahal gunung adalah simbol dari pakubumi yang
menjaga kestabilan dunia dan tiang langit dan bumi. Jadi sekalipun
ditelan dan dimuntahkan lagi sebenarnya hal tersebut tidak boleh
dilakukan.
Perbuatan Batara Ismaya dan Batara Antaga tersebut menyebabkan Sang Hyang Tunggal marah dan menitahkan mereka untuk turun ke marcapada/mayapada/bumi yang saat itu diramalkan akan rusuh oleh pertempuran klan Pandawa dan klan Kurawa.
Menyadari kesalahannya masing-masing maka mereka turun ke bumi dimana
Semar membimbing para Pandawa dan Togog membimbing para Kurawa.
Karena membimbing para Kurawa yang sering diasosiasikan dengan
kejahatan maka sosok Togog dianggap punakawan yang mewakili simbol
ketamakan manusia. Padahal sebenarnya dari karakter Togog kita sering
mendapat petuah-petuah tentang keseimbangan berfikir dan adanya area
abu-abu dalam kehidupan ini.
Sebenarnya selain tokoh-tokoh punakawan di atas masih ada sosok Bilung, Cangik dan Limbuk. Ketiganya biasanya hanya muncul di cerita wayang Jawa.
Dari sosok Bilung kita mendapatkan pelajaran untuk selalu menghargai
masukan dari siapapun. Dalam cerita wayang disebutkan bahwa karakter ini
adalah sahabat Togog dan sering memberikan masukan kepada tuannya.
Namun jika masukannya tidak diperhatikan, Bilung akan menjerumuskan
tuannya dengan memberikan masukan yang salah jika dimintai lagi
pendapat.
Bilung adalah rival abadi Petruk. Setiap bertemu Bilung selalu
menantang Petruk berkelahi sekalipun selalu kalah dengan sekali pukul.
Sebenarnya dari sifat ini kita dapat belajar tentang kepercayaan diri
dan keberanian sekalipun selalu menghadapi kekalahan.
Sedangkan karakter Cangik adalah ibunya Limbuk dimana keduanya adalah
dayang para dewi atau isteri para Pandawa. Dari kedua sosok ini kita
dapat belajar tentang kebesaran hati untuk menyadari kekurangan diri
karena Cangik dan Limbuk sering ditampilkan sebagai wanita-wanita buruk
rupa namun merasa cantik sekali.
Keterkaitan antara masing-masing karakter Punakawan dan karakter
pelengkap lainnya sebenarnya banyak memberikan inspirasi bagi kita dalam
menjalani hidup.
Petuah-petuah mendalam yang arif dari tokoh-tokoh tersebut sebenarnya
mengajarkan filsafat kehidupan yang sudah dibentuk dan disampaikan oleh
para leluhur kita sejak ribuan tahun lalu.
Sekalipun para dalang yang memainkannya berganti, nilai-nilai yang
diajarkan melalui para tokoh Punakawan tersebut malah sering dibicarakan
oleh para pembicara di seminar-seminar dengan biaya mahal.
Padahal cukup dengan berselimutkan sarung, segelas kopi dan ketekunan
semalam suntuk dengan menonton pertunjukan wayang sudah mengajarkan
banyak hal mengenai hidup kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar