Tuhan yang Selalu Mrucut dari Genggaman
oleh ANAS HIDAYAT*
Judul Buku: Semiotika Tuhan; Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan
Penulis : Audifax
Penerbit : Pinus, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : 148 halaman
“Tuhan tidak akan bisa dimengerti dengan pemahaman kacamata kuda”,
demikian salah satu pernyataan penting Audifax yang tertuang dalam buku
ini. Memang, sudah sejak lama Tuhan menjadi obyek pemahaman manusia di
muka bumi, paling diakrabi tetapi sekaligus paling misterius, paling
dikenali tapi selalu penuh rahasia di baliknya. Sejak jaman prasejarah
dengan peninggalan cap tangan di goa-goa kuno serta peninggalan
megalithik yang magis hingga megahnya Hagia Sophia di Turki dengan
menara mengarah langit, menunjukkan bahwa manusia tak pernah henti
meretas jalan untuk mencari, memahami dan memuja entitas ilahiyah yang
lebih agung dari dirinya itu. Dengan buku ini, Audifax berusaha untuk
menggelitik kesadaran kita bahwa Tuhan bukanlah sebuah konsep pemahaman
yang sudah final, melainkan selalu dalam proses pencarian yang tanpa
akhir. Maka seakan terjadi paradoks, mereka yang merasa paling memahami
Tuhan, justru sangat mungkin malah tidak tahu apa-apa tentang Tuhan,
nah!
Buku ini menawarkan semiotika sebagai cara untuk membaca Tuhan.
Semiotika yang sering diartikan sebagai ilmu tentang tanda, telah
merubah jalur filsafat modern ke arah filsafat bahasa yang erat
kaitannya dengan dunia penafsiran dan pemahaman. Dalam perkembangan
semiotika awal, didominasi oleh perintis strukturalis seperti Ferdinand
de Saussure dan Charles Sanders Pierce yang melihat dunia lewat
struktur-struktur tanda yang cukup rigid (kokoh) antara penanda/signifier dan petanda/signified.
Lalu muncullah aliran poststrukturalis yang mulai mengguncang
struktur-struktur yang mapan, dengan pembacaan yang disebut
dekonstruksi. Dekonstruksi mulai diperkenalkan oleh Martin Heidegger dan
diradikalkan oleh si filsuf jenius Jacques Derrida, yang mempertanyakan
kembali seluruh tradisi filsafat Barat karena terjebak pada
logosentrisme untuk mencari kebenaran hakiki. Menurut Dekonstruksi, hal
itu (mencari kebenaran hakiki) tak akan mungkin berhasil, karena teks
adalah sebuah kemungkinan yang kebenarannya akan selalu tertunda dan
berbeda (differance). Sehingga Tuhan, sebagai sebuah teks yang
dibaca, juga merupakan sebuah kemungkinan yang selalu terbuka terhadap
penafsiran baru dari jaman ke jaman.
Dengan ilmu tafsir-menafsir inilah, atau biasa disebut hermeneutika,
Audifax memulai delapan diskusinya tentang pemahaman Tuhan. Dia
memulainya dengan “Tuhan Semesta dan Tuhan Sejarah”, di mana seringkali
terjadi tarik-ulur antara pemahaman legitimasi Tuhan ala agama-agama
besar yang menyejarah dan pemahaman Tuhan semesta yang melihat Tuhan
sebagai Being/Ada yang penuh teka-teki. Tuhan sebenarnya selalu
menyapa tiap manusia dengan cara-Nya sendiri yang misterius, Dia ada di
alam, di dalam diri kita, di mana saja, bahkan di ujung debu jalanan.
Kita pun bisa mendekati-Nya dengan berbagai macam cara sesuai
perkembangan kedewasaan cara bertuhan kita. Kemudian dalam “With or Without You”,
Audifax menjabarkan bahwa manusia tetap dihadapkan pada kenyataan
hidup, meskipun dia percaya pada Tuhan atau tidak. Jadi, sebenarnya
manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya, jangan sampai Tuhan
dijadikan kambing hitam atas kegagalan kehidupan.
Diskusi selanjutnya tentang kebutuhan manusia akan hero. Sejak dulu, manusia menciptakan tokoh-tokoh hero
dalam legenda yang terus berlangsung hingga sekarang, semenjak Hercules
hingga Harry Potter. Demikian pula agama-agama, memunculkan hero-nya sendiri seperti nabi, rasul atau orang suci. Tapi, hero-hero itu bukan pemecah masalah hoc hic et nunc (ini, di sini, sekarang), manusia itu sendiri yang harus menjalani dan memutuskan, hero
hanyalah inspirator untuk menumbuhkan semangat dan harapan ke masa
depan. Dalam “Hiperealitas Tanah Terjanji”, penulis seakan mengingatkan
agar manusia tidak hanyut oleh janji-janji surga terlalu mendalam,
sehingga lupa dengan kehidupan dan kenyataan real di depan mata. Diskusi
yang paling provokatif mungkin yang bertajuk “Biarkan Tuhan
Beristirahat dalam Damai”, dengan melakukan re-interpretasi sabda
Friederich Nietzsche: God is dead. Tuhan yang selama ini selalu
diseret-seret dalam pertengkaran antar madzhab, peperangan antar agama
dan berbagai macam bencana yang diatasnamakan Dia, sudah selayaknya
diistirahatkan. Manusia harus mulai menumbuhkan kepecayaan dirinya untuk
memperbaiki kehidupannya ke arah yang lebih baik.
Buku ini sangat bagus sebagai wacana pencerahan untuk memahami Tuhan, mungkin sekaligus sebagai shock therapy
bagi orang-orang yang masih “kaku” pengertiannya tentang agama dan
Tuhan. Dan agaknya Audifax juga tidak mengingkari landasan
dekonstruksinya dengan membiarkan teks diskusinya tetap terbuka bagi
pembaca. Tanpa kesimpulan dan kesepakatan akhir, justru membuka peluang
untuk diskusi lebih lanjut dan membiarkan pembaca mencari dan
menafsirkan definisi Tuhannya sendiri-sendiri. Lebih hebat lagi kalau
pembaca mulai berani “mengistirahatkan” Tuhannya, dalam arti
menanggalkan hasrat untuk merasa paling tahu dan paling sahih tentang
Tuhan, lalu bersikap lebih arif dalam mencari jejak kebenaran.
Namun, di bagian prolog ada bahasan yang sedikit “meloncat”, sehingga timbul gap
(jarak) yang agak mengganggu. Ketika membahas tentang “daya” dan
“kehendak’ yang begitu mengasyikkan untuk dicerna dan diimajinasikan,
tiba-tiba harus dilanjutkan dengan teori semiotika yang berbau tektbook,
sehingga eksplorasi perenungan dan pemikiran yang sudah mulai tumbuh
seperti terputus. Alangkah baiknya jika bahasan tentang daya dan
kehendak tersebut diletakkan setelah teori dasar filosofisnya, sekaligus
sebagai pengantar sebelum bagian diskusi agar runtutan pemahaman
pembaca dalam diskusi tentang Tuhan bisa kontinyu dan tidak terputus.
Bagaimana pun juga, Semiotika Tuhan ini tetap menjadi pustaka
yang sangat berharga bagi mereka yang menyukai diskusi lintas-agama dan
Ketuhanan. Di saat kita mengalami krisis multi-dimensi yang
kadang-kadang disertai pertengkaran dan kekerasan dengan mengatasnamakan
Tuhan, buku ini menawarkan sebuah renungan untuk membaca kembali Tuhan
kita yang selama ini sudah kita lembagakan (atau hanya kita simpan di
lemari) sebagai kebenaran akhir. Jika kita memahami benar siapa Tuhan,
maka semoga tidak akan ada lagi permusuhan dan kerusuhan yang dipicu
oleh kekuasaan yang “memperalat” Tuhan. Tuhan adalah sebuah kemungkinan,
dan kita memilih kemungkinan yang membuat kehidupan semakin damai,
semakin menghargai manusia lain, pendapat lain dan keyakinan lain, jauh
dari nafsu ingin menang sendiri.
Tuhan memang tidak bisa kita genggam, dia akan selalu mrucut (lepas) dari genggaman, lalu kita genggam lagi dan pasti mrucut
lagi, demikian seterusnya. Atau meminjam kata-kata Amir Hamzah:
bertukar tangkap dengan lepas. Begitulah Tuhan, dan tampaknya manusia
tak pernah jera untuk terus mencari-Nya, entah sampai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar