Selasa, 13 Juli 2010

GUS DUR :Konfigurasi Politik setelah Pemilu

Di sebagian besar daerah, pemilu legislatif tahun 2004 telah berlangsung. Pada saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menggunakan teknologi informasi (TI) di Hotel Borobudur, Jakarta untuk melakukan tabulasi hasil-hasilnya, yang menurut Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, hanya bersifat uji coba, karena hasil tabulasi resmi hanya akan dilakukan berdasarkan laporan-laporan manual, sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Pernyataan penggunaan TI, sebuah proses yang memakan biaya Rp 200 miliar itu, hanya bersifat uji coba, berarti sebuah pemborosan luar biasa yang diakibatkan oleh tingginya korupsi oleh KPU itu sendiri. Karena itu penulis dan kawan-kawan mengkritik kinerja KPU dan meminta penggantian pimpinan KPU dengan segera, yang oleh Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai ”memperolok-olok KPU”.
Penulis telah menjawab hal itu, dengan menyatakan bahwa kritik itu serius karena didukung dengan fakta-fakta yang ada dan tidak bermain-main. Dengan tidak boleh komentar apapun, menandakan bahwa pemerintah sendiri dibuat bingung oleh KPU.
Ketika penulis dan kawan-kawan meminta Ketua KPU Nazaruddin Sjamsudin meminta maaf kepada bangsa ini karena kerja KPU yang dipimpinnya tidak karuan, maka dengan muka kusam ia meminta maaf kepada bangsa ini, namun ia tidak berbicara mengenai permintaan agar mundur dari jabatannya itu.
Megawati Soekarnoputri tetap tidak meminta maaf kepada bangsa ini karena pelaksanaan pemilu legislatif yang kacau-balau. Seperti jutaan orang yang seharusnya menjadi pemilih, tidak menerima surat panggilan memilih; sehingga mereka tidak dapat memilih pilihan mereka. Ditambah begitu banyak orang yang tidak berhak memilih, seperti anak-anak di bawah umur dan orang-orang yang sudah meninggal dunia, ternyata mendapat surat panggilan.
Kejadian-kejadian tragis seperti ini, disertai pula oleh cara-cara menghitung dan melakukan tabulasi yang acak-acakan, pada akhirnya membuat penulis dan kawan-kawan terpaksa membuat kriteria bagi pengumuman KPU akan hasil-hasil pemilu legislatif tahun 2004.

Kriteria itu akan menentukan diterima atau ditolaknya hasil tersebut oleh sebagian dari 24 parpol peserta pemilu, pada 26 April 2004.
Ini adalah akibat dari telah tercapai titik nadir dalam kehidupan politik kita, dan merupakan krisis politik yang terbesar sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dikeluarkan oleh mendiang Presiden Soekarno. Karenanya, di balik ketenangan yang kita lihat saat ini, ada sebuah proses besar yang tengah berjalan luar biasa, dan anehnya tidak memperoleh responsi terbuka dari pemerintah.
Dalam kesunyian yang mencekam pada proses menentukan kehidupan bangsa ini, penulis bertanya; akan benar-benar demokratiskah hidup bangsa ini atau tidak? Sudah tentu kita harus melihat betapa besarnya resistensi (perlawanan) dari kemapanan yang ada.
Terlihat dalam proses demokratisasi kehidupan bangsa ini, ada beberapa pihak luar negeri yang turut serta. Seperti yang dinyatakan mengenai proyeksi hasil pemilu kita, serta yang menyatakan bahwa pemilu legislatif kita tahun ini 80-85% bersih dan demokratis. Kesimpulan itu ditolak oleh Cetro di bawah pimpinan para pejuang demokrasi di negeri kita. Bernarkah ”orang luar” lebih tahu dari kita sendiri sebagai bangsa akan jalannya pemilu legislatif tahun 2004 di negeri ini?
Sebuah kenyataan lain perlu juga kita perhatikan adalah adanya kenyataan bahwa politik aliran tetap mendominasi kehidupan politik kita. Seperti perolehan suara PDI Perjuangan, terlepas dari tuduhan melakukan money politics, menampilkan diri sebagai perwakilan kaum nasionalis yang berarti nasionalisme masih menjadi kekuatan politik di negeri ini.
Demikian pula golongan Islam, masih diyakini oleh dikotomi tradisionalisme (yang diperlihatkan oleh sebagian pemilih dari kalangan NU/PKB), dan pihak modernis (diwakili terutama oleh pemunculan pendatang baru seperti Partai Keadilan Sejahtera/PKS). Pihak ketiga adalah paham kekaryaan yang diwakili oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar, walau terdapat tuduhan berat akan money politics.

Kerja Sama Antaraliran
Dari fenomena perolehan suara ini, tidak dapat dihindari bahwa terdapat ketidakpastian aliran mana yang dominan dalam kehidupan politik kita. Untuk menebus ketidakpastian tersebut, mau tidak mau, harus ada kerja sama antara dua aliran politik dalam kehidupan kita untuk sementara ini atau mungkin untuk lima tahun mendatang.
Kenyataan sejarah ini adalah sesuatu yang harus disadari oleh para pemimpin politik kita. Ketidakmampuan memahami kenyatan sejarah yang demikian gamblang ini, akan menunjukkan kualitas kepemimpinan mereka (dan dengan sendirinya para pemimpin aliran-aliran politik kita di masa depan).
Kenyataan sejarah tersebut, menurut penulis, adalah sebuah kejujuran dari sebuah proses politik sangat panjang yang dimulai oleh para pendiri negara kita. Apapun itu peran pejuang seperti Soekarno, Hatta, Cipto Mangunkusumo, atau para pemimpin dari angkatan berikut (seperti Panglima Besar Soedirman) dan konfigurasi seperti Djuanda, Leimena, Subhan, M. Natsir dan lain-lain, maupun yang ada sekarang ini, jelas menunjukkan hilangnya politik aliran secara tetap.
Dalam lingkup politik aliran seperti itu, harus dilakukan demokratisasi kehidupan bangsa kita secara sungguh-sungguh. Demokratisasi itu bersandar kepada kedaulatan hukum dan perlakuan sama kepada semua warga negara di hadapan undang-undang, terlepas dari perbedaan asal-usul, agama, bahasa ibu, satuan etnis, budaya dan daerah mereka. Kita tidak boleh kehilangan kedua hal itu, jika menginginkan bangsa Indonesia yang jaya dan kuat.
Dari hal inilah muncul keheranan, mengapa ada pihak-pihak yang tetap dapat menerima KKN di negeri kita, dengan jalan ”mengundurkan” proses demokratisasi yang berjalan? Pihak inilah yang harus diperhitungkan, yaitu pihak yang tidak ingin menyaksikan bangsa Indonesia tumbuh kuat, dan menentukan nasib sendiri, serta muncul sebagai salah satu pimpinan dunia yang akan ‘mengganggu’ keseimbangan geo-politis yang telah mapan.
Dari tinjauan di atas menjadi jelas, bahwa perjuangan kita di masa depan terkait dengan dua hal: tegaknya demokrasi di negeri ini dan pola hubungan internasional seimbang, berdasarkan apa yang diingini Indonesia di masa depan. Perjuangan kita untuk menegakkan kedua hal itu, sangat tergantung cepat atau lambatnya kedua persepsi di atas dipahami orang banyak. Dan juga proses demokratisasi di negeri ini sangat bergantung kepada kemampuan kita menyelesaikan kemelut hasil pemilu legislatif tahun 2004.
Tentu saja, ini berarti harus ada cara-cara penyelesaian yang diterima baik oleh pemerintah, KPU dan pihak-pihak yang menentang hasil-hasil pemilu legislatif itu sendiri pada saat ini. Nasib bangsa di kemudian hari akan sangat bergantung kepada kesepakatan yang dicapai oleh pihak-pihak tersebut. Ini adalah sebuah proses politik yang memerlukan kearifan tersendiri dari kita semua sebagai bangsa. Punyakah ia para pemimpin yang memiliki kelas seperti Soekarno dan Hatta, yang berpikir panjang tentang masa depan bangsa?.
Kesediaan mereka untuk dibuang dan bagi Soekarno untuk dipenjara di Sukamiskin (Bandung) dipadukan dengan kesediaan para pemimpin masyarakat seperti KH. M. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng, Jombang) untuk menetapkan mereka sebagai para pemimpin yang diikuti bangsa ini menuju kemerdekaan, merupakan kenangan mereka bagi kita semua, yang sekarang ini harus mengambil sikap yang jelas tentang apa yang kita ingini di masa depan.
Inginkah kita demokrasi tegak di negeri ini dalam waktu tidak lama lagi? Dan inginkah kita berperan di tingkat internasional yang akan mempertinggi martabat bangsa? Memang tidak mudah mewujudkan kedua hal itu dalam kehidupan bangsa kita yang serba kompleks ini, namun mau tidak mau kita harus menjalaninya. Hal itu mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan? ***

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB(Oleh:
ABDURRAHMAN WAHID)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar