ILMU MANTIQ DAN PERKEMBANGANNYA
September 13, 2008 oleh sastrasantri
Bagi bangsa Yunani -dan bahkan bangsa di seluruh dunia-,
Aristoteles adalah ikon rasionalitas. Dia adalah peletak dasar cara
berpikir yang tersusun dalam premis-premis, dan kemudian ditarik sebuah
konklusi. Apa yang dilakukan Aristoteles ini disebut logika. Bangsa
Yunani yang dahulu diliputi dengan dunia mitos, seakan tercengang dan
terhipnotis dengan karya Aristoteles. Posisi Aristoteles sebagai guru
Alexander (putra raja Macedonia, Philip) dan guru filsafat di sekolah
yang didirikannya di Athena, the Lyceum, menjadikan pemikirannya banyak
dikenal di tengah-tengah masyarakat Yunani. Sampai pada tingkatan
tertentu, logika Aristoteles mendapatkan tempat yang sangat prestis
khususnya dalam dunia pengetahuan. Logika Aristoteles telah mampu
merapikan ‘muntahan ide’ Plato yang terabadikan dalam “dialog”nya.
Pemikiran-pemikirannya mampu menghegemoni rasionalitas bangsa Yunani,
bahkan seolah-olah menutup bayang-banyang dua filsuf besar sebelumya,
Socrates dan Plato. Maka, tak berlebihan jika orang Yunani menganggap
Aristoteles sebagai Tuhan dan Dewa rasionalitas. Jargon rasionalitasnya
mampu meluluhkan ilmuwan pada zamannya demi mengungkap hakekat sebuah
kebenaran.Rasionalitas dalam ilmu akan selalu
diagungkan seperti halnya demokrasi dalam politik. Logika akan terus
berkembang dan mengambil peran yang sangat relevan terhadap segala
perkembangan yang ‘tidak mutlak’, terlebih ketika menemukan hal baru
yang butuh penalaran. Dalam teorinya, Aristoteles selalu melakukan
pendekatan rasional. Hal ini tercermin dari setiap karyanya. Bahkan alam
semesta, menurutnya, tidak dikendalikan oleh hal-hal yang serba
kebetulan. Gerakan alam semesta ini tunduk pada hukum-hukum rasional.
Pengamatan empiris dan landasan-landasan logis harus dimanfaatkan dalam
mempertanyakan setiap aspek dunia secara sistematis. Dengan ‘dogma’
inilah budaya Eropa mulai bergerak dari hal-hal yang beraromakan mistik
dan takhayul menuju rasio.
Perumusan logika oleh Aristoteles dan dijadikannya sebagai dasar ilmu
pengetahuan secara epistemologi bertujuan untuk mengetahui dan mengenal
cara manusia mencapai pengetahuan tentang kenyataan alam semesta -baik
sepenuhnya atau tidak- serta mengungkap kebenaran. Akal menjadi sebuah
neraca, karena akallah yang paling relevan untuk membedakan antara
manusia dengan segala potensi yang dimilikinya dari makhluk lain. “ Wa
Ja’ala Lakum al-Sam’a wa al-Abshâr wa al-Af`idah” ( QS: 67 Ayat 23).
Oleh Ibnu Khaldun kata “af`idah” bermakna akal untuk berfikir yang
terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, akal yang memahami esensi di luar
diri manusia secara alami. Mayoritas aktifitas akal di sini adalah
konsepsi (tashawwur), yaitu yang membedakan apa yang bermanfaat dan apa
yang membawa petaka. Kedua, akal yang menelorkan gagasan dan karya dalam
konteks interaksi sosial. Aktvitas akal di sini adalah sebagai
legalitas (tashdiq) yang dihasilkan dari eksperimen. Sehingga akal di
sini disebut sebagai akal empirik. Dan ketiga, akal yang menelorkan ilmu
dan asumsi di luar indera, lepas dari eksperimen empirik atau yang
biasa disebut “akal nazhari”. Di sini konsepsi (tashawwur) dan legalitas
(tashdiq) berkolaborasi untuk menghasilkan konklusi.
Definisi logika sebagai ilmu untuk meneliti hukum-hukum berpikir
dengan tepat harus mempunyai titik pembenaran tentang kebenaran itu
sendiri. Maka ahli mantik dalam hal ini mencapai sebuah konklusi, yaitu
ketika sebuah pernyataan sesuai dengan kenyataannya maka itu benar dan
pernyataan yang didasarkan pada koherensi logis adalah benar, karena
kekuatan pikir kita sebatas kebenaran yang kita ketahui. Pikiran yang
tidak didasarkan pada kebenaran tidak memiliki kekuatan. Jika aklamasi
mengarah kepada logika adalah representasi dari segala kebenaran
pengetahuan, maka akan timbul pertanyaan ‘ke-independensian’ logika,
apakah termasuk dari bagian sebuah pengetahuan atau hanya sebagai
‘kacung’ ilmu pengetahuan? Stoicisme mengklasifikasikan ilmu menjadi
tiga tema besar, yaitu metafisika, dialektika dan etika. Dan dialektika
adalah logika. Maka mereka lebih cenderung memasukkan logika sebagai
bagian dari Filsafat. Berbeda dengan Ibnu Sina (1037 M.) dalam bukunya
al-Isyârât wa al-Tanbîhât yang memisahkan logika sebagai ilmu independen
sekaligus sebagai pengantar. Dalam hal ini, Al-Farabi (950 M.) juga
berpendapat bahwa mantik adalah Ra’îs al-‘Ulum yang independen.
Keterpengaruhan mantik arab dengan neo-platonisme dan Aristoteles sangat
jelas jika dilihat dalam hal ini, karena essensi dari pada logika itu
sendiri adalah ketetapan hukum untuk mengetahui sesuatu yang belum
diketahui. Dan sejatinya tidak ditemukan perbedaan yang mendalam, hanya
dari sisi pandangnya saja yang membuat seakan berbeda.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu menjadi dua; pertama ilmu
murni-independen (‘ulûm maqshûdah bi al-dzât) seperti ilmu syari’at yang
mencakup ilmu tafsir, hadits, fikih dan kalam, dan ilmu filsafat yang
mencakup fisika dan ketuhanan. Kedua, ilmu pengantar (âliyah-wasîlah)
bagi ilmu-ilmu murni-independen, seperti ilmu bahasa Arab dan ilmu
hitung sebagai pengantar ilmu-ilmu syari’ah, dan mantik sebagai
pengantar filsafat. Pengkajian terhadap ilmu pengantar hendaknya hanya
sebatas kapasitasnya sebagai sebuah alat bagi ilmu independen. Karena
jika tidak demikian, ilmu alat atau pengantar tersebut akan keluar dari
arah dan tujuan awal, dan bisa mengaburkan pengkajian ilmu-ilmu
independen. Pembahasan panjang lebar terhadap ilmu pengantar inilah yang
banyak dilakukan oleh ulama khalaf. Dalam perkembangan selanjutnya,
hanya ilmu independenlah yang dapat disebut sebagai ilmu. Sedangkan ilmu
perantara bukan disebut ilmu. Terlepas dari ilmu atau bukan, bisa
dikatakan tujuan sebenarnya mantik atau logika bukanlah sebagai peletak
hukum berpikir melainkan berpikir untuk memperoleh kebenaran, yang salah
atau yang benar.
Logika dan Perkembangannya
Dalam dunia ilmu, argumen dipakai sebagai penguat gagasan. Setiap
argumen dapat diuji keabsahannya dengan logika. Maka, untuk mewujudkan
argumen yang baik dan benar perlu menguasai logika. Dalam pembacaan ini,
penulis sedikitnya telah menggunakan perumusan logika yang diusung
Aristoteles sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan
baru yang berupa dialektita atau logika. Karena korelasi sebuah
pernyataan dan jawaban yang logis akan dapat dibuktikan dengan rumusan
tersebut. Kesalahan penyimpulan ditemukan ketika tidak menggunakan
hukum, prinsip dan metode berpikir. Berangkat dari upaya pencarian
kebenaran tersebut ilmuwan Yunani seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles semakin gencar untuk merumuskan perangkat metode berpikir
yang rasional.
Logika dalam perkembangannya mengalami berbagai fase. Bentuk logika
formal yang ada dewasa ini adalah perwujudan kolaborasi antara pakar
klasik dan modern. Tapi pionir logika formal yang sebenarnya adalah
Aristoteles, meskipun dalam pengertian yang berbeda dengan logika formal
modern. Pada hakekatnya logika tidak terpisah dari materi, yang pada
awalnya merupakan sebuah pemahaman sehingga akan mewujudkan ‘thing’
(sesuatu). Tetapi pakar modern mengawali dari sesuatu sehingga akan
muncul pemahaman. Makna awal logika Yunani adalah kalam yang kemudian
dimaknai sebagai akal, pikiran dan burhan. Baru sekitar abad ke-2 M
bangsa Arab mengadopsinya dan diterjemahkan sebatas segi bahasa yaitu
kalam dan talaffud tanpa menghubungkannya dengan makna sebenarnya yang
digunakan di Yunani ketika itu. Susunan logika Aristoteles yang sudah
tertata rapi disertai peninggalan karya-karyanya dalam jumlah yang
banyak dapat dikatakan sebagai salah satu faktor berkembangnya logika
Aristoteles ke dunia Arab. Sejarahpun mencatat, banyak karya Aristoteles
telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Syria, Arab, Persia dan
India. Maka tak heran jika metode Aristoteles sangat ‘heboh’ merasuki
hampir di segala cabang ilmu pengetahuan.
Ada enam tema besar dalam mantik Aristoteles yaitu, “Categoria Seu
Praediecamenta” (al-Maqqûlât), “Perihermenias Seu de Interpretatione”
(al-‘Ibârah), “Analytica Priora” (al-Tahlîlât al-Ulâ), “Analytica
Posteriora” (al- Tahlîlât al-Tsâniyyah), “Topica, Seu De Locis Communis”
(al-Jadal), “De Sophisticis Elenchis” (al-Safsathâ’i). Seiring dengan
perkembangan mantik di dunia Arab, logika banyak mengalami perubahan,
yaitu dari yang enam menjadi sembilan; ‘Isagog’ (madkhal), ‘Retorika’
(al- Khithâbah), ‘Potikia’ (al- Syi’r). Sembilan tema besar itulah yang
banyak berkembang di dunia Arab. Bahkan al-Khawarizmi dalam bukunya ”
Mafâtîh al-‘Ulûm” juga mengklasifikasikan mantik ke dalam sembilan tema
tersebut. Lain halnya dengan al-Farabi dalam “Ihshâ` al-‘Ulûm” yang
tidak mengkategorikan ‘isagog’ (madkhal) sebagai bagian dari mantik.
Sejarah mengisahkan tentang perkembangan ilmu berawal dari
penerjemahan gede-gedean yang diprakarsai Khalifah Al-Ma’mun (masa
penerjemahan terhadap karya pemikir Yunani dimulai pada masa Khalifah
al-Mansur) dari Dinasti Abbasiyah. Ketika itu, Al-Ma’mun bermimpi
bertemu dengan Aristoteles. Perbincangan mereka mengarah bahwa sumber
kebenaran adalah akal. Segera Al-Ma’mun mengirim delegasi ke Roma guna
mempelajari ilmu yang banyak berkembang dan tersimpan, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Yahya bin Khalid bin Barmak adalah
‘Sang Hero’ pada masa itu, karena dia telah berhasil membujuk bahkan
membebaskan karya para intelektual Yunani dari genggaman Romawi. Hal
yang ditakutkan oleh Raja Romawi dari karya para intelektual Yunani
adalah ketika buku-buku tersebut dikonsumsi oleh rakyatnya dan mulai
tersebar maka agama Nasrani kemungkinan besar akan ditinggalkan, dan
kembali pada agama Yunani. Ilmu asing yang diadopsi Arab
diklasifikasikan oleh Khawarizmi berjumlah sembilan cabang ilmu, dan
mantik adalah salah satu di antaranya. Adalah Ayyub bin al-Qasim al-Raqi
yang menerjemahkan Isagog dari bahasa Suryani ke Arab yang pada awalnya
telah diadopsi dari Madrasah Iskandaria.
Pindahnya Madrasah Alexandria ke Syria membawa banyak pengaruh dalam
dunia pengetahuan. Penertiban dan penyusunan ketika itu menjadikan
logika sebagai pedoman dan ilmu dasar dalam bidang astronomi, kedokteran
dan kalam yang berkembang pesat di Arab sekitar abad IX-XI M. Sarjana
Islam mulai proaktif dalam mengembangkan ilmu yang bernafaskan sains,
termasuk Ibnu Sina (1037 M.), seorang filsuf muslim yang juga dokter dan
Abu Bakar al-Razi yang mengawali pembukuan ilmu kedokteran dan farmasi.
Ibnu Rusyd (1198 M.) kemudian ikut andil dalam mengkolaborasikan logika
Aristoteles dengan ilmu Islam termasuk filsafat dan nahwu. Al-Ghazali
juga mulai mengkolaborasikan mantik dengan ilmu kalam pada periode
selanjutnya. Maka jika kita telisik kembali dalam perjalanan sejarah,
lewat orang-orang muslimlah dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya
dan kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen dari Timur mempunyai
pengaruh penting dalam pola berpikir manusia sehingga mengembangkan
metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir baik secara deduktif dan
induktif.
Rasionalitas Eropa Klasik-Modern
Perkembangan logika Barat berawal dari masalah teosentris yang sangat
berbalik arah dengan perkembangan mantik di Arab-Islam. Pertemuan
pemikiran Aristoteles dengan iman kristiani menghasilkan banyak pemikir
dan filsuf penting. Mereka sebagian besar berasal dari dua ordo baru
yang lahir dalam abad pertengahan, yaitu Dominikan dan Fransiskan.
Aliran ini dinamai sebagai filsafat Skolastik (dari kata Latin
“scholasticus” yang berarti “guru”). Tema-tema pokok dari ajaran mereka
antara lain hubungan iman-akal budi, eksistensi dan hakekat Tuhan,
antropologi, etika dan politik. Mereka berusaha untuk memperlihatkan
bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Dan
pada masa ini filsafat diajarkan di sekolah-sekolah biara serta
universitas mengikuti kurikulum tetap yang bersifat internasional.
Berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia Islam, sebagaimana pendapat
Ibnu Rusyd (1198 M.) bahwa filsafat dan agama mempunyai persamaan, yaitu
sama-sama melaporkan prinsip-prinsip wujud tertinggi dan mempunyai
tujuan puncak yaitu kebahagiaan manusia. Dalam tataran ini Siger de
Brabant menyatakan bahwa agama lebih benar dari pada akal, karena
betapapun itu, akal hanyalah akal, yang tidak dapat melampaui posisi
agama. Adapun filsafat, laporannya lebih bersifat persuatif sedangkan
agama lebih ke imajinatif.
Pengaruh rasionalitas Aristoteles terhadap peradaban Eropa secara
periodik terbagi tiga, yaitu pada permulaan abad Masehi (sekitar abad
ke-2 dan ke-3 M.), kemudian pada pertengahan abad (sekitar abad ke-13
hingga abad ke-16 M.) dan akhir abad ke-19 M. Yang perlu ditekankan di
sini, bahwa otoritas gereja pada pertengahan abad sangat menghegemoni
hampir semua wilayah Eropa dengan mengusung etika rasional sebagai titik
tolak pemikiran. Sehingga wahyu Tuhan seakan dipaksakan untuk memasuki
wilayah akal. Nah, hal inilah yang menimbulkan perpecahan dalam gereja.
Mulai abad ke-12 M, gereja mulai menerjemahkan karya sarjana Muslim yang
berpusat di Spanyol dan Napoli. Orang Yahudi ketika itu banyak
mempelopori penerjemahan kitab kedokteran, logika, matematika, astronomi
dan filsafat. Buku filsafat pertama yang diterjemahkan adalah al-Syifa’
karya Ibnu Sina (1037 M.) yang sangat melegenda kemudian mulai
melebarkan sayap terhadap karya Al-Farabi dan Al- Kindi. Pengadopsian
karya-karya tersebut didukung dengan hadirnya Madrasah Paris yang sedang
naik daun sekaligus mendapat ‘restu’ dari Raja Philip dan Agustus.
Penyelaman terhadap karya sarjana muslim tidak berjalan mulus bahkan
mendapatkan penyangkalan dan pembantahan dari pihak gereja yang masih
fundamentalis. Karena banyak berlawanan dengan hasil konsensus gereja,
maka secara resmi gereja mengeluarkan pelarangan dan pemboikotan
terhadap karya Aristoteles pada tahun 1210 M. Maka, langkah selanjutnya
yang diambil adalah menerjemahkan karya Aristoteles langsung dari buku
Yunani, dan hal itulah yang banyak membantu Thomas Aquinas dalam
pembaruan gereja. Di sinilah awal permulaan terbaginya madrasah Eropa
menjadi empat pusat keilmuwan, yaitu madrasah Agustine, Dominika,
Rasional Latin dan Oxford.
Pada hakekatnya relasi mantik dan filsafat tidak akan terpisahkan,
karena ‘berfilsafat’ harus menggunakan akal sehat dengan melepas
subjektifitas. Sedangkan agama dasar utamannya adalah kekuatan iman,
bukan akal. Pergolakan iman Kristiani banyak tercabik-cabik dalam
pertengahan abad pertama, yaitu dengan munculnya asumsi gereja yang
menyatakan tidak adanya filsafat dalam agama karena itu sangat mustahil.
Melihat tujuan utama agama nasrani adalah “fikratul khallash”, yang
menurut sebagian tokoh gereja tidak ada sangkut-pautnya dengan filsafat.
Dalam tataran ini, Ludwig Feurbach sependapat dengan keputusan gereja.
Berbeda dengan pemikiran Agustine yang banyak menghubungkan wilayah
agama dan rasionalitas. Dalam bukunya “De Civitate Dei” dikatakan bahwa
filsafat Kristen adalah cinta akan kebenaran, dan kebenaran merupakan
‘kalimah’ yang menyatu dalam tubuh al-Masih. Maka dalam argumen
selanjutnya, Agustine tidak mengakui otoritas wahyu, karena nasrani
adalah agama yang rasional. Agustine sedikit menjelaskan korelasi antara
rasionalitas dan iman, bahwa fungsi akal mendahului iman (Ratio
antecedit fidem) guna menjelaskan nilai-nilai kebenaran dalam akidah,
sedangkan tujuan iman mendahului akal (Credo ut intelligam) hukumnya
wajib agar akal digunakan untuk memikirkan akidah. Dan dari sini dapat
ditarik benang merah bahwa tujuan hakiki filsafat adalah bukan berpikir
untuk berakidah, melainkan berakidah untuk berpikir. Hal ini sangat
berlawanan dengan pernyataan Thomas Aquinas (1274 M.), bahwa berpikir
merupakan titik pemberangkatan untuk berakidah. Pemisahan rasionalitas
dengan agama juga menjadi bahasan utama oleh Dr. Zaki Najib Mahmud,
sejatinya agama berangkat dari wahyu disertai nash-nash ilahiyah yang
terjaga, maka ketika membahas ‘rasionalitas agama’ lebih ditujukan
kepada proses penalaran yang berangkat dari agama. Nash agama selalu
bersifat tunggal, tetapi nash yang berangkat dari penalaran agama akan
bervarian selaras dengan perbedaan segi pandangan akal terhadap agama.
Pergulatan sejarah mengisahkan zaman Renaissance adalah yang
menjembatani perkembangan rasionalitas dari abad pertengahan ke era
modern sekitar tahun 1400-1600 M. dengan tokoh utama Francis Bacon
(1562-1626 M.), Nicollo Machiavelli (1469-1527 M.). Mereka mulai menguak
kebudayaan klasik Yunani-Romawi kuno yang dihidupkan kembali dalam
kesusastraan, seni dan filsafat. Jargon utamanya adalah “Antroposentris”
ala mereka, pusat perhatian pemikiran tidak lagi wilayah kosmos,
melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap sebagai titik
fokus dari kenyataan.
Descartes sebagai filsuf, matematikawan dan ilmuwan Prancis abad
pertengahan (1596-1650 M.) memberikan sebuah elaborasi pernyataan yang
berlawanan filsafat klasik tetapi justru mengembangkan. Sebuah
pertanyaan klasik “apakah asal-muasal pengetahuan manusia itu?”
diselaraskan dengan pertanyaan “bagaimana saya tahu?” adalah hepotesa
aktif yang menuntut akal untuk proaktif dalam melihat sesuatu. Pengaruh
besar yang dicetuskan Descartes adalah pemahaman tentang fisik alam
semesta, bahwa seluruh alam -selain Tuhan dan jiwa manusia- bekerja
secara mekanis. Oleh karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan
dari sebab musabab mekanis. Atas dasar inilah dia menolak pandangan
astrologi, magis dan takhayul, yang berarti juga menolak penjelasan
teologis. Dia berpendapat seharusnya para ilmuwan menjauhkan diri dari
hal-hal yang bersifat semu dan harus menjabarkan dunia secara matematis.
Dia menyusun suatu sistem filsafat dengan metode matematika.
Perkembangan baru muncul lagi di abad ke-18 M., yang biasa disebut
masa enlightment atau Aufklarung, yang mulai menciptakan suatu sintesis
dari rasionalisme dan empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke
(1632-1704 M.), di Prancis Jean Jacque Rousseau (1712-1778 M.) dan di
Jerman ada Immanuel Kant (1724-1804 M.). Atas dasar rasionalisme,
empirisme dan idealisme, Barat sampai saat ini mempunyai banyak aliran
filsafat, yang kebanyakan hanya berkutat pada satu negara dan
kebudayaan.
Nalar Arab- Islam
Terdapat banyak versi kapan mulainya penerjemahan dari Yunani ke
Arab. Ada yang mengatakan bahwa penerjemahan itu terjadi pada masa
kekuasaan Daulah Bani Umayah, ada juga yang berpendapat pada awal Daulah
Abbasiyah. Al-Syahrastani sepakat bahwa mantik lebih dulu memasuki
wilayah Arab sebelum zaman penerjemahan, yang berarti sebelum abad ke-8
M. Proses penerjemahan terhadap karya filsuf Yunani didukung oleh upaya
ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah asing. Namun, mantik dalam masa
ini belum menemukan perkembangan pesat, bisa jadi keadaan sosial
masyarakatnya memang belum butuh atau aksi pencekalan oleh ulama salaf
yang begitu menghegemoni. Sebagian dari ahli sejarah mengatakan, bahwa
ilmu mantik mulai masuk ke dalam pemikiran Arab pada abad ke-7 M ketika
masa penerjemahan Khalifah Ma’mun.
Menurut Deboura, belum tersebarnya mantik secara meluas disebabkan
karena hilangnya beberapa dokumentasi terjemahan buku-buku mantik
sebelum abad ke-8 M. Tetapi pendapat ini banyak disangkal oleh sejarawan
lain, karena justru pada masa sebelumnya telah muncul ilmu nahwu yang
banyak berdialog dengan mantik. Bahkan ulama nahwu dari Basrah ketika
itu mendapatkan julukan ahli mantik, karena dalam metodenya banyak
menggunakan rasio. Hal tersebut sangat didukung oleh kondisi sosial
politik Basrah yang terus berkecamuk, sehingga aksi perlawanan dan
pertentangan dari tiap kelompok tak dapat dihindari. Akibatnya, mantik
digunakan sebagai senjata perlawanan untuk adu argumentasi. Nah, hal ini
sangat berbeda dengan ulama Nahwu Kufah yang cenderung kurang
rasionalistik.
Dalam riwayat al-Qadli al-Sha’id al-Andalusi (1070 M./462 H.)
dijelaskan, bahwa Ibnu Muqaffa’ (760 M./142 H.) diyakini sebagai
penerjemah awal ilmu mantik. Ia telah menerjemahkan tiga buku karya
Aristoteles yaitu, Categorias, Pario Hermenais, Analytica, serta
Eisagoge karya Porphyry. Hunain bin Ishaq, salah satu ahli bahasa, juga
berpartisipasi dalam menerjemahkan berbagai disiplin ilmu Yunani ke
dalam bahasa Arab. Bahkan Ishaq juga ikut menerjemahkan dari bahasa
Suryani. Dalam buku Thatawwur Mantiq al-Araby dijelaskan, sekitar tahun
800 M. adalah awal penerjemahan buku-buku Yunani, hingga wafatnya murid
dan kerabat Hunain bin Ishaq, karena mereka banyak membantu proses
penerjemahan.
Organon adalah kitab pertama yang diterjemahkan ke Arab. Orang-orang
Nasrani ketika itu juga banyak membantu dalam proses penerjemahan, yang
secara tidak langsung pemikiran Aristoteles berkembang biak tidak hanya
dalam kedokteran, astronomi dan matematika melainkan mulai menyentuh
wilayah teologi Kristen. Maka, dari sini mulai terjadi perbedaan dalam
penertiban ilmu antara filsafat Suryani dan Nasrani. Sejak saat itu,
mantik menjadi pemeran utama dalam ilmu kedokteran dan mulai berkembang
dalam bahasa Arab sekitar abad ke-9 hingga abad ke-11 M. yang
diprakarsai oleh Yahya bin Musawiyah, spesialis penerjemah ilmu
kedokteran dari Yunani ke Arab. Apalagi didukung dengan hadirnya
madrasah di Jundisapur (Persia) yang mengawali pelatihan penerjemahan
dari teks Yunani pada awal abad pertama yang akhirnya berpindah ke
Bagdad. Maka tak bisa dipungkiri lagi, bahwa dari sinilah lahir sarjana
muslim yang berkompetensi tinggi untuk mengenalkan mantik dalam ilmu
keislaman, sebut saja Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Razi,
Al-Ghazali dst.
Berawal dari ilmu kedokteran, astronomi serta kimia, Al-Kindi mulai
memberanikan diri untuk menerjemahkan filsafat Yunani yang sekaligus
mendapat persetujuan dari Khalifah al-Ma’mun (850-873 M). Kemudian
mantik mulai berdialektika dan mempengaruhi disiplin ilmu Islam lainnya,
termasuk nahwu. Mantik dalam hal ini digunakan sebagai rumusan metode
dalam pengambilan hukum gramatikal bahasa, terlebih lagi dalam hal
silogisme. Pada saat yang bersamaan, ilmu kalam juga mulai merayap dan
terus berkembang di tangan Qadariyah, baru diwariskan ke Mu’tazilah
sebagai titisan golongan rasionalis. Pertemuan umat Kristen dengan
logika menuntut cendekiawan muslim untuk lebih giat mempelajari mantik
sebagai upaya dalam menjaga teologi Islam.
Pada dasarnya logika Aristoteles telah hidup dalam budaya Arab kurang
lebih satu setengah abad. Penolakan terhadap filsafat termasuk logika
Yunani baru terjadi pada masa Imam al-Asy’ari abad keempat Hijriah.
Menurut beberapa penulis, penolakan yang sesungguhnya baru terjadi pada
masa al-Ghazali yang menulis bukunya Tahâfut al-Falâsifah pada
pertengahan kedua abad kelima Hijriah. Penolakan tersebut didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan teologis. Tetapi ada faktor-faktor
positif yang terdapat pada logika Yunani sehingga dapat diterima di
dunia Islam, di antaranya akurasi logika dan ilmu-ilmu matematika yang
memberikan kontribusi luar biasa dalam peradaban Islam. Akibatnya,
filsuf dan teolog muslim mempercayai akurasi dan kebenaran logika,
bahkan sampai memasuki wilayah ketuhanan (metafisika). Kekaguman akan
logika terjadi karena, dulunya, Islam yang hanya mengenal segi-segi
intuisi dan perasaan dalam mempertahankan akidah, kemudian mulai
beranjak menggunakan mantik dalam menguatkan sendi-sendi akidah Islam
sebagaimana disinggung al-Ghazali dalam bukunya, Al-Munqidz min
al-Dhalâl.
Logika Aristoteles memberikan perubahan besar dalam dinamika sosial
masyarakat Arab, terlebih dalam urusan administrasi negara serta dalam
sistem politik sekalipun. Mantik, pada masa itu juga digunakan sebagai
piranti tata letak kota, karena Islam sebagai negara sangat membutuhkan
sistem baru untuk maju. Tak hanya itu, ide-ide materialisme yang diusung
Aristoteles juga berperan dalam problematika pimikiran Arab-Islam,
meskipun kontradiksi dalam hal ini tidak dapat dinafikan. Peran logika
Aristoteles dapat disimpulkan dalam tiga hal; yaitu sebagai perangkat
praktis dan media berargumen yang marak dalam berbagai perdebatan
ideologi. Selanjutnya, mantik digunakan sebagai salah satu langkah
kesuksesan pola pikir Arab-Islam, sehingga dengan mantik peran akal
menjadi primer demi mencapai tingkat keyakinan. Dan terakhir, bahwa
logika dijadikan sebagai media (wasîlah) untuk menyatukan berbagai
ideologi dan pimikiran menuju hakekat Satu Yang Mutlak, yaitu sumber
kebenaran dan pengetahuan.
Perjalanan mantik Arab mengalami sedikit goncangan dari ulama klasik.
Bantahan dan sanggahan terhadap al-Kindi kala itu tak dapat dihindari.
Karena menurut mereka belajar filsafat sama halnya belajar sesuatu yang
menyesatkan. Parahnya, mereka mengklaim bahwa mempelajari filsafat dan
mantik adalah bagian dari perbuatan setan. Imam al-Syafi’i banyak
mengeluarkan hadist-hadist larangan terhadap pembacaan logika dan
filsafat. Salah satunya berbunyi “akan dianggap bodoh lagi diperdebatkan
bagi mereka yang mulai meninggalkan bahasa Arab dan berganti
mempelajari filsafat Aristoteles”. Padahal dalam fikih, Imam Syafi’i
banyak menggunakan metode eksplorasi (istiqrâ`) untuk mengambil
istinbath hukum. Ada pula riwayat yang berbunyi “barang siapa yang
mempelajari logika, maka disamakan dengan kaum zindiq”. Sejatinya, masih
banyak lagi nash- nash hadist lainnya yang menyatakan pelarangan
terhadap mantik dan filsafat, seperti yang sudah dikemas oleh Syeikh
Islam Ismail Harawi dalam periwayatannya.
Kecaman dan penolakan terhadap mantik berawal ketika Al-Mutawakkil
mulai menduduki kekhalifahan Abbasiyah (846 M/232 H). Penentang terbesar
terhadap pemikiran Yunani adalah golongan teolog Asy’ariyah terutama
Al-Ghazali (1059-1111 M). Perlawanan tersebut meluas dari wilayah timur
hingga barat. Namun barat Islam lebih terpengaruh akan hal ini karena
mayoritas bermadzhab Maliki yang tidak lain adalah salafi. Mantik dan
filsafat terus dikecam oleh doktrin ke-salafan, sampai pada akhirnya
muncul Ibnu Rusyd pemikir besar Islam yang berani melawan mainstream
tersebut dengan bukunya Tahâfut al-Tahâfut. Yang juga menjadi komentator
atas aliran Aristoteles –selain Ibnu Sina dan Ibn Rusyd- adalah
Suhrawardi dengan magnum opusnya “Hikmat al-Isyraq”, yang berisikan
kritikan terhadap aliran Paripatetik dan filsafat materialisme yang
dianut oleh aliran Stoicisme. Meskipun demikian, perlawanan terus
berlanjut bahkan sampai puncaknya pada abad ke-13 dan ke-14 M. Apalagi
setelah terbunuhnya filsuf muslim Sahruwardi pada akhir abad ke-12 M.,
muncul dua penentang papan atas yaitu, Ibnu Sholah (1244 M.) dan Ibnu
Taimiyah (1328 M.). Adapun Ibnu Taimiyah melakukan pemboikotan terhadap
buku-buku filsafat dan mantik, serta melontarkan predikat ‘kafir’
terhadap Ibnu Sina dalam bukunya “Majmu’ah Rasâ`il al-Kubrâ” (terbitan
Kairo, hal 138). Pada masa inilah, pengikisan mantik mulai terlihat.
Muncul setelahnya, abad ke-14 M. Imam Al-Dzahabi yang juga melakukan
perlawanan terhadap perjalanan filsafat dan mantik Yunani. Hal-hal
seperti itulah yang dilakukan ulama salaf guna membendung fitnah dalam
pentakwilan teks-teks suci al-Qur’an dan Hadist.
Dalam tataran praktis, asal-muasal masuknya mantik ke dunia Arab
melalui jalur kedokteran, dan berakhir ketika mencapai puncak relasinya
dengan ilmu kalam oleh Ghazali (al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd). Menurut Ibnu
Taimiyah, sarjana muslim pertama yang banyak berbicara logika serta
menghubungkannya dengan ilmu Islam lain adalah al-Ghazali, maka tak
heran jika ketika masuk abad ke-10 M., mantik sudah tidak dalam
bentuknya yang dulu (ala Yunani), melainkan mulai disusupi nilai-nilai
keislaman. Dialektika mantik dengan disiplin ilmu Islam lainnya semakin
tampak, bahkan ketika nahwu dikatakan sebagai ‘mantiknya’ bahasa, maka
mantik juga merupakan ‘bahasanya’ akal. Singkatnya, logika berperan
sebagai timbangan untuk memutuskan yang baik dan buruk.
Setelah runtuhnya Baghdad abad ke-11 M., Andalusia dijadikan sebagai
pusat peradaban keilmuwan kedua. Demikian pula yang terjadi dalam
mantik, berakhirnya madrasah Bagdad menjadikan mantik lebih dewasa,
artinya yang dipakai saat itu bukan lagi metode Aristoteles melainkan
diktat khusus karya Ibnu Sina. Terlihat dari abad-abad selanjutnya
sekitar ke-13 dan ke-14 M., karya Ibnu Sina lebih membumi dari pada
karya Aristoteles. Di sisi lain, sekitar 970-1030 M. muncul jamaah
Ikhawan al-Shafa dengan basis terbesarnya di Basrah. Dalam logika,
mereka mengikuti metode Aristoteles tetapi lebih condong kepada
Neoplatonisme, terlebih dalam pengertian tentang pitagoras. Banyak buku
mantik yang telah dihasilkan oleh para pendahulu mereka, khususnya
al-Farabi dalam mengkolaborasikan mantik Yunani dengan pemikiran Arab
Islam.
Perjalanan mantik mulai tersebar di Andalusia dan Persia dari abad
ke-12 hingga abad ke-13 M. dengan style baru yang mulai terbebaskan dari
filsafat. Ketika mantik dianggap hanya dibutuhkan dalam filsafat,
Al-Ghazali memberikan inovasi baru yaitu membawa mantik secara perlahan
memasuki wilayah kalam, nahwu, fiqh, ushul fiqh dan ilmu sosial. Karena
logika adalah perantara dalam segala hal, tidak hanya problem-problem
teologis dan filsafat saja. Sejak itu Al-Ghazali melegitimasi umat
muslim untuk mempelajari logika dalam kapasitasnya sebagai kewajiban
komunal (fardhu kifâyah). Terlebih lagi, buku-buku mantik karya Ibnu
Rusyd dan karya Fakhruddin al-Razi menjadi pedoman penting dalam kajian
mantik sekaligus menjadi rujukan bagi para sarjana muslim abad ini.
Upaya Ibnu Rusyd dalam mengeleminasi logika Yunani ternyata menuai hasil
yang tidak mengecewakan.
Relasi Mantik dengan Disiplin Ilmu Islam Lainnya
Al-Ghazali menyatakan bahwa teologi retoris sangat kering jika hanya
berkutat dengan logika tanpa menyentuh epistem demonstratif, sehingga
butuh sebuah upaya harmonisasi demi mencapai teologi yang mampu
menghilangkan skeptisisme. Mantik dalam pandangan al-Ghazali terbagi
dua, yaitu mantik Aristoteles yang mencakup segala pengetahuan kecuali
teologis, dan mantik “kasyfi” yang hanya mencakup masalah ketuhanan.
Tapi menurut Ibnu Khaldun, logika empirik (mantiq hissi) juga dapat
diklasifikasikan sebagai bagian dari mantik, yang mendasari problematika
kemasyarakatan. Dalam relasinya dengan ilmu kalam, al-Ghazali lebih
mengunggulkan metode analogi (qiyâs) daripada eksplorasi (istiqrâ’)
karena dianggap tidak dapat membenarkan teori ketuhanan, terwujud dari
ketidakseragaman antara dunia metafisis dan realita. Syahdan, ilmu Kalam
yang diusung al-Ghazali bukan dalam artian harfiahnya (yaitu:
pembicaraan), melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dan
menggunakan logika. Maka ciri khas ilmu kalam adalah rasionalitas atau
logika.
Ekspansi ilmu mantik dalam tataran teoritis tidak mengalami
perkembangan signifikan pada abad ke-13 hingga abad ke-14 M. Masa
setelah hadirnya Ibnu Rusyd dapat dikatakan sebagai masa melangsungkan
kembali kritikan-kritikan beserta ulasannya dari golongan rasionalis
sebut saja Al-Iji, Al-Thusi dan Sa’aduddin Al-Taftazani. Dalam beberapa
kurun waktu selanjutnya merupakan masa kritikan terhadap pemakaian
metode pikiran dalam memahami soal-soal akidah, salah satunya adalah
Ibnu Taymiyah, Ibnu Sholah, Ibnu Hazm, dan Ibnu Al- Qaym. Nah, baru
ketika beranjak ke abad selanjutnya perkembangan mantik berupa
penertiban materi yang sengaja diselaraskan oleh al-Tustari di kedua
madrasah abad pertengahan. Al-Taftazani dan Al-Jurjani juga turut andil
dalam memperjelas mantik. Maka standarisasi mantik telah sempurna
sekitar abad ke-15 M. sampai sekarang.
Laju perkembangan rasionalitas dalam kancah keilmuwan terlebih di
Arab Islam sangat pesat. Pola pikir tiap sekte dan aliran selalu
mengatasnamakan akal. Model penalaran al-Asy’ari dapat dikategorikan
sebagai ‘orthodox style’, karena lebih setia dengan teks suci agama
dibandingkan dengan mu’tazilah dan filsuf. Meskipun masih dalam
lingkaran Islam, tapi penalaran yang dipakai mu’tazilah dan filsuf
kebanyakan produk Yunani, sehingga mulai melakukan pendekatan ta’wil
atau interpretasi metaforis terhadap kalam Tuhan, yang mereka anggap
“mutasyabihât”. Nah, hal ini disebabkan kuatnya peranan unsur mantik
serta dialektika. Maka sistem ini dinamakan ilmu kalam atau teologi
rasional. Sebenarnya tidak hanya mu’tazilah dan filsuf saja yang
mengedepankan nalar, tapi al-Asy’ari pun menggunakan argumen dan
dialektika logis meskipun dalam tataran sekunder. Metodologi alAsy’ari
yang aristotelian dengan ciri rasional-deduktif rupanya paling
mendapatkan simpatisan, terutama sekali ketika dua abad kemudian
Al-Ghazali muncul dengan membawa kekuatan argumennya yang luar biasa.
Bisa disebut bahwa madzhab ini sebagai jalan tengah dari berbagai
ekstremitas. Praktis, semua titik-titik penting keagamaaan mereka dukung
dengan argumen dan dialektik yang logis, bahkan menjadi inspirator
orisinil bagi pemikiran keislaman. Sebagaimana pembahasan dalam teologi,
pusat argumentasi kalam al-Asy’ari berada pada upayanya untuk
membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dari
ketiadaan (ex nihilo) serta pembuktian adanya hari akhir dan malaikat.
Konsep ‘kasb’ termasuk salah satu teori yang diyakini pengikut
al-Asy’ari, karena pengolahan argumentasinya dinilai sangat logis.
Kajian fikih berkembang pada saat peralihan zaman Umawiyah ke zaman
Abbasiah, yaitu berdirinya “school of thought” oleh Abu Hanifah (699-767
M.) yang terbentuk dalam lingkungan Irak. Kekuatan politik untuk
menjabarkan penalaran ajaran Islam sangatlah riil, terlihat dari
ekspansi yang berimbas juga pada kodifikasi penalaran dalam setiap ilmu.
Analogi yang banyak digunakan madzhab ini adalah qiyas dan pertimbangan
kebaikan umum (istihsan). Kemudian Syafi’i meneruskan tema aliran
pemikiran gurunya Anas Ibnu Malik dan mulai mengembangkannya. Dalam
tataran ini, Syafi’i sangat berjasa dengan teori yang dirumuskannya,
sebagai dasar teoritis Sunnah dan pembentukan analogi atau qiyas sebagai
metode rasional untuk mengembangkan hukum itu. Sementara itu konsensus
ulama (ijma’) juga diterima Syafi’i sebagai bentuk kebiasaan masyarakat.
Maka, titik tolak fikih berkat Syafi’i ada empat yaitu Kitab Suci,
hadist Nabi SAW, ijma’ dan qiyas.
Dalam disiplin ilmu nahwu, mantik dengan analogi-nya sangat berperan
penting. Kecenderungan pemakaian qiyas seiringan dengan munculnya
gramatika dan kaedah bahasa, terutama oleh para ulama bahasa yang ada di
Bashrah. Mereka lebih memilih mengkiaskan dengan metode sima’i terhadap
dalil fasih yang mereka pakai untuk ber-istinbath. Ketelitian dalam
mengambil argumen merupakan ciri khas mereka, berbeda halnya dengan ahli
nahwu Kufah. Untuk menetapkan qiyas mereka tidak sepenuhnya selektif
terhadap dalil-dalil yang akan dipakai, hal ini bisa dikarenakan
keterpengaruhan pemikiran mereka dengan corak filsafat Persia yang lebih
mengutamakan logika akal dari pada dalil. Adapun faktor lainnya, yaitu
keterbatasan sumber-sumber dalil di samping letak geografisnya yang jauh
dari pusat keilmuan dan peradaban. Tidak hanya model qiyas yang
digunakan ahlu nahwu dalam pengambilan hukum, karena ternyata teori
illat atau apologi juga banyak difungsikan.
Jika diruntut dari awal perkembangan mantik, sudah berapa cabang
keilmuan yang telah disisipi kekuasaan logika? Bahkan sampai kepada
pengetahuan yang bertendensi iluminasi atau intuisi sekalipun, hal ini
membuktikan bahwa peran akal beserta rumus-rumusnya akan selalu
dibutuhkan meskipun ada beberapa hal yang dapat berjalan tanpanya.
Tasawuf sebagai disiplin ilmu irasional, dalam beberapa halnya-pun
menggunakan teori dan asas logika. Politik, sosial, kedokteran,
aritmatika, dan masih banyak disiplin ilmu lain yang pasti membutuhkan
aturan berpikir untuk mencapai sebuah kebenaran yang dituju. Namun,
kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya relatif, sedangkan agama kebenaran
yang dituju adalah sebuah kebenaran mutlak.
Epilog
Itulah sekelumit proses berpikir manusia, sebuah perjalanan panjang
dalam rangka merelevansikan diri terhadap peradaban manusia yang tak
kunjung usai. Bahwa rasional sejatinya irasional, karena bertolak dari
sebuah pengandaian yang tidak dapat terpenuhi. Yaitu, segala sesuatu
pastinya dapat dimengerti seseorang. Sikap rasionalis mencerminkan
seseorang suka akan tantangan. Dikatakan seperti itu, sebab dia harus
benar-benar memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya. Berbeda dengan
irasionalis, yang menolak tantangan semata- mata karena keyakinan. Lawan
rasionalisme adalah fedeisme, yaitu sebuah sikap yang membatasi diri
pada iman, akal dan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap penggunaan
nalar manusia tidaklah perlu. Sekalipun, mereka juga tidak menyadari
bahwa kemampuan manusia untuk bernalar merupakan ciptaan Tuhan.
Dengan sebuah historitas, mungkin kita akan sedikit mengetahui bahwa
hantaman dan pengikisan mantik pada abad pertengahan adalah problematika
terbesar, yang bahkan sama sekali tidak terpikirkan oleh Aristo sendiri
sebagai pencetak awal logika. Dan yang patut dihargai adalah upaya
akselarasi-akselarasi oleh ulama Islam sebelum di bawa ke Barat, yang
setidaknya menjadikan metode ini mulai diterima. Bisa jadi perihal
tersebut juga sedikit melegakan Aristoteles, bahwa ternyata masih ada
pembela-pembela intelektual terhadap karyanya yang terseok-seok melawan
arus peradaban terutama oleh para agamawan.
Kompleksitas yang dipresentasikan akal akan bertaut kelindan sampai
suatu masa yang tak terbatas, boleh jadi akan menuju pada sebuah
kesempurnaan misteri, bahkan sebaliknya. Tetapi apapun itu, akal
tetaplah akal, yang telah menyumbangkan peradaban besar dari sejengkal
langkah manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar