Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana,
Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan Menurut Michel Foucault”.
17 Juni 2010
| (3191 view)
Oleh : HARTOYO
Pertemuan sebelumnya disampaikan oleh Gadis Arivia, 5 Juni 2010 di
tempat yang sama dengan mengupas pemikiran Simone de Beauvoir tentang
tubuh perempuan, konsep liyan (yang lain) dan etika sosial.
Haryatmoko sendiri adalah seorang pastor sekaligus dosen filsafat di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta selain itu mengajar di beberapa
universitas di Indonesia.
Menurut Romo Moko (begitu panggilangan
akrab Haryatmoko), Foucault ini meyampaikan konsep hubungan pengetahuan
dan kekuasaan. Kalau Simone de Beauvoir menekankan bahwa penindasan
terjadi ada pihak yang menganggap pihak lain dengan the other—sebagai
sub ordinat.
Sedangkan Foucault menjelaskan bahwa untuk melakukan
penindasan dibutuhkan pengetahuan untuk menguasai pihak yang ditindas.
Menurut Foucault melalui pengetahuan maka lahirlah kekuasaan, yang
akhirnya dapat digunakan untuk menguasai pihak lain. Sehingga
pengetahuan menjadi “saudara kembarnya”. Tidak ada kekuasaan tanpa
pengetahuan, begitu juga tidak ada pengetahuan tanpa melahirkan
kekuasaan.
Michel Foucault adalah seorang philosof Perancis,
lahir pada 15 Oktober 1926 di Poitiers, Perancis sedang wafat pada 25
Juni 1984 di Paris.
Selama hidupnya ia memberikan sumbangsih soal konsep
hubungan kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasan menurut Foucault tidak
selalu negatif. Kekuasaan justru dapat menjadikan sesuatu yang
produktif. Misalnya seseorang yang kritis dan mempertanyakan semua
aturan justru lahir dari dampak pengetahuan dan kekuasaan yang
represif/otoriter.
Kemudian kekritisan itu melahirkan pemikiran baru
tentang pengetahuan dan kekuasaan yang baru pula. Foucault menjelaskan
bahwa dengan adanya kekuasaan maka akan menimbulkan resistensi
perlawanan.
Sehingga resisten dalam bentuk perlawanan itu justru lahir
dari kekuasaan itu sendiri.
Penelitian Michel Foucault dalam bukunya yang terkenal Sejarah Seksualitas
jilid I-III, kekuasaan adalah sebuah rezim yang dapat melakukan
kontrol, menguasai pihak lain. Pengontrolan itu sampai pada wilayah yang
paling pribadi atau intim, yaitu tubuh. Tubuh yang menjadi objek
kekuasaan bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang dapat tunduk
dengan kekuasaan tersebut. Sehingga tujuannya akhirnya untuk menciptakan
manusia yang produktif sesuai dengan aturan kekuasaan tersebut.
Kemudian
kekuasan dan pengetahuan itu dijustifkasi melalui berbagai lembaga
resmi, misalnya agama, negara, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Misalnya
lembaga agama melahirkan pengetahuan tentang (dosa-pahala, fatwa
haram-halal), negara (kebijakan tentang kriminal-non kriminal) dan ilmu
pengetahuan (ilmiah-tidak ilmiah).
Kemudian masyarakat mengikuti
aturan-aturan itu.
Dalam konteks ini ukuran kebaikan dibangun
atas wacana (pengetahuan) yang akhirnya mengatur gerak-gerik tubuh
manusia (seksualitas). Contoh yang paling mudah sekarang negara
melahirkan sekitar 137 peraturan daerah yang mengatur bagaimana
sebaiknya perempuan berpakaian dan bertindak. Serta larangan kelompok
homoseksual.
Selama ini telah dibangun wacana bahwa setiap
hubungan seksual diperuntuhkan untuk prokreasi (meneruskan keturunan),
dalam bingkai perkawinan yang sah, antara laki-laki dan perempuan
(heteroseksual). Maka semua yang diluar itu dianggap amoral, kotor,
layak untuk dihujat dan dikriminalkan oleh negara. Yang termasuk amoral
itu seperti kelompok gay, lesbian, biseksual, waria, hubungan sex diluar
pernikahan, pelaku onani dan masturbasi.
Mengapa Video porno
yang mirip artis itu begitu dihujat dan dinistakan oleh media dan
masyarakat? Salah satu alasanya karena dilakukan di luar lembaga
pernikahan yang tujuannya untuk rekreasi (kesenangan belaka). Maka
dianggap sebagai tindakan yang amoral dan pendosa. Namun penilaian itu
adalah produk pengetahuan yang berasal dari lembaga kekuasaan yang ada
dalam masyarakat. Masih banyak lagi contoh-contoh kekuasaan yang
dibentuk atas tubuh sebagai alat kontrol, misalnya program Keluarga
Berencana (KB) dan larangan aborsi. Itu semua tujuannya untuk
kepentingan ekonomis dan atas nama moral dari pemegang kekuasaan.
Cara-cara kontrol atas alat-alat reproduksi ini disebut dengan bio-politik.
Kalau
dilihat dari tren sekarang ini, menurut Komnas Perempuan, tujuan dari
Perda-Perda Diskriminatif itu untuk membangun politik pencitraan
penguasaan kepada rakyat. Agar dikatakan sebagai pemimpin yang bermoral.
Padahal tindakan untuk mensejahterakan rakyat dan memberantas korupsi
tidak sama sekali dilakukan secara maksimal.
Jika dikaitkan
dengan isu kelompok homoseksual, kapan pengetahuan dan kekuasaan itu
bekerja? Kita tahu sekarang ini ilmu psikologi dan psikiater
mengeluarkan homoseksual sebagai penyimpangan seksual atau bukan
gangguan jiwa. Para psikologi dan psikiater seluruh dunia pada tahun
1975 sepakat mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Artinya
sebelumnya homoseksual masih digolongkan sebagai penyakit atau gangguan
jiwa. Artinya dalam konteks ini pengetahuan (ilmu psikologi/psikiater)
membangun wacana yang akhirnya punya kuasa untuk menentukan mana yang
sakit dan mana yang tidak, mana yang meyimpang dan mana yang normal.
Sehingga
dalam konteks ini, kelompok homoseksual kenormalannya diatur dan
ditentukan oleh pengetahuan psikolog dan psikiater. Apakah akan
dimasukan dalam penyakit atau bukan! Ini yang dimaksud oleh Foucault
sebagai pengetahuan yang membentuk kuasa atas tubuh. Akibatnya dengan
dikeluarkan homoseksual sebagai penyakit maka diseluruh dunia khususnya
para medis harus “tunduk” dengan aturan itu. Disinilah pengetahuan dan
kuasa itu bekerja.
Kemudian bagaimana kelanggengan kekuasaan itu dibangun? Menurut Romo Haryatmoko melalui suatu sistem yang disebut Sistem Panoptik. Sistem panoptik
ini adalah satu yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1719) tujuannya
untuk melakukan pengawasan terhadap pihak yang diawasi. Pola kerja
pengawasan dilakukan dengan diskontiyu (tidak terus menerus) tetapi
berdampak secara kontinyu (terus menerus). Bentuk pengawasan ini
tujuannya untuk menghasilkan ketaatan yang secara permanen tetapi kecil
sumberdaya yang digunakan. Panoptik bisa saja menjadi efektif dan
ekonomis tetapi juga bisa menjadi buruk dampaknya. Misalnya ajaran agama
bahwa setiap saat Tuhan selalu melihat apa yang dilakukan umatnya, ini
adalah salah satu contoh sistem panoptik yang dilakukan oleh
lembaga agama. Sehingga dengan cara itu mengakibatkan umat harus berbuat
baik selalu kepada yang lain karena Tuhan diyakini selalu mengawasi.
Ini contoh hal yang positif dalam sistem panoptik bekerja.
Sistem panoptik
sendiri juga banyak diterapkan dalam perusahaan ataupun lembaga
pendidikan, seperti infeksi mendadak pemimpin perusahaan kepada
bawahannya. Kemudian kasus pemeriksaan video di hand phone siswa yang
meyimpang gambar atau video porno. Cara-cara seperti tidak selalu
dilakukan tetapi membuat karyawan perusahaan dan siswa sekolah menjadi
“ketakutan” atau merasa diawasi oleh pemimpin atau gurunya.
Kalau Sistem panoptik
terus menerus dilaksanakan, maka akhirnya akan menginternalisasi dan
menghasilkan kepatuhan pada pihak yang diatur. Disinilah hubungan sistem panoptik dengan pelanggengan pengetahuan dan kekuasaan itu.
Begitulah
sumbangsih pemikiran Michel Foucault yang penulis pikir sampai sekarang
masih relevan untuk dibahas dan dikaji dalam konteks Indonesia yang
penuh politik pencitraan.
http://salihara.org/community/2010/06/17/video-porno-pengetahuan-kekuasaan-dan-pemikiran-michel-foucault
Tidak ada komentar:
Posting Komentar