Analisa Semiotika
REP
| 13 April 2012 | 06:05
Dibaca:
18541
Komentar: 7
0
Analisa Semiotik
Oleh Ali Arrida
Pengertian
semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang
berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata
lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang
mempergunakannya.
Seluruh
aktifitas manusia dalam keseharian selalu diliputi berbagai
kejadian-kejadian yang secara langsung atau tidak langsung, disadari
atau tak-sadar, memiliki potensi makna yang terkadang luas nilainya jika
dipandang dari sudut-sudut yang dapat mengembangkan suatu objek pada
kaitan-kaitan yang mengindikasikan suatu pesan atau tanda tertentu. Jika
diartikan melalui suatu penjelasan maka akan dapat diterima oleh orang
lain yang menyepakati.
Semiotika,
yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study
of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu
sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu
sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna ( Scholes, 1982:
ix dalam Kris Budiman, 2011: 3)
Lebih
spesifik lagi jika sebuah studi atas kode-kode tertentu memiliki kaitan
dengan kehidupan kita, bahkan sangat fundamental jika ada kesalahan
artikulasi atas kode-kode tersebut. Pemicu awal terciptanya suatu hukum
bisa berawal dari kode-kode sebuah tanda yang telah disepakati dan
menjadi kebudayaan menyeluruh. Kita dapat melihat tentang bagaimana
tanda-tanda tertentu berbeda makna dari orang-orang yang terbagi dalam
berbagai aspek seperti, geografis, demografis, suku dan budaya. Sehingga
bagi Ferdinand de Saussure (Kris Budiman, 2011: 3) menuturkan bahwa
semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”. Tanda-tanda dalam
masyarakat yang telah disepakati sebenarnya hasil dari pemikiran Logika
seperti yang di ungkapkan oleh Charles S. Pierce (Kris Budiman 2011: 3)
bahwa semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni
“doktrin formal tentang tanda-tanda”.
Penggunaan
kata doktrin disini adalah wujud dari kesepakatan generasi ke generasi
contohnya tentang tanda alam, “jika mendung maka itu tanda akan segera
turun hujan”. Walaupun terkadang hujan tanpa mendung-pun sering terjadi,
dan mendung tanpa hujan pun ada. Namun, ada makna yang terkandung di
dalam tentang artikulasi bagi sebagian orang atau kelompok tentang tanda
“mendung”. Dalam ilmu fisika kita mengetahui sebab apa sehingga turun
hujan akan mengartikan sebagai proses menguapnya kandungan air yang
ditampung sehingga langit mendung dan menurunkan hujan. Akan tetapi,
bagi kelompok lain tanpa melakukan sebuah analisis akademis seperti itu
pun mengisyaratkan bahwa langit mendung pertanda akan turun hujan. Tanda
langit mendung menjadi acuan yang disepakati baik secara doktrinisasi
ataupun secara historis masyarakat yang mengalami itu berkali-kali dan
dapat mengartikan “hujan akan segera turun”. (bahasa alam)
Sedangkan
menurut John A. Walker semiotika adalah “ilmu yang mengkaji tentang
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Definisi tersebut
menjelaskan relasi yang tidak dapat dipisahkan antara sistem tanda dan
penerapannya di dalam masyarakat. Oleh karena tanda itu selalu ditempa
di dalam kehidupan sosial dan budaya, maka jelas keberadaan semiotika
sangat sentral di dalam cultural studies. Tanda tidak berada di ruang
kosong, tetapi hanya bisa eksis bila ada komunitas bahasa yang
menggunakannya. Budaya, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai bangunan
yang dibangun oleh kombinasi tanda-tanda, berdasarkan aturan tertentu
(code), untuk menghasilkan makna.
Tanda
di dalam fenomena kebudayaan mempunyai cakupan yang sangat luas, di
mana selama unsur-unsur kebudayaan mengandung di dalam dirinya makna
tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan dapat menjadi objek kajian
semiotik. Apakah itu pola tingkah laku seseorang, pola pergaulan,
penggunaan tubuh, pengorganisasian ruang, pengaturan makanan, cara
berpakaian, pola berbelanja, hasil ekspresi seni, cara berkendaraan,
bentuk permainan dan objek-objek produksi, semuanya dianggap sebagai
tanda dan produk bahasa ( John A. Walker 2010: xxii ).
Menurut
kami, lebih plural tentang arti tanda dari John A. Walker, karena
mengisyaratkan tentang respon dari indra seseorang yang ditimpa stimulus
apapun bisa berarti sebuah tanda. Bahkan hal terkecilpun memiliki
potensi besar berupa makna. Namun, keragaman makna di sini berlaku
ketika adanya sebuah komunitas bahasa yang menyetujui tentang berbagai
tanda yang disepakati dan mempunyai legitimasi aturan-aturan tentang
pemaknaan tersebut. Begitu juga sebaliknya ada kekuatan personal orang
yang mampu memaknai berbagai tanda, akan tetapi orang lain tidak mampu
bahkan tidak menyetujui akan makna dari perseorangan tersebut, itu tidak
berlaku dalam sebuah analisa dan tidak bisa diwujudkan dalam kehidupan
luas.
Maka
dari itu sebuah tanda tertentu yang dapat memberikan makna harus
diteliti dan dibuktikan dalam sebuah praktek meskipun artikulasi itu
tidak nampak atau tidak riil wujudnya. Dari interpreter ke interpreter
selanjutnya harus jelas dalam memaknai, sehingga dengan sendirinya
makna-makna yang akan membudaya secara automatic menyatu dalam sebuah
wadah budaya dan disepakati. Contohnya adalah kultur barat yang dahulu
merayap menggunduli budaya luhur dan saat ini menggunduli dirinya
sendiri dan idealisme budaya Indonesia digantikan dengan budaya
Kapitalisme. Tanpa terasa luka itu bertambah parah menggerogoti
kesejahteraan rakyat hidup dengan layak. Ini semua berawal dari tanda
yang dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang
pada akhirnya menjadi budaya baru yang memiliki arti tersendiri bagi
masyarakat Indonesia yang disebut modern. Cara-cara berpakaian,
konsumerisme, cara berpikir liberal tak bermoral, dan lain sebagainya
bisa dinamakan tanda-tanda budaya barat yang dimaknai modern oleh
masyarakat Indonesia.
Karena
pengertian semiotika adalah sistem tanda yang berelasi dalam pemaknaan,
maka yang pertama akan kami bahas adalah karakteristik tanda ( Arbitrer
).
Karakteristik Tanda ( Arbitrer )
Bahasa, dalam perspektif semiotika ( 2011: 66 ),
hanyalah salah satu sistem tanda-tanda (system of signs). Dalam
wujudnya sebagai suatu sistem, pertama-tama, bahasa adalah sebuah
institusi sosial otonom, yang keberadaannya terlepas dari
individu-individu pemakainya. Bahasa merupakan seperangkat konvensi
sistematis, produk dari kontrak kolektif, yang bersifat memaksa.
Saussere ( dalam Kris Budiman 2011: 66 ) menyebutnya sebagai lengue.
Kedua, bahasa tersusun dari tanda-tanda, yakni entitas fisik, yang di
dalam bahasa lisan berupa citra-bunyi (sound image), yang berelasi
dengan konsep tertentu. Selanjutnya, Saussere menamakan entitas
material-sensoris ini sebagai penanda (signifier atau signifiant) dan
konsep yang berkait dengannya sebagai petanda (signified atau signifie).
Masih menurut Saussure, tanda-tanda, khususnya tanda-tanda kebahasaan,
setidak-tidaknya memiliki dua buah karakteristik primordial, yakni
bersifat linear dan arbitrer.
Karakteristik
pertama, linearitas penanda ( linear nature of the signifier ),
berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus
diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara
sekaligus atau simultan.
Artinya, penanda tersebut bersifat linier karena “pendengaran penanda
memiliki perintah mereka hanya dimensi waktu.” Ini “merupakan sejengkal,
dan rentang yang dapat diukur dalam dimensi tunggal” - yaitu
waktu. Saussure says that linguistic signs are by nature linear, because
they represent a span in a single dimension. Auditory signifiers are
linear, because they succeed each other or form a chain. Visual
signifiers, in contrast, may be grouped simultaneously in several
dimensions (tanda-tanda linguistik secara alami linear, karena mereka
mewakili rentang dalam dimensi tunggal. Penanda pendengaran adalah
linear, karena mereka berhasil satu sama lain atau membentuk
rantai. Penanda visual, sebaliknya, dapat dikelompokkan secara bersamaan
dalam beberapa dimensi).
Karakteristik
kedua, kearbitreran tanda (the arbitrary nature of the signs),
bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan petanda yang
“semena-mena” atau “tanpa alasan”—tak bermotivasi (unmotivated). Relasi
di antara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi
(Kris Budiman 2011, 66). Selanjutnya Seassure di
kesempatan yang lain mengatakan bahwa bahasa lisan mencakup komunikasi
konsep melalui suara-gambar dari pembicara ke pendengar. Bahasa adalah
produk komunikasi pembicara dari tanda-tanda untuk pendengar. Tanda
linguistik adalah kombinasi dari konsep dan suara-gambar. Konsepnya
adalah apa yang ditandakan, dan suara-gambar penanda. Kombinasi
signifier dan signified adalah sewenang-wenang, yaitu, suara apapun
citra dibayangkan dapat digunakan untuk menandakan sebuah konsep
tertentu. Namun, terkadang ada perubahan-perubahan dalam hubungan
signifier dan signified dan perubahan tanda-tanda linguistik berasal
dari perubahan kegiatan sosial.
Tanda-tanda
arbitrer disebut secara khusus oleh Pierce, sebagai simbol (symbol)
(Kris Budiman 2011: 66). Oleh karena itu, dalam terminologi Pierce,
bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda
yang membentuknya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, Hewan
yang menggonggong dikatakan anjing oleh orang Indonesia dan dog oleh
Inggris. Masing-masing bangsa itu sungguh “semena-mena” dalam menamakan
hewan yang menggonggong tadi.
Di dalam tatanan
budaya itu ‘bermacam area kehidupan sosial terlihat dipetakan ke dalam
wilayah diskursif, wilayah itu secara hierarkis terorganisasi menjadi
pemaknaan-pemaknaan yang dominan atau yang disukai’. Karena tatanan
budaya itu tidak tunggal dan bukannya tidak dipersoalkan, maka pemaknaan
yang disukai menjadi bisa dijamin. Tapi karena tatanan itu dominan,
maka tatanan itu pastilah mendukung suatu keseimbangan probabilitas,
sebab tatanan itu menguntungkan bagi beberapa pembacaan-pembacaan yang
bersifat pribadi varian. Seperti contoh di atas
jika kata anjing disepakati oleh masyarakat internasional untuk
menamakan hewan menggonggong, maka akan kesulitan bagi mereka yang sulit
mengucapkan kata anjing. Jadi ada kesewenang-wenangan dalam memaknai
dan menamai tanda gonggong itu dimiliki oleh anjing bagi orang
Indonesia, begitu juga di seluruh dunia yang tidak sama menamai hewan
menggonggong. Tetapi “perspektif selektif” hampir tidak pernah secara
seselektif, seacak, dan sepribadi apa yang dikatakan oleh konsepnya.
Namun, dalam
masalah peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena
Saussure dan Pierce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk
menunjuk kepada konsep yang sama sekali bertolak-belakang. Menurut
terminologi Pierce, simbol adalah tanda arbitrer, sementara Saussure
sebaliknya, dan mengatakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang tidak
sepenuhnya arbitrer. Kerancuan ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa
saja yang belajar semiotika agar senantiasa waspada dan tidak sembrono
dengan terminologi dan konsep-konsep karena nyaris setiap pemikir dan
“selebriti” semiotika menggunakan istilah yang sama atau hampir sama,
namun pengertiannya bisa berbeda sama sekali. Akan tetapi terlepas dari
kerancuan konseptual tersebut, boleh dikatakan bahwa hampir sepanjang
riwayatnya linguistik dan semiotika terlampau menekankan pada
konvensionalitas atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan
karakteristik tanda yang sebaliknya—seolah-olah bahasa tidak mungkin
berkarakteristik ikonitas menurut Saussure yang menurut Pierce menaruh
perhatiannya terhadap masalah ikonitas.
Begitu peliknya masalah yang dihadapi dalam artikulasi serat memaknai
tanda-tanda menurut Saussure dan Pierce. Meskipun keduanya hidup
bersamaan di zamannya, namun mereka tidak pernah saling kenal dan
bertemu. Akan tetapi para murid-muridnya mencoba merangkum apa yang
dimaksudkan oleh Saussure dengan linguistik dan Pierce mengatakan dengan
nama lain dari semiotika adalah Logika atau permainan logika.
Perkembangan yang semakin menunjukkan eksitensi tentang semiotika
berkaitan dengan pemaknaan tanda. Kami akan mencoba menjelaskan apa yang
dimaksud dengan ikon dan ikonitas yang merupakan tanda-tanda
non-atbitrer menurut Pierce.
Ikon dan Ikonisitas
Bagi Pierce, ikon
termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon merupakan
sebutan bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut Pierce, Ikon
adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat
kemiripan (Sobur, 2004:41). Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang
memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman, 2005:45). Ikon,
jika ia berupa hubungan kemiripan (Nurgiyantoro, 1995:45).
Ikon merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity) atau “keserupaan” (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut (Budiman 2011: 69). Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas.
Ikonisitas
merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam
semiotika. Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro
tersenyum manja dengan bibir merah basah merekah sedikit terbuka dalam
bungkus sabun, wajah Hitler pada kaos kita, atau gambar group band
Peterpan dalam poster (ketiganya adalah ikon Images). Betapa
terpolusinya kehidupan kita dengan tanda ikonis, tetapi kadang tidak
terpikirkan.
Di dalam bahasa,
kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis, misalnya kata ku ku
ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya, yaitu Ayam Jago.
Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek suara yang
diacunya.
suatu tanda,
atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi
seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada
seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain
yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda
yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang
pertama. Tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam
segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang
kadang saya sebut sebagai latar dari representamen (Budiman, 2011: 73).
Pierce, menyusun
tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan
konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang
dinamakannya sebagai simbol (Budiman, 2011: 69). Tipe-tipe ikon itu misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora (metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign)
yang ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di
antara objek-objek dari dua tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan
similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat.
Contoh ikon
metafora : Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan
objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia
(atau hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah
dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung.
Di ambil dari http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/metodelogi-penelitian-komunikasi-analisis-isi-wacana-semiotika-framing-kebijakan-redaksional-dan-analisis-korelasional/ pada 13.42 WIB Minggu, 11 Maret 2012
http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/12/semiotika-ikon-dan-ikonisitas-pierce/
pada 13 Maret 2012 pukul 12.56 WIB, dalam (Budiman, Kris.
2005. Ikonisitas: Semiotika Sastra Dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku
Baik).
http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/12/semiotika-ikon-dan-ikonisitas-pierce/
pada 13 Maret 2012 pukul 12.56 WIB, Sobur, Alex. 2003. Semiotika
Komunikasi. Bandung: Rosda., Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas: Semiotika
Sastra Dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik
http://bahasa.kompasiana.com/2012/02/12/semiotika-ikon-dan-ikonisitas-pierce/
pada 13 Maret 2012 pukul 12.56 WIB, dalam (Budiman, Kris.
2005. Ikonisitas: Semiotika Sastra Dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku
Baik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar