METODOLOGI HERMENEUTIKA AL-JABIRI
A. Pendahuluan
Hermeneutika tergolong disiplin ilmu baru dalam diskursus ulum
al-Qur’an. Kehadirannya mengundang kecurigaan dan tanda tanya di kalangan para
pemikir muslim terutama dari golongan konserfatif. Tidak jelas alasan dari
penolakan ini, namun balutan emosional dan sentiment yang berlebihan terhadap
Barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Karena hermeneutika lahir dan
tumbuh di Barat.
Cara kerja hermeneutika tidak jauh berbeda dengan tafsir dalam
islam bahkan sebagian sarjana muslim menyebutnya sebagai sesuatu yang sama
namun dalam balutan baju yang berbeda. Memang antara hermenutika dan tafsir
tidak dapat dipersamakan dalam semua hal, namun keduanya memiliki peran yang
sama yaitu membantu pembaca dalam memperoleh pemahaman yang subyektif dari teks
yang ia baca.
Pembacaan teks secara obyektif adalah hal yang sangat penting.
Karena melalui pembacaan yang obyektif inilah seorang pembaca dapat mengetahui
pesan yang disampaikan oleh teks yang dia baca atau memahami apa yang
dikehendaki oleh penggagas teks.
Belakangan ini kesadaran akan pembacaan secara obyektif terus
menjadi isu santer yang berhembus di kalangan cendikiawan muslim. Salah satu
tokoh muslim yang mengajak kepada pembacaan teks secara obyektif adalah
Muhammad Abid al-Jabiri. Melalui karya-karyanya yang berbicara mengenai
al-Qur’an ide-ide tersebut ia jabarkan.
B.
Riwayat
Sosial dan Intelektual Al-Jabiri
Muahmmad Abid al-Jabiri lahir pada tanggal 27 desember 1953 di
Firguig, Maroko tenggara. Ia tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang
mendukung Partai Istiqlal, sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan dan
kesatuan Maroko yang pada waktu itu berada dalam koloni Perancis dan Spanyol.
Ia mengenyam pendidikan secara formal untuk pertama kalinya di madrasah Hurrah
al-Wathaniyyah (sekolah swasta nasionalis) yang didirikan oleh gerakan
kemerkaan. Dari tahun 1951-1953 ia belajar di sekolah lanjutan milik pemerintah
di Casablanca, setelah Maroko merdeka, ia melanjutkan studinya pada pendidikan
tinggi setingkat diploma pada sekolah tinggi Arab dalam bidang ilmu
pengetahuan.[1]
Pada tahun 1959 ia melanjutkan studinya di universitas Damaskus,
Syiria, dibidang filsafat. Di tengah-tengah studinya, al-Jabiri terlibat aktif
dalam percaturan politik nasional negaranya. Ia bergabung dengan partai sayap kiri partai istiqlal yang
kemudian mendirikan Union National Des Forces Populaires (UNFP) dan
kemudian berubah nama menjadi Union Sosialeste Des Forces Populaires
(USFP). Ia dan kawan-kawannya di UNFP di jebloskan ke penjara pada bulan Juli
1964 atas tuduhan konspirasi melawan negara. Namun pada tahun itu juga ia
dikeluarkan dari penjara. Setelah itu ia mengajar di sekolah lanjutan atas dan
aktif di bidang perencanaan dan evaluasi pendidikan.[2]
Pada tahun 1967 ia menyelesaikan ujian negaranya dan selanjutnya mengajar di
Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan formalnya diakhiri pada
tahun 1970 dengan menyandang gelar doktor.[3]
Bersamaan dengan kondisi sosial politik dunia Arab kala itu
dinamika intelektual sedang barada dalam goncangan dan persoalan yang
dimunculkan olek kaum modernitas. Wacana ini dipicu oleh daya tarik
superioritas Barat dalam berbagai aspek kehidupan. Kekalahan Arab atas Israel
semakin mempertegas keraguan mereka untuk mempertanyakan ulang tentang masa
keemasan kerajaan Islam Arab klasik. Problematika tersebut menjadikan para
pemikir Arab terpolarisasi pada dua sisi ekstrim dalam menyikapinya. Dan
kebanyakan mereka mengambil sikap ekletisme, yaitu menggabungkan apa yang
kelihatan positif dalam dua bentuk pilihan tersebut.[4]
Al-Jabiri termasuk dalam golongan pemikir Arab yang melakukan
eklektisme dalam mensikapi modernitas. Dalam artian, menggabungkan antara
modernitas dan otentisitas tradisi yang bersumber dari islam sehingga ia tidak
dimasukkan sebagai tokoh revolusioner pemikiran Arab. Namun lebih cocok disebut
sebagai pemikir reformistik.[5]
C.
Corak
Pemikiran Al-Jabiri
Sebagaimana telah disinggung di muka, corak pemikiran al-Jabiri
adalah eklektisme, yaitu berusaha menggabungkan antara otoritas tradisi (turats)
yang bersumber dari Islam dengan modernitas. Pemikiran semacam ini
bertumbuh kembang dalam dinamika pemikiran Arab sebagi reaksi atas dua
ekstrimitas pemikiran yang terjadi pada saat itu.
Turats dikalangan
pemikir Arab selalu disandingkan dengan hadatsah (modernitas) karena
problem antara turats dan hadatsah inilah yang mendominasi wacana pemikiran
Arab kontemporer. Sebagi pemikir yang berkecimpung dalam tradisi, tak
mengherankan jika al-Jabiri begitu berkepentingan untuk menelusuri akar tardisi
yang membentuk nalar Arab. Turats kemudian menjadi gerbang bagi
al-Jabiri untuk memasuki pemikiran Arab.[6]
Bagi al-Jabiri, turats bukanlah sisa-sisa atau warisan
kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah penyempurnaan akan
kesatuan dan ruang lingkup kultur yang terdiri atas doktrin agama atau
syari’ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan
harapan-harapan. Turats dengan demikian adalah berdiri sebagai satu
kesatuan dalam seluruh kebudayaan Islam.[7]
Al-Jabiri memandang bahwa tawaran antara turats dan hadatsah
bukanlah soal pilihan. Baginya tradisi dan modernitas datang begitu saja di
hadapan kita tanpa ada kuasa bagi kita untuk memilihnya. Kita tidak pernah
disuruh untuk memilih salah satunya ataupun meninggalkan keduanya. Mak bagi
Al-Jabiri, yang terpenting adalah bersikap kritis terhadap keduanya.[8]
Tokoh-tokoh yang pemikirannya menjadi rujukan dan teoritis
al-Jabiri adalah para tokoh dalam tradisi pemikiran Prancis. Antara lain Michel
Fochault, Levi Strauss, Regic Debray, A. Lalande dan Louis Althusser.
D.
Metodologis
Pemikiran Al-Jabiri
Persoalan utama hermeneutika senantiasa berkutat pada pencarian
makna teks, apakah makna subyektif atau obyektif. Karena itu, ada tiga bentuk
hubungan hermeneutika: hubungan antara penggagas dengan teks; hubungan pembaca
dengan penggagas; dan hubungan pembaca dengan teks. Dalam persoalan ini
al-Jabiri mencoba bersifat netral dengan berusaha untuk tidak terjerembab pada
satu sisi pemahaman subyekfif atau obyektif. Bagi al-Jabiri obyektifitas
merupakan hal yang penting sebagai landasan dalam memahami teks. Hal ini tampak
dari bagaimana ia dengan tegas mewanti-wanti untuk tidak membaca makna sebelum
membaca kata-kata.dalam hal ini seorang penafsir harus meletakkan semua
prasangka ideologisnya ketika pertama kali berhadapan dengan teks. Langkah ini
mengandaikan prinsip-prinsip hermeneutika fenimenologis, di mana subjek harus
melepaskan diri atau, menurut istilah Husseerl, menaruh antara tanda kurung
semua mengandaikan dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat
obyek yang mengarahkan diri kepadanya –langkah ini disebut epche. Lewat
proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur kesementaraan yang
tidak hakiki, sehingga tinggal hakikat objek (eidos) yang menampakkan
diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.[9]
Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari otoritarianisme interpretasi.
Yaitu suatu metode interpretasi yang merampas dan menundukkan mekanisme
pencarian makna suatu teks kepada pembacaan yang bersifat “subjektif” dan
“selektif”. Dalam konteks ini seolah-olah pembaca yang bersangkutan paling
mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pengarang dan teks.
Hermeneutika yang ditawarkan al-Jabiri bersifat negosiatif. Dalam
artian ada kompromi antara pembaca dan teks. Di satu sisi teks dibiarkan
berbicara apa adanya, namun di sisi lain pembaca diberi kesempatan untuk
menafsir ulang sesuai dengan kebutuhan. Konsep al-fashl dan al-washl
yang ditawarkan oleh al- Jabiri bukanlah hal yang baru dalam diskursus
hermeneutika.[10]
Karena, meskipun apa yang digagasnya adalah perpaduan antara obyektifitas dan
subyektifitas yang seimbang, tak urung ide obyektifitasnya lebih terlihat
mendominasi konsepnya. Dalam kaitan hubungan antara pembaca dengan teks dan
penggagas, terdapat tiga bentuk hubungan hermeneutika yaitu; teoritis,
filosofis, dan kritis.
Pertama, hermeneutika
teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiannya pada
problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar.[11]
Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna
yang dikehendaki oleh penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara
obyektif maksud penggagas, maka model hermeneutika semacam ini dianggap juga
sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk “merekonstruksi makna”.
Kedua, hermeneutika
filosofis. Problem utama hermeneutika ini adalah bagaimana tindakan memahami
itu sendiri. Hermeneutika model ini digagas oleh Gadamer. Menurutnya,
hermeneutika ini berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori
interpretasi. Karena itu dengan mengmbil
konsep fenomenologi, Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah
ontologi, bukan metodologi.[12]
Ketiga, hermeneutika
kritis. Hermeneutika ini bertujuaan untuk mengungkap kepentingan di balik teks,
dengan tokohnya Habermas. Dalam hal ini, Habermes menempatkan sesuatu yang
berada di luar teks sebagai problem hermeneutikanya yang justru oleh kedua
model hermeneutika sebelumnya diabaikan. Pengertian sesuatu yang berada di luar
teks tersebut adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia
mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model
hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di
dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karene itu, selain horizon
penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.[13]
Dari ketiga model hermeneutika di atas, di manakah posisi
hermeneutika al-Jabiri? Tampaknya hermeneutika al-Jabiri tidak bisa lepas dari
kedua model hermeneutika pertama, teoritis dan filosofis. Dalam hal hermeneutika
teoritis ia mengakui historis al-Qur’an dan dalam hal hermeneutika filosofis ia
mengakui ke-azaliah-an al-Qur’an. Ada juga kecurigaan terhadap teks yaitu
ketika ia menawarkan kritik ideologisnya. Namun menurutnya hal itu tidak
berlaku dalam al-Qur’an, karena sebagai kalam Allah ia terlepas dari ideologi
manapun dan bahkan ideologi mesti disingkirkan saat membaca pertama kali
berhadapan dengan teks. Langkah pemahaman dengan mendahulukan membaca teks
daripada makna, yang berarti makna harus digali dari aspek struktur teks dan
kemudian dilanjutkan dengan kritik historis, adalah sebanding dengan apa yang
digagas oleh Emilio Betti. Seorang tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika
teoritis yang mencoba memadukan antara teori Schleirmarcher dan Wilhelm Dilthey
menawarkan empat momen gerakan dalam menemukan makna obyektif: pertama,
penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks; kedua, penafsir
harus mengkosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan; ketiga,
penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja
imajinasi dan wawasan; dan keempat, melakukan rekonstruksi untuk
memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari
ungkapan teks. Dari keempat langkah yang ditawarkan oleh E. Betti, langkah
ketiga dimana seorang pembaca harus
menempatkan dirinya pada posisi penggagas, adalah hal yang tidak didapati dalam
konsep hermeneutika al-Jabiri.
E.
Penutup
Al-Jabiri menyarankan kepada pembacaan yang obyektif melalui
pembacaan kata sebelum makna. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan ideologis
pembaca harus diletakkan ketika berhadapan dengan becaan. Al-Jabiri menyadari
bahwa pembacaan yang berorientasi pada obyektifitas semata akan tidak
memberikan kontribusi bagi kondisi kekinian pembaca. Karena agar teks selalu
dinamis dan kontemporer, rasional subyektif diberikan ruang geraknya. Untuk
mengawal pembaca agar tidak terjebak dalam suyektifitas pembaca dan kekakuan
obyektifitas, al-Jabiri memberikan jembatan dengan konsep al-fashl dan al-washl
yang dianggapnya dapat menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk dirinya sendiri
dan untuk pembacanya sepanjang masa.wallahu
a’lam.
[1] Wahid
Harmaneh, “pengantar” dalam al-Jabiri, kritik kontemporer Atas Filsafat Arab
Islam, terj. M. Nur Ichwan (yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. Xvii-xviii
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. xix
[4] Ibid, hlm.
Xxiii-xxiv
[5] http:// media
isnet.org/Islam/paramadina/juranal/ rab 2. Html, oleh Abdullah Afandi dalam “Pemikiran
Tafsir Muhammad Abid Al-Jabiri; Staudi Analisis Metodologis”, Tesis (yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga 2008), tgl 28 Oktober 2008
[6] Abdullah
Afandi, ‘Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri, hlm. 55
[7] Muhammad Abid
Al-Jabiri, Al-Turats wa Al-Hadatsah, hlm. 24
[8] Abdullah
Afandi, ‘Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri, hlm. 56
[9] Maulidin, “Sketsa
Hermeneutika” dalam Gerbang, Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, hlm.
17
[10] Al-Fashl
adalah sebagai langkah mengatasi problem obyektifitas dalam pembacaan,
diaplikasikan dalam al-Qur’an dengan menanggalkannya dari segala atribut yang
menyertainya yang termaktub sebagai hasil penafsiran dan segala bentuk pemahaman
atasnya. Al-washl adalah sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas
dalam pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan membawa makna otentik al-Qur’an ke
dalam konteks masa kini. Lihat Al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim, hlm.
87 sebagaimana dikutib oleh Abdullah Afandi dalam “pemikiran Tafsir Muhammad
Abid Al-Jabiri, tesis”, hlm. 87
[11] Nasr Hamid Abu
Zaid, Al-Qur’an, Hermeneutika Dan Kekuasaan (Bandung: Rqis, 2003), hlm.
42-46
[12] Richard King, Agama,
Orientalisme dan poskolonialisme: sebuah kajian tentang perselingkuhan antara
Rasionalitas dan Mistis, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Qalam, 2001),
hlm. 138.
[13] Aksin
Wijaya, Arah Baru Studi ulumul Qur’an,
hlm. 192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar