PENDEKATAN
BAYANI, BURHANI DAN IRFANI
MENURUT
MUHAMMAD ‘ABID AL JABIRI
Seperti
pada uraian sebelumnya bahwa ide pendekatan Bayani, Burhani dan
Irfani awalnya dikemukakan oleh Muhammad ‘Abid al Jibiri dalam
buku-bukunya :
- Takwin al Aql al Araby,
- Bunyah al Aql al Araby, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nudzumi al Ma’rifah fi al Tsa qafah al Arabiyah.
Kedua
buku ini berisi kajian yang mendalam tentang keislaman dalam tataran
humanties (kemanusiaan) secara umum. Sedang kitabnya yang ketiga
yakni :
- Al Aql al Siyasi al Araby, merupakan aplikasi dalam sosial politik masyarakat muslim.
Dari
pemikiran Dr. al Jabiri ini oleh Prof. Amin Abdullah diteorikan
dengan epistimologi Ta’wilul Ilmiy. Buku-buku al Jabiri di atas,
khususnya buku kedua berisi pendekatan pemikiran berupa analisa
kritis dan pencerahan dalam pemikiran terhadap syari’ah dalam arti
luas (Akidah, Ahkam dan Akhlak) melalui sumbernya. Syari’ah yang
sumber pokoknya al Qur’an, dijadikan subyek dan obyek kajian akal.
Selama
ini nash (teks) al Qur’an sebagai subyek ditafsirkan dengan istilah
bayani yang pengertiannya adalah teks sesuatu yagn sudah matang untuk
diterapkan. Tidak juga didudukkan sebagai obyek kajian, pemahaman,
pemaknaan, dan interpretasi.Padahal mendudukkan nash, pemahaman,
pemanaknaan, dan interpretasi. Padahal mendudukkan nash sebagai obyek
disamping subyek kajian inilah yang merupakan pengembangan pemikiran
dalam studi keislaman yang oleh Prof. Amin Abdullah dimaksudkan
dengan At Ta’wil Al ‘Ilmi yang diungkapkan sebagai wacana
pengembangan pemikiran penafsiran terhadap al Qur’an. Maksudnya al
Qur’an dijadikan sebagai subyek dan obyek telaah ilmu keislaman
yang baru.
Penulis
pribadi yang berkecimpung dalam ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih
menilai apa yang dikemukakan oleh al Jabiri, bukan sesuatu yang
sangat baru dan mengejutkan. Karena dalam ilmu ushul fiqih ada qaidah
lughwiyah dan qaidah syi’iyyah. Qaidah lughawiyah yang
perkembangannya didasarkan pada qiyas dan perkembangan dalam
masyarakat. Sedang qaidah syir’iyyah, yang didasarkan pada
nash-nash (teks) dalam al Qur’an maupun hadits.
Dr.
Al Jabiri sendiri dalam kitabnya Bunyatul ‘aqli al ‘Araby dalam
mengemukakan pendekatan bayani itu mulai dengan memaknakan al Bayan
dari segi bahasa dan pemakaian para pakar terhadap kata istilah al
Bayan itu. Dalam paparannya, dikemukakan bahwa al Qur’an menyebut
kata dengan menggunakan akar kata ba, ya, dan nun, sampai 250 kali.
Sedang Ibnu Mundhur (ahli bahasa) dalam bukunya lisanul a’rab
menyimpulkan ada lima arti pokok al Bayan, yaitu :
- Menghubungkan satu dengan yang lain.
- Memutuskan satu dengan yang lain.
- Mengungkap satu pengertian dengan jelas.
- Mengemukakan pengertian tentang kemampuan menyampaikan sesuatu dengan jelas.
- Kemampuan manusia menyampaikan penjelasan.
Asy
Syafi’iy disamping keahliannya bidang fiqih dan ushul fiqh, juga
terkenal alih bahasa, mengemukakan tentang fungsi bayani ini pada
dataran teori ilmiyyah yang kemudian oleh Al Jahidh diletakkan dalam
datara praktis.
Adapun
al Jahidh, seorang mufassir yang banyak menyoroti ayat dari segi
bahasa, seperti pemikiran al Jabiri, mengemukakan bahwa sehubungan
dengan al Bayan ini perlu diberi batasan, sehingga kalau diterapkan
dalam pemaknaan al Qur’an dapat sesuai. Untuk itu al Jahidh menulis
dua kitab :
- Nudhumul Qur’an (susunan kata al Qur’an).
- Ayul Qur’an (ayat-ayat al Qur’an).
Di
samping itu al Jahidah yang juga dikualifikasikan ahli ilmu kalam itu
menulis buku yang bernama “al Bayan wat Tabyin”. Dalam kitab itu
memberikan syarat efektivitas ketentuan bayani itu pada :
- Kelancaran pengucapnya.
- Baik pilihan kata-kata.
- Dapat mengungkapkan maksud pembicaraan yang lengkap dengan :
- Kata-kata yang baik dan jelas.
- Isyarat-isyarat yang tepat.
- Tulisan yang terang.
- Dengan janji dan persetujuan.
- Dengan kenyataan yang ada yang berupa fakta.
- Bayan dari segi balaqhah (seni sastra) adalah ungkapan kata-kata dalam susunan yang dapat memberikan makna yang jelas.
- Dari segi kekuasaan bayan juga dimaksudkan untuk dapat mempengaruhi orang lain.
Kalau
mau dirumuskan dalam satu ungkapan, bahwa menurut al Jahidh kata al
Bayan itu adalah kata yang umum yang meliputi bermacam-macam
pengertian. Rincian pengertian bayan itu antara lain dapat difahami
oleh akal manusia, sehingga bayan dan akal manusia itu dua hal yang
saling melengkapi. Demikian dikemukakan Ibnu Wahab.
Oleh
al jabiri dikatakan bahwa Ibnu Wahab membagi bentuk bayan dalam empat
macam :
- Bayan al I’tibar (ialah sesuatu yang dapat membawakan pada pengertian, yang dibagi dua :
- Yang nampak didapati dengan panca indera seperti panasnya api dapat diketahui dengan meraba benda yang panas.
- Yang tidak nampak, tetapi dapat dicapai dengan menyamakan (qiyas) dan dengan memahami berita.
- Bayan al I’tiqad, (ialah yang dapat membawa pengertian dalam fikiran dan membawa keyakinan dalam hati).
- Bayan al ibarah (ialah pernyataan yang dapat menunjukkan pada usatu pengertian, baik yang dhahir yang tidak memerlukan pada tafsir (penjelasan) lebih lanjut maupun yang bathin yang memerlukan pada penjelasan (tafsir). Yang bathin lebih lanjut dapat dicapai dengan menggunakan sistem qiyas dan pemikiran dan menggunakan dalil dan khabar. Adapun yang dimasukkan dalam qiyas dan pemikiran setelah istidlal adalah ijtihad dalam memahami arti yang dimaksudkan oleh bayan tersebut. Sedang khabar adalah sunnah yang menjelaskan terhadap syari’at.
- Bayan al kitab, (tulisan) yang akan memberi penjelasan orang sesudahnya dan orang yang tidak hadir pada waktu itu.
Kesimpulan
yang diberikan oleh Dr. M.A. Al Jabiri ialah bahwa al Bayan itu dapat
dibagi dua, yakni :
- Sesuatu yang diterima (mauhuban) dan
- Sesuatu yang diusahakan dan ditanggapi (maksuban).
Jadi
prinsip pendekatan al Bayan ialah gambaran akal yang merupakan
gharizah (insting) yang tidak akan sampai pada perwujudan yang
dimaksud kecuali dengan usaha pencarian manusia dengan perantaraan
khabar (nash) maupun dengan perantaraan nadzar (pemikiran). Pemikiran
ini adalah kemampuan dan usaha akal dalam menanggapi dan menangkap
petunjuk atau dalil yang disebut amarat. Dalam pengamatannya Al
Jabiri setelah mengemukakan bahwa asy Syafi’i sebagai ahli bahasa
dan ahli fiqih/ushul fiqih telah membuat qaidah-qaidah tentang
tafsirul khithap (qaidah tentang penafsiran terhadap nash). Juga al
Jabiri mengemukakan pendapat al Jahidh yang telah menelurkan
qaidah-qaidah menuju kepada hasil-hasil khitap. Dan Ibnu Wahab yang
telah menelurkan jalah dalam rangka mendapatkan pengertian yang dapat
mendatangkan keyakinan. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa sebenarnya
pemikiran ahli bahasa, ahli kalam, dan ahli ushul dan fiqih
keseluruhan menggunakan al Bayan dalam memahami nash-nash baik
sebagai subyek maupun obyek.
Lebih
lanjut oleh al Jabiri dikemukakan bahwa dalam lapangan bahasa seperti
ilmu nahwu ada cara yang penerapannya menggunakan ilmu mantiq seperti
dalam penggunaan bentuk kata benda yang menggunakan bentuk isim alat,
isim makan (tempat), dan sebagainya. Juga dalam menghubungkan lafadl
(kata) dengan maknanya.
Demikian
pula pada ilmu ushul fiqih, dalam memahami nash sebagai sumber yang
harus difahami sebagai subyek juga menggunakan qaidah yang dibentuk
atas dasar :
- Qaidah lughawiyyah, dan
- Qaidah syar’iyyah.
Keduanya mendudukkan
adanya epistimologi ijtihad yang termasuk didalamnya menjadikan
rumusan maqashidusy syari’ah (tujuan penetapan hukum) adalah
kemashlahatan.
Dalam
ilmu kalam adanya perbedaan pendangan apakah al Qur’an qadiem atau
hadits (sesuatu yang baru) dan selesailah perdebatan itu dengan
penyelesaian bahwa al Qur’an itu Qadiem makna-maknanya sedang
lafadl serta hurufnya adalah hadits (baru, maksudnya makluq) maka
lafadl dan huruf al Qur’an itu lafadlnya dapat ditanggapi oleh akal
(fikiran) manusia maksudnya, tidaklah tabu fikiran manusia itu
mengembangkannya sebagai mana dalam bahasa ada qiyas dan dalam fiqih
ada ijtihad.
Pengembangan
pemikiran ini merupakan wacana yang terus menerus perlu dikaji dalam
rangka menatap kemajuan dimasa kini dan mendatang. Metode memahami
nash dengan tafsir dan ta’wil ala mufassirin, dikembangkan menjadi
dengan tafsir dan ta’wil ilmiy, penta’wilan nash dengan
menjadikan nash, dijadikan pula obyek disamping subyek. Tentu
metodenya pun harus difikirkan untuk tidak keluar dari jalur
kebenaran. Kebenaran yang berdasarkan pada wahyu yang diterima untuk
difahami dan diamalkan sebagai sumber agama juga kebenaran yang dapat
difahami dan diamalkan agama sebagai rahmatan lil ‘alamien. Untuk
itu diperlukan pendekatan lain yakni irfani dan burhani yang akan
dibicarakan pada rubrik manhaj ini yang akan datang. Insya Allah.
Sumber: SM-06-2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar