EPISTEMOLOGI BAYANI, ‘IRFANI, BURHANI ‘ABID AL-JABIRI
By, Burhani Abid Al Jabiri- A. Pendahuluan
Belakangan, nama Muhammad Abed al-Ja>biri>, seorang pemikir
kontemporer asal maroko, kiranya tidak asing lagi bagi kita. Khususnya
setelah karyanya hadir untuk menyerukan “kritik nalar Arab”. Kajiannya
ini merupakan refleksi dari kegelisahan terhadap kegagalan atas
kebangkitan Arab Islam, di mana tradisi masih dijadikan “prinsip dasar”
untuk berpijak dalam era kontemporer ini. Sehingga, apa yang
al-Ja>biri> lakukan adalah mencoba untuk merekonstruksi pemahaman
itu.
Makalah ini akan memberikan penjelasan bagaiaman al-Jabiri[1]>
membangun pemikirannya, berangkat dari tradisi yang lampau untuk
dijadikan pijakan guna membangun pemikiran –kritik nalar- yang baru.
- B. Proyek Kebangkitan (Arab) Islam: Kritik Nalar Arab
Keterkaitan antara proyek kritik nalar Arab dan kebangkitan terjadi pada dua tataran. Pertama, kritik nalar lahir dari refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam; kedua, ia
juga sekaligus menjadi upaya awal untuk merealisasikan upaya
kebangkitan tersebut. Artinya, kritik nalar Arab, di satu sisi dilatari
oleh keprihatinan atas kegagalan Islam dan di sisi lain terdapat ambisi
untuk mewujudkannya.
Al-Ja>biri> kemudian mencoba merealisasikan itu. Ia
mengemukakan bahwa factor utama yang menyebabkan kegagalan Islam adalah
karena upaya kebangkitan itu menyimpang dari mekanisme kebangkitan yang
semestinya. Al-Ja>bir> berkeyakinan bahwa mekanisme kebangkitan
diawali dengan seruan berpegang kepada tradisi atau tepatnya kembali
kepada “prinsip-prinsip dasar”. Tetapi ini bukan dalam pengertian
menjadikan “prinsip dasar” dari masa lalu sebagai landasan kebangkitan
yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi sebagai dasar melakukan
kritik terhadap masa kini dan terhadap masa lampau yang lebih dekat,
kemudian melopat ke masa lampau. Prinsip-prinsip dasar dari masa lalu
yang jauh itu kemudian ditafsirkan dalam bentuk yang sesuai dengan
nilai-nilai baru.[2]
Proyeksi ini meniscayakan penggunaan tradisi (prinsip-prinsip dasar)
sebagai sandaran untuk melakukan kritik dan melampauinya, bukan sebagai
sebuah tradisi yang beku dan statis.
Dengan demikian, proyek kritik nalar Arab Islam adalah sebuah upaya
untuk merekonstruksi tradisi (prinsip-prinsip dasar) dengan melakukan
pembacaan dan pensikapan dengan melakukan penulisan ulang terhadap
sejarah untuk membatasi kekuatan dan otoritasnya serta memulihkan
historisitas dan relatifitasnya dengan merekonstruksi sturktur dan
jalinan unsur-unsurnya. Di samping itu, dengan melakukan kritik
tersebut, al-Ja>biri> hendak menempatkan tradisi dalam konteks
historisnya dengan segala keterbatasan dan relatifitasnya. Dari sana,
memungkinkan menemukan aspek-aspek tradisi yang memiliki dinamisme dan
progresifitas yang layak dijadikan landasan untuk membangun masa depan.[3]
Dari sinilah al-Ja>biri> mengenalkan rekonstruksi pemikirannya
terhadap tradisi dengan proses pembentukan nalar Arab, sehingga sampai
kepada kajian terhadap proses trilogy formasi epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani.
- C. Epistemologi Bayani, ‘Irfani, Burhani dan Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Keagamaan
- Epistemologi Bayani
Menurut al-Ja>biri> bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks Arab (nas}s}), secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidla>l).
Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan dan
mengaplikasikannya langsung tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung
berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang mentah, sehingga
memerlukan tafsir dan penalaran lebih mendalam. Meski demikian, hal ini
bukan berarti akal dan nalar atau rasio dapat bebas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi tetap bersandar pada teks.[4]
Epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses
transmisi teks dari generasi ke generasi, sampai kepada wilayah tafsir, fiqh, ushul fiqh, dan
lain-lain. Puncaknya adalah ketika Syafi’i menjadi tolak ukur
metodologi dalam ranah syari’ah. Adapun metode berpikir yang diusung
oleh Syafi’i adalah bertolak dari teks al-Qur’an dan berusaha
memahaminya dalam ruang operasionalnya sendiri, yang mana nalar Arab
pada masa Nabi dan sahabat itu bergerak.[5]
Baya>ni, bila ditinjau dari segi historis kemunculannya, ia terbagi menjadi dua: pertama, kaedah atau dasar-dasar menafsirkan titah (khita>b),
kata interpretasi atau penafsiran dikembalikan pada masa Nabi di saat
para sahabat menafsirkan makna-makna dan ibarah-ibarah yang ada dalam
al-Qur’an, atau paling tidak pada masa khulafa’ al-ra>syidi>n, di saat umat bertanya kepada para sahabat tentang persoalan umat yang sulit dipecahkan. Kedua, syarat-syarat produksi titah/ khit}a>b, tema
yang berhubungan dengan retotika, yang jelas ini muncul bersamaan
dengan munculnya aliran politik dan perbedaan kalam setelah kejadian ‘tah}kim’, di mana saat itu terjadi perdebatan yang bersifat “kala>m sebagai saran penyebarluasan, memperoleh kemenangan, bantahan, dan permusuhan.[6]
- Epistemologi ‘Irfani\
Dalam menerjemahkan kata ‘irfa>n, kita dihadapkan dengan dua makna kata yang serupa tapi tak sama. Yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Yang kedua adalah “Gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada “Gnostisime”.[7]
‘Irfani> merupakan kelanjutan dari baya>ni, akan tetapi kedua pengetahuan ini berbeda satu sama lain. Baya>ni mendasari pengetahuannya kepada teks, sedangkan ‘irfani> mendasari pengetahuannya kepada kas\f, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh/karena Tuhan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak
diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati
nurani yang suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan.[8]
Adapun cara kerja ‘irfani> adalah proses pemahaman yang berangkat makna sebuah teks menuju lafaz} teks tersebut. Persoalannya bagaimana mengungkap makna atau dimensi batin yang diperoleh dari proses kas\f tersebut?. Al-Jabiri> mengemukakan bahwa makna tersebut bisa terungkap pertama, dengan menggunakan cara apa yang disebut qiya>s ‘irfa>ni, yaitu analofi makna batin yang diungkap dalam kas\f kepada makna z\a>hir yang ada dalam teks.[9]
Dengan demikian, kendati pun proses pengetahuan ‘irfa>ni
terletak pada aktivitas akal, yakni pada proses intuitif, akan tetapi
proses pengetahuan ini dituntun oleh rambu-rambu al-Qur’an dan hadis.
Ini dapat dilihat dari bagaimana proses pengungkapan makna dari sebuah
teks.
- Epistemologi Burhani
Burhani> lebih mendasari dirinya pada kekuatan rasio, akal,
yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya
bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Hal ini
ditegaskan oleh al-Ja>biri> bahwa burha>ni menghasilkan
pengetahuan melalui prisnsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya
yang telah diyakini kebenarannya. Di samping itu, dalil-dalil logika
tersebut memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang
masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah tas}awwur dan tas}di>q. Tas}awwur adalah
proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedangkan
tas}di>q adalah proses pembuktian terhadap kebenaran atau konsep
tersebut.[10] Penjelasan tersebut kiranya “sah” apabila penulis sebut sebagai pandangan umum dari epistemologi burha>ni yang
dikemukakan ‘Abid Al-Ja>biri>. Namun sebelum itu, baik kiranya
apabila penulis menjelaskan secara singkat proses masuknya akal dalam
Islam.
Al-Ja>biri> mengemukakan bahwa masuknya akal dalam Islam
berawal dari kegandrungan khalifah al-Ma’mun terhadap filsafat yang
dalam hal ini adalah filsafat Aristoteles. Berawal dari mimpi al-Ma’mun
dimana ia bertemu dengan Aristoteles.[11]
Mimpi itu membincangkan “apa yang disebut kebaikan?”. Dalam mimpi itu
dijelaskan bahwa ada tiga cara mengetahui kebaikan: akal, syara’, dan jumhur yang dalam ranah epistemologis disebut ijma’. Dari
itu dapat dinyatakan bahwa tidak ada sumber pengetahuan lain kecuali
ketiga sumber yang telah disebutkan di atas. Selain itu, tujuan dari
penerjemahan buku-buku filsafat oleh al-Ma’mun dijadikan strategi baru
untuk menentang aliran Gnostisisme Al-Manawiyah dan ‘irfan Syi’ah,
yakni menggunakan Aristoteles dalam kerangka strategi umum dengan
tujuan menanamkan akal –akal universal- agar menjadi rujukan dalam
menyelesaikan perselisihan reigius-ideologis.[12]
Seiring dengan perjalanannya, perjuangan al-Ma’mun untuk menghadapi
“ketersingkiran akal” seperti diusung oleh Almanawiyah dan Syiah,
mendapat ‘acungan jempol’ atau penguatan dari ulama, semasanya, yaitu
al-Kindi (185-252 H). Ia gencar melakukan propaganda untuk menentang
Almanawiyah dan Syiah Batiniyah lewat tulisan-tulisannya yang berbentuk
ringkasan-ringkasan kajiannya tentang ilmu filsafat murni (yang sama
sekali terlepas dari unsur Helenestik), di mana ringkasan tersebut
membahas pandangan ilmia rasional terhadap alam dan manusia dengan
memberikan penghargaan terhadap “rasionalitas agama” Arab.
Ringkasan-ringkaan tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran Aristoteles
pada umumnya dan sistem pengetahuan yang mendasarinya yang berlawanan
dengan sistem pengetahuan ‘irfani, sistem yang bergerak dari yang
terindera kepada yang ternalar, dari konkrit kepada abstrak dan
berpegang kepada pengalaman alamiah dan pengetahuan umum dan bukan
pengalaman sufistik-psikologis.[13]
Oleh sebab itu, pergumulan wacana tentang masuknya akal dalam
kebudayaan Arab Islam bukan persoalan yang gampang, karena hal ini
meniscayakan terjadinya perang wacana maupun ideologi-politik, yakni
berhadapan dengan kebudayaan nalar Arab yang di satu sisi menganut
Gnostisisme sebagaimana dianut kelompok Almanawiyah dan Syiah Batiniyah,
yang diperangi oleh kelompok filsafat Islam yang diusung pertama kali
oleh al-Ma’mun dan dikuatkan oleh pemikiran-pemikiran al-Kindi mengenai
filsafat Islam.
Perbincangan ini belum berhenti sampai di sini. Al-Ja>biri>
mengemukakan bahwa kajian al-Kindi terkait filsafat Islam –menganut
filsafat Aristotelian- dirasa belum sempurna. Al-Jabiri mengatakan:
“al-Kindi telah menggali kembali Aristoteles sebagai seorang ahli
ilmu kealaman, hampir secara sempurna, namun ia tidak merambah wilayah
logika khususnya bagian “al-Burhan”. … al-Kindi sedikit sekali menyinggung burhan, karena ia terikat dengan bayan, dan sibuk dengan upaya menentang ‘irfan dan
mengabaikan filsafat politik karena ia berfilsafat karena tujuan
politik; artinya ia berfilsafat untuk menopang politik yang berkuasa,
politik “daulah al-‘aql” bayani Mu’tazili yang menaunginya.[14]
Dengan begitu, al-Ja>biri> mencoba memasukkan pemikiran al-Farabi tentang filsafat, yang sejatinya lebih concern terhadap wilayah burhan dan untuk menjembatani “kegagalan” al-Kindi dalam menjelaskan filsafat pada ranah burhani-nya.
Di sinilah al-Farabi hadir memberikan kontribusi keilmuwan yang lebih concern kepada
logika. Sebagai seorang pengkaji filsafat –bidang logika-, ia mampu
memahami logika Aristoteles dengan sempurna, dengan memahami titik-titik
penting yang ada di dalamnya, juga melihat bahwa logika bisa menjadi
sarana yang memungkinkan membatasi kekacauan pemikiran. Terlebih ia
menjelaskan fungsi sosial dari logika, yakni fungsinya pada tingkat
interaksi pemikiran dalam masyarakat. Dengan demikian, “jika perumusan
logika seccara keseluruhan menghasilkan aturan-aturan yang akan
meluruskan akal, mengarahkan manusia kepada jalan yang benar dan salah
dalam kategori yang memiliki kemungkinan terjadinya kekeliruan, maka
wilayah aksi (majal al-fa’aliyah) dari aturan-aturan ini
memberikan batas-batas “yang kita gunakan untuk mengoreksi apa yang ada
pada kita, mengoreksi apa yang ada pada orang lain, dan digunakan orang
lain untuk mengoreksi yang ada pada kita.[15]
Menurut al-Farabi, akal memiliki lima aktivitas: membuat ungkapan-ungkapan argumentatif (burhaniyah), pernyataan dialektis (al-aqaqil al-jadaliyah), pernyataan sophis (al-aqawil al-sufsut}aiyah), pernyataan retorik (al-aqawil al-khit}abiyah), dan ungkapan syair (al-aqawil al-syi’riyah).[16]
Kelima aktivitas akal ini selanjutnya dapat digunakan untuk menjawab,
menghilangkan perselisihan dan merealisasikan eksatuan pemikiran dalam
masyarakat, dengan cara menunjukkan kekacauan yang terjadi dalam
kehidupan pemikiran dalam masyarakat sebab mereka tidak mengenal dan
memahami logika.[17]
Dengan demikian, penjelasan-penjelasan di atas kiranya dapat memberikan gambaran bagaimana burhan atau
akal menjadi objek paling mendasar dan pokok dalam logika. Di samping,
bagaimana ia memiliki independensi untuk dijadikan tempat kembali bagi
perkara dan kondisi baru melalui analogi. Sebagaimana dikemukakan oleh
al-Farabi bahwa “akal tidak membutuhkan sumber, tidak membutuhkan ilham, atau
guru yang mentranfer pengetahuan. Ia mampu menopang dirinya sendiri
lantaran di dalamnya sudah terdapat “asumsi-asumsi dasar” (muqadda>t al-awa’il),
yakni prinsip-prinsip akal yang menjadi landasan bagi ilmu dan
diketahui secara niscaya. Prinsip yang menjadi titik permulaan dan titik
tolak dalam argumentasi (istidlal) dengan menyusun qiyasa>t burhaniyah yang di atasnya dibangun ilmu yang pasti (yaqin)”.[18]
- D. Penutup
Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
Al-Ja>biri> berangkat dari kegelisahan atas kegagalan kebangkitan
Arab Islam kontemporer, yang kemudian ia ekspresikan atau refleksikan
dengan melakukan kritik epistemologis atas nalar Arab Islam, yakni
dengan mengemukakan beberapa epistemologi “baya>ni, ‘irfa>ni, dan burha>ni”.
Di samping itu, ia juga menegaskan bahwa tradisi seharusnya tidak
digunakan sebagai “prinsip dasar” masa lalu yang kemudian dijadikan
landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi atas
dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan masa lampau yang lebih
dekat dan kemudian melompat ke masa depan.
Demikian penjelasan tentang trilogi epistemologi al-Ja>biri>. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat. Amiin.
- E. Referensi
Ja>biri>. M. ‘AKritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam,
terj. Burhan Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.
_______, Problem Peradaban: Penelusuran Jejak Kebudayaan Arab Islam
dan Timur, terj. Sumarwoto Dema dan Mosiri. Yogyakarta: Belukar, 2004.
_______, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju
Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri.
Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Jihad. Zayyin Alfi, Intuisi Menurut Mohammad A>bid Al-Ja>biri>. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin, 2004.
Nugroho. Supaat Eko, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi
Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\). Yogyakarta: Skripsi Fakultas
Adab, 2007.
\Shah. M. Aunul Abied dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab:
Pendekatan Epistemologi terhadap Trilogi Kritik Al-Ja>biri>” dalam
Isla Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001.
Sholeh. A. Khudori (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Ja>biri> dalam Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003.
[1]
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abiri>, ia lahir
di Figuig pada tahun 1936 M. Dia diasuh sendiri oleh ibunya lantaran
kedua orang tuanya berpisah saat ia masi dalam kandungan. Selam diasuh
oleh ibunya ia memperoleh pendidikan disekolah tradisinal. Proses
perjalanan pendidikannya saat itu sangat mengesankan, terbukti pada
tahun 1957 M. ia memporeleh gelar sarjana muda. Pada tahun 1958 ia asuk
Fakultas Adab di Rabat, dengan spesifikasi bidang yang ia tempuh adalah
filsafat, yang ia tempuh hingga tahun 1967 M. Sejak saat itu ia mengajar
di Fakultas Adab Universitas Al-Kams. Gelar doktornya, ia raih pada
tahun 1970 M. di Universitas yang sama dengan bidang yang sama. Ia juga
mendapat penghargaan “Baghdad Prize” pada tahun 1988 M. Lihat: M. ‘Abiri>, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, terj. Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hlm. Vi.
[2]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 7.
[3]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, hlm.
[4]
Dalam hal ini, sudah menjadi pengetahuan bahwa teks yang dimaksud dalam
tradisi Arab Islam adalah al-Qur’an dan Hadis, yang kemudia menjadi
sumber-sumber produk pemikiran ulama-ulama klasik untuk ber-istinbat} hukum. Lihat: Supaat Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 84. Lihat juga: M. ‘Abid Al-Ja>biri>, Problem Peradaban: Penelusuran Jejak Kebudayaan Arab Islam dan Timur, terj. Sumarwoto Dema dan Mosiri (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 106.
[5]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, hlm. 190.
[6] Zayyin Alfi Jihad, Intuisi Menurut Mohammad A>bid Al-Ja>biri> (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2004), hlm. 84.
[7] Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\)
(Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 94. Lihat juga: M.
Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan
Epistemologi terhadap Trilogi Kritik Al-Ja>biri>” dalam Isla Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 316.
[8] A. Khudori Sholeh (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Ja>biri> dalam Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 233.
[9] Perlu diketahui bahwa hakikat qiya>s ‘irfa>ni yang
diperoleh para sufi tidaklah sama, itu artinya dalam proses
pengungkapan makna terdapat subyektivitas masing-masing sufi. Supaat Eko
Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 95.
[10] Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 97-98.
[11]
Ibn Nadim menyatakan bahwa “salah satu sebab tersebarnya buku-buku
filsafat dan ilmu-ilmu kuno pra Islam adalah bahwa al-Ma’mun dalam
tidurnya bermimpi, seolah ada seorang laki-laki yang kulitnya putih
kemerah-merahan, keningnya kuas, alis kanan dan kirinya bertemu,
berkepala botak, matanya biru, dengan sorban yang bagus, duduk di tempat
tidur al-Ma’mun. Kemudian Al-Ma’mun berkata “seolah di kedua tangannya
dipenuhi dengan kemuliaan”, selanjutnya aku bertanya “Siapakah anda?”
Dia menjawab, “Aku Aristoteles”. Kemudian aku duduk di sampingnya dan
aku berkata “Wahai orang yang bijak, bolehkah aku bertanya”. Dia
menjawab “Silahkan”. Aku bertanya “Apakah yang disebut kebaikan?” Dia
menjawab,”Kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal”. Kemudian
aku melanjutkan, “Kemudian apa lagi?”. Dia menjawab, “ Apa yang
dikategorikan baik oleh syara’”. Aku bertanya lagi, “selanjutnya
apa lagi?”. Dia menjawab, “Apa yang dipandang baik oleh Jumhur”.
“Kemudian apa lagi?” tanyaku lagi. “Tidak ada yang lain”, jawabnya.
Demikian adalah mimpi Al-Ma’mun. Lihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 368.
[12] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri …, hlm. 371-373. Penyebaran filsafat yang dianut al-Ma’mun
ini tentunya mendapat tantangan atau perlawanan dari orang-orang maupun
kelompok yang menentang daulah Abbasiyah, sebut saja al-Manawiyah dan
Syi’ah. Aliran ini memiliki paham Gnostisisme, bagi al-Manawiyah adalah
sesuatu yang menyerupai wahyu, yang mengaitkan para pengikutnya pada
“guru” dalam posisinya sebagai orang yang menerima kebenaran dari atas (yatalaqqa al-haqiqah min a’la). Sedangkan Syi’ah sendiri mempercayai sepenuhnya terhadap peran “guru” terhadap ajaran-ajaran agama, konsep penyucian diri, ‘irfan, dan al-ilah al-muta’ali itu sendiri.
[13] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, hlm. 392-393. Adapun salah satu dari sekian banyak
warisan al-Kindi adalah ia berusaha membedakan secara tegas antara “’ilm al-rusul (pengetahuan para rasul)” dan “’ilm sair al-basyar (pengetahuan
manusia pada umumnya)”. Yang pertama diperoleh dengan “tanpa pencarian,
tanpa usaha keras, tidak melalui matematika, logika, namun semua atas
kehendak-Nya dengan cara membersihkan jiwa dan menyinarinya dengan
kebenarab disertai dengan bantuan, arahan, ilham dan risalah dari Tuhan.
Yang kedua adalah ilmu manusia pada umumnya, dari teks yang ia tulis,
jelas ia diperoleh dari usaha keras, melalui penalaran. Muhammad Abed
Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 395.
[14]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, hlm. 401 dan 412.
[15]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, 402.
[16]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, 403.
[17]
Al-Farabi mengatakan: “Jika kita tidak memahami logika maka posisi kita
selalu berkebalikan dengan lawan kita, dan yang lebih penting untuk
diwaspadai daripada semua itu ketika kita hendak menilai pemikiran yang
hendak berlawanan atau menjadi penengah antara dua kubu yang berselisih,
dan terhadap ungkapan serta argumentasi yang dikemukakan masing-masing
kubu untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan kubu yang lain; jika
kita tidak memahami logika, kira bersiap tidak berdasar pada yang kita
yakini benar, siapa di antara meraka yang benar, bagaimana bisa benar,
dari sisi mana ia benar, bagaimana argumentasinya meniscayakan kebenaran
pemikirannya; dan kita tidak bisa menentukan yang salah, bagaimana dan
dari sisi mana ia salah dan bagaimana pemikirannya tidak meniscayakannya
benar. Lihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 403.
[18]
Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik
Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj.
Imam Khoiri…, hlm. 406.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar