Senin, 14 Mei 2012

Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Budaya Bahari

Menggagas Paradigma Pendidikan
Berbasis Budaya Bahari 


Pringgitan Kiwa, Pendapa Wiyatapraja, Kompleks Kepatihan,  Danurejan, Yogyakarta
tel:  0274 7460235 – 562811 pes. 1231 fax:  0274 374919 -  email:  yogya_semesta@yahoo.co.id
Dialog Budaya & Gelar Seni “YogyaSemesta” Seri-27:




Dialog Interaktif Seri-4
“Pendidikan yang MengIndonesia”
  
PADA saat Launching dan Bedah Buku “Menuju Jati Diri Pendidikan yang MengIndonesia” 9 November 2009, Gubernur DIY mengatakan pendidikan kemaritiman dan kelautan yang menjadi karakter khas Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum pernah diajarkan. Tetapi pendidikannya masih berbasiskan agraris atau kontinental. Sehingga masyarakat maritim dari luar Jawa yang menempuh studi di Jawa juga diajarkan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah asalnya.

Benua Maritim Indonesia
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara besar. Aspek jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan sumberdaya alam, kebhinnekaan agama, etnis dan kultur, memberi peluang untuk itu. Bukan seperti kebanyakan negara-negara lain, Indonesia merupakan Benua Maritim yang sangat luas dengan corak alam lingkungan sangat bervariasi disertai kemajemukan yang tinggi di antara lebih 400 suku-suku bangsa yang mendiaminya.
Penduduknya diperkirakan 230 juta, yang menempatkan Indonesia pada urutan keempat dunia. Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki keunikan budaya tersendiri, terlebih lagi jika dikaitkan dengan letaknya dalam peta dunia.

Dari segi geologi, geofisika, geokimia, dan dinamika atmosfera, Benua Maritim Indonesia merupakan teks alami yang tak habis-habisnya untuk dikaji, dipelajari, dan dimanfaatkan sumberdaya yang dikandungnya. Pendek kata, Benua Maritim Indonesia merupakan laboratorium alami, baik bagi ilmu-ilmu kebumian, kelautan, atmosferik, dan ilmu-ilmu kehidupan.

Jika berkehendak menggeser orientasi pembangunan menuju skala dunia, maka tidak lain kita juga harus mulai memperkuat basis pendidikan bidang kelautan dengan mulai merintis gagasan paradigma pendidikan yang berbasis budaya bahari. Oleh sebab itu, paradigma pendidikan Indonesia selain dirintis berorientasikan pada tatanan Benua Maritim Indonesia, seharusnya juga mendasarkan pada karakter lokal yang penuh kebhinnekaan yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain.

Sejarah: Cermin Jernih & Referensi Terpercaya
Sejarah merupakan cermin yang jernih dan referensi terpercaya untuk melakukan perubahan guna membangun masa depan yang gemilang. Indonesia dianugerahi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak semata-mata lahir secara kebetulan atau ahistoris, melainkan dari perjalanan panjang sejarah masyarakat Nusantara yang berjiwa bahari, seperti tegas, terbuka, kosmopolit, menembus kedangkalan, serta kekerdilan berpikir. Sikap masyarakat bahari ini bertolak belakang dengan masyarakat agraris yang dicirikan dengan pendeknya wawasan berpikir, terbentuknya watak kerdil dan kemunafikan. Hal ini diungkap tuntas dalam novel Pramoedya Ananta Toer “Arus Balik”, suatu novel yang merupakan epos sejarah kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir dalam menguasai peradaban, dari segi ekonomi, politik, teknologi hingga militer.
Kejayaan Majapahit dengan kegagahan armada kapalnya dalam mengarungi samudera untuk mempersatukan Nusantara, termaktub dalam janji suci “Sumpah Palapa” Gadjah Mada (yang diletakkan dalam konteks zamannya, bukan pada watak ekspansionismenya), namun cita-cita suci tersebut kian hari kian terhempas ke dalam kubangan yang memalukan. Hal ini dicerminkan dengan kebijakan yang selama ini hanya bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya daratan dan memarginalkan sumberdaya kelautan. Akibatnya, sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor pinggiran, yang menempatkan wilayah pesisir hanya menjadi kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan, seperti terkukuhkannya masyarakat nelayan sebagai masyarakat yang paling miskin dari yang termiskin (poorest of the poor).

Padahal semestinya fenomena kemiskinan di masyarakat pesisir ini tidak terjadi, mengingat mereka hidup di tengah-tengah kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah. Lebih daripada itu, lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002 telah menorehkan luka yang amat dalam di seluruh jiwa masyarakat Indonesia dan ini membuktikan bahwa rapuhnya visi kebaharian dalam sistem pemerintahan NKRI. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mengubah visi pembangunan dari orientasi kontinental menjadi orientasi kelautan, sehingga arus balik peradaban kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir di masa lalu dapat kembali diraih.

Skenario Kolonialis
Keterpurukan dan ketertinggalan pembangunan di wilayah pesisir dan laut hingga saat ini tidak lepas dari strategi kaum kolonialis Eropa dalam menghancurkan peradaban tertinggi masyarakat Nusantara yang berjiwa bahari. Sebelumnya terciptanya kerdilisasi jiwa masyarakat Nusantara yang dalam proyek besar kaum kolonialis Eropa, warga Nusantara telah mampu berlayar sampai ke Madagaskar, Afrika bagian Selatan dan Kepulauan Melanesia di Samudera Pasifik (Dahuri, 2003). Kenapa proyek kerdilisasi ini dihantamkan kepada masyarakat Nusantara? Dari sekian jawabannya, semua mengerucut pada satu pemahaman inti, yaitu penghancuran peradaban.
Dahuri (2003) mengungkapkan dalam orasi ilmiahnya bahwa periode emas dari kejayaan bahari Nusantara terjadi mulai masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit di abad ke-8 hingga abad ke-14. Lalu, kejayaan tersebut disusul oleh bermunculannya kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan Islam yang umumnya terletak di wilayah pesisir, seperti di Pantai Utara Jawa, yaitu Demak, Surabaya, Tuban, Gersik, Jepara, Cirebon dan Banten. Di wilayah pesisir timur Sumatera, yaitu Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Kesultanan Riau, Palembang, sementara di Sulawesi, yaitu Makasar dan Bugis, dan Maluku (Ternate dan Tidore).

Proyek kerdilisasi kaum kolonialis Eropa, yang dalam hal ini dilancarkan oleh Portugis dan Belanda dimulai dengan gerakan-gerakan penguasaan kota-kota pesisir secara ekonomi, politik dan militer, kemudian diarahkan dan dipojokkan ke wilayah-wilayah pedalaman. Namun, perang kolonialisme ini mendapat perlawanan yang sengit dari koalisi kerajaan-kerajaan pesisir, akan tetapi dengan segala kecerdikan dan kepicikannya, akhirnya perang ini dimenangkan oleh kerajaan pedalaman, yaitu Mataram yang berbasis agraris.

Kekalahan kerajaan pesisir tersebut telah berhasil menciptakan masyarakat Nusantara menjadi kerdil, karena kebudayaan pesisir terkikis habis menjadi masyarakat agraris. Lebih dari itu, perubahan kekuasaan laut menjadi kekuatan darat yang berkerut ke pedalaman telah menciptakan kecemerlangan cendikia menjadi kedunguan penalaran, sementara persatuan dan kesatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan (Ishak, 1995).

Oleh karena itu, benar sekali ungkapan Pramoedya Ananta toer bahwasa Indonesia tidak akan habis-habisnya dirundung masalah disintegrasi dan tersendatnya perkembangan. Hal ini disebabkan oleh pimpinan-pimpinan nasional tidak memiliki jiwa dan semangat keberanian, melainkan lebih mengadopsi sifat masyarakat agraris yang dangkal dan penuh dengan eufimisme.

Membalikkan Peradaban
Secercah harapan masyarakat Indonesia akan kebangkitan bangsa bahari tertuju pada Gerakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Gerbang Mina Bahari) yang dicanangkan Presiden Megawati 11 Oktober 2003 di Provinsi Gorontalo. Namun, kebijakan tersebut kini tidak terdengar lagi, mensyaratkan sifat multi sektoral dan lintas departemen.

Dengan meminjam pemikiran Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof Tridoyo Kusumastanto tentang “Ocean Policy”, sebenarnya bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis yang berkepanjangan ini. Hal tersebut karena kebijakan itu dapat dijadikan payung besar dalam mewadahi seluruh kepentingan stakeholders yang memiliki perhatian terhadap pembangunan sektor kelautan, mengingat pembangunan sektor ini bersifat multi sektoral dan lintas departemen, seperti perikanan, pertambangan minyak dan gas, industri maritim, jasa angkutan laut dan penunjang, pariwisata bahari, bangunan laut dan jasa kelautan lainnya.

Harapan pembangunan kelautan dan perikanan menjadi prime mover perekonomian nasional, sebagaimana yang terjadi di negara-negara maritim lainnya, semoga dapat diwujudkan, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk. Cita-cita ini baru bisa tercapai jika didukung oleh sistem pendidikan yang juga berbasis pada budaya bahari dengan mengembangkan ilmu-ilmu kelautan.

Pendidikan yang MengIndonesia
Pendidikan yang mengIndonesia adalah pendidikan dari, oleh, dan untuk Indonesia. Artinya pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Indonesia dan dasar negara Republik Indonesia. Dalam hal apa pun, pendidikan sebaiknya tidak keluar dari nilai-nilai kepribadian bangsa. Mulai dari sistem dan konsep sampai pada pelaksanaan teknisnya harus sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Selama ini apakah pendidikan di Indonesia sudah mengIndonesia? Pendidikan di Indonesia saat ini belum efektif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena pendidikan saat ini masih berorientasi pada nilai angka, namun tidak berorientasi pada karakter tiap orang yang dibangun dan dibentuk melalui pendidikan tersebut. Kesuksesan seseorang tak hanya dinilai dari kemampuan akademik di sekolah atau pun di universitas, namun juga karakter dan akhlaknya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai hasil dari pendidikan yang ditempuhnya. Maka dari itu, pendidikan Indonesia rasanya perlu diperbaiki konsep dan sistemnya, artinya tidak berorientasi pada nilai dan materi, namun juga berorientasi pada kemurnian akhlak dan karakter bangsa yang baik.


Indonesia ini kaya akan budaya dan keindahan alam, sangat disayangkan bangsa kita tak dapat memanfaatkannya dengan baik dalam dunia pendidikan, termasuk kekayaan sumberdaya kelautannya yang melimpah. Pendidikan yang mengIndonesia merupakan salah satu solusi bagi masalah tersebut. Pendidikan yang membentuk manusia-manusia Indonesia menjadi manusia yang dapat memanfaatkan anugerah Tuhan dengan baik di wilayah Indonesia. Pemanfaatan budaya merupakan salah satu strategi untuk membentuk karakter bangsa ini. Budaya adalah suatu alat yang menjadi kebiasaan kita dalam bersikap, maka itu akan merefleksikan sikap dan karakter kita sebenarnya dalam rangka mewujudkan spirit keIndonesiaan kita yang berbudi pekerti luhur.

Selain itu, pemanfaatan kekayaan alam Indonesia juga sangat mempengaruhi kemajuan Indonesia ke depan. Indonesia memiliki wilayah yang luas dan potensi alam yang dahsyat. Tak sepantasnya penghuni Indonesia menyia-nyiakannya begitu saja. Maka dari itu, arah pendidikan Indonesia harus diperjelas dengan memasukkan nilai-nilai moral di dalamnya agar nantinya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat bermoral, bernurani, cerdas serta memiliki kesadaran multikultural dan kepedulian terhadap sumberdaya lokal yang dimiliki.

Indonesia adalah negara berbentuk kepulauan dengan wilayah yang luas terbentang dari Aceh sampai Papua. Kondisi komunitas masyarakat di masing-masing wilayah sangat beragam dan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut di antaranya letak geografis, kondisi sosial, budaya, ekonomi, sarana dan prasarana wilayah serta pendidikannya. Kesemuanya itu saling berpengaruh satu sama lain, oleh karena itu dalam memecahkan permasalahan pendidikan, Pemerintah harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut.

    Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan Indonesia pada saat sekarang ini mengalami berbagai macam permasalahan, di antaranya pendidikan yang belum merata. Artinya, tidak semua warga negara berkesempatan untuk mengenyam pendidikan. Walaupun sudah digembor-gemborkan sekolah gratis oleh Pemerintah, namun masih saja ada tunas bangsa yang berpotensi untuk membangun bangsa ini yang tidak sanggup memenuhi mahalnya biaya pendidikan.


Masalah ini tentu berpangkal pada kondisi ekonomi masyarakat yang perlu dipikirkan oleh Pemerintah. Pendidikan yang mengIndonesia berarti pendidikan yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya milik segelintir orang saja. Pemerintah perlu memfasilitasi seluruh warganya untuk mendapatkan pendidikan yang layak demi masa depan bangsa.

Salah satu nilai yang perlu ditanamkan pada masyarakat Indonesia dalam rangka memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia adalah melalui pendidikan yang mengIndonesia. Pendidikan yang mengIndonesia dapat pula diartikan sebagai penanaman kemampuan hidup dan berkehidupan bagi warga negara Indonesia dengan tiada henti dan selamanya, baik berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mengakar pada prinsip dari Indonesia. Perjalanan membangsa dan mengIndonesia merupakan proses yang berlangsung terus-menerus. Kita tidak tahu sampai kapan proyek ini akan selesai dan bukan tidak mungkin proyek ini tak akan pernah selesai.

Pendidikan mengIndonesia adalah pendidikan yang dilakukan oleh orang Indonesia bagi generasi pengganti bangsa Indonesia yang memiliki tujuan untuk melestarikan dan menjayakan Indonesia. Dalam kondisi ini nampaknya kita harus menyuarakan kembali mengenai jati diri bangsa ini, yaitu pembangunan kembali karakter bangsa. Membangun visi kemanusiaan sebagai bangsa Indonesia, visi keragaman yang menyatu dalam bingkai keIndonesiaan, visi pemanfaatan atas sumberdaya manusia dan alam untuk kesejahteraan bangsa Indonesia, serta visi moral religius yang mewarnai semangat sebagai warga bangsa.

Pendidikan mengIndonesia berarti pendidikan yang tepat untuk Indonesia secara keseluruhan. Indonesia dengan kenanekaragaman budayanya harus dapat memiliki ciri khas tersendiri dalam menentukan sikap dan kebijakan dalam bidang pendidikan. Pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan harus mempertimbangkan berbagai aspek untuk mencapai pendidikan yang hakiki bagi seluruh rakyat Indonesia.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu diterapkan pendidikan yang mengIndonesia, maksudnya dalam menyusun manajemen pendidikan harus ditinjau dari berbagai perspektif yang muaranya dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia. Misalnya, dalam menyusun kurikulum, Pemerintah tidak hanya mengadopsi dari negara lain yang kondisi sosial, ekonomi dan budayanya berbeda jauh dengan Indonesia, tapi harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sendiri sebagai karakter nasional kita.
Harus ada sinergi antara Pemerintah dan masyarakat, sehingga akan terwujud pendidikan yang mengIndonesia. Diharapkan setiap individu bersedia mengabdikan diri serta menyumbangkan ilmu yang dimilikinya sesuai dengan bidangnya masing-masing untuk meningkatkan taraf pendidikan Indonesia, agar mampu bersaing dengan bangsa lain. Namun, sekiranya hal tersebut masih merupakan pekerjaan rumah bagi kita dalam memperbaiki infrastruktur maupun suprastruktur pendidikan, sehingga pendidikan yang adil dan merata dapat terwujud di Indonesia. Salah satu jawabannya adalah di bidang pendidikan yang bertemakan: ”Paradigma Pendidikan yang Berbasis Budaya Bahari”.

Dialog Interaktif
Dialog Interaktif ini akan menghadirkan narasumber yang kompeten, yaitu Prof. Suwarsih Madya, PhD, Kepala Dinas Pendidikan, Olahraga dan Pemuda DIY,  Kol. (L) Sutarmono, Komandan Denal Yogyakarta, Prof. Dr. Gunawan, MPd, Ketua Tim KRP DIY Penggagas Buku “Menuju Jati Diri Pendidikan yang MengIndonesia”, Dr. Cahyana Endra Purnama, MA, Direktur Akademi Maritim “Ganesha” Yogyakarta, Dr. Ir. Iwan Yusuf, BL, MSc, Ketua Program Studi Teknologi Pengolahan Ikan Jurusan Perikanan Faperta-UGM. Dialog akan dihantarkan oleh moderator selaku host tetap, Hari Dendi, Pengasuh Komunitas Budaya “YogyaSemesta”. Digelar di Studio JogjaTV, jl. Wonosari KM 9, pada Rabu malam, 18 November 2009 jam 20.00-22.00, dengan selingan Gelar Seni S.G.P.C. Musik Budaya, Pimpinan Devi.


Yogyakarta, 16 November 2009

Komunitas Budaya
“YogyaSemesta”,



H a r i  D e n d i
Pengasuh





Catatan Pengertian:

Maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga disimpulkan bahwa maritim adalah berkenaan dengan laut yang berhubungan dengan pelayaran perdagangan laut.
Kemaritiman adalah kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran niaga, sehingga kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan penangkapan ikan bukan merupakan dari kemaritiman.
Bahari artinya cenderung pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya laut, misalnya bangsa Indonesia dikenal memiliki budaya bahari yang kuat dan dikenal “nenek moyangku seorang pelaut”.
Kebaharian adalah hal-hal yang menyangkut masalah bahari.
Jiwa Bahari adalah semangat dalam mengelola dan membangun kelautan. (Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun Anggaran 2008, “Perumusan Kebijakan tentang Sumberdaya Manusia di Bidang Maritim”, Lampiran-2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar