Semiotika Iklan Sosial (bagian I)
Sumbo Tinarbuko
PENDAHULUAN
Periklanan adalah fenomena bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang
ingin maju dan memenangkan kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan.
Demikian pentingnya peran iklan dalam bisnis modern sehingga salah satu
bonafiditas perusahaan terletak pada berapa besar dana yang dialokasikan
untuk iklan tersebut. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar
dari sebuah perusahaan. Keberadaannya menghubungkan perusahaan dengan
masyarakat. Khususnya konsumen.
Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan
kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran,
yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan
pemasaran (Kotler, 1991:416).
Menurut Liliweri (1991:20), kegiatan komunikasi adalah penciptaan
interaksi perorangan dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas.
Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup
dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari
segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa
khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan
tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi
menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli, dan
frekuensi pembelian yang diperoleh akan sejalan dengan target penjualan
yang telah ditetapkan. Pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa
pesan iklan yang disampaikan akan sejalan dengan tujuan pemasaran yang
telah ditetapkan.
Sementara itu, periklanan menurut Kamus Istilah Periklanan Indonesia
adalah pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media, antara
lain: pers, radio, televisi, bioskop, yang bertujuan membujuk konsumen
untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi,
1996:4).
Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan massa. Produk kebudayaan
masyarakat industri yang ditandai oleh produksi dan konsumsi massal.
Kepraktisan dan pemuasan jangka pendek antara lain merupakan nilai-nilai
kebudayaan massa (Jefkins, 1996:27). Artinya, massa dipandang tidak
lebih sebagai konsumen. Hubungan antara produsen dan konsumen adalah
hubungan komersial semata saja. Interaksinya, tidak ada fungsi lain
selain memanipulasi kesadaran, selera, dan perilaku konsumen.
Jenis iklan yang dipaparkan di atas adalah jenis iklan komersial.
Pada dasarnya, periklanan dibagi menjadi dua. Pertama, iklan komersial.
Kedua, iklan nonkomersial atau biasa disebut dengan istilah Iklan
Layanan Masyarakat (ILM), yang akan menjadi inti tulisan ini.
Kehadiran ILM dimaksudkan sebagai citra tandingan (counter image)
terhadap keberadaan iklan komersial. Karena selama ini, iklan komersial
sering dituduh menggalakkan konsumerisme. Merangsang konsumen untuk
berkonsumsi tinggi, dan menyuburkan sifat boros.
Sebagai sebuah citra tandingan, pada dasarnya ILM adalah alat untuk
menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. Media semacam ini sering
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menyebarluaskan program-programnya.
Sebagai media yang bergerak dalam bidang sosial, ILM pada umumnya berisi
pesan tentang kesadaran nasional dan lingkungan. Misalnya ILM yang
dibuat untuk menyukseskan program imunisasi nasional, pemberantasan
nyamuk demam berdarah, virus flu burung, budaya gemar membaca, budaya
menabung, menjaga lingkungan hidup, membuang sampah pada tempatnya,
tertib lalulintas, wajib pajak, hemat listrik, donor darah,
penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya.
ILM adalah iklan sosial. Keberadaannya bersifat independen. Ia tidak
terkait pada konsep bisnis perdagangan, politik atau agama. Bentuk
fisiknya tidak berbeda dengan iklan komersial, sebab keduanya merupakan
media komunikasi visual yang berperan untuk mempengaruhi khalayak luas
sebagai target sasaran agar dapat tergerak hatinya untuk melakukan
sesuatu yang dianjurkan oleh pesan ILM tersebut. Oleh karena itu,
perencanaan sebuah ILM mengacu pada konsep iklan komersial.
Tampilan ILM harus tepat pada sasaran yang dituju. Karena pada
dasarnya, ILM itu bertujuan menggugah kesadaran terhadap pemecahan suatu
masalah sosial yang sedang aktual. Dalam sajiannya, ILM harus mampu
bersaing di antara kolom-kolom berita informasi di media massa cetak dan
iklan komersial yang menawan dalam tampilan visualnya.
ILM merupakan aktivitas periklanan yang berlandaskan gerakan moral.
ILM mengemban tugas mulia membangun masyarakat melalui pesan-pesan
sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Sayangnya
muatan pesan verbal dan pesan visual yang dituangkan di dalam ILM
terlalu banyak. Secara visual, desain ILM yang disajikan pun menjadi
jelek, tidak komunikatif, kurang cerdas, dan terkesan menggurui.
Akibatnya masyarakat luas yang diposisikan sebagai target sasaran dari
ILM dengan serta merta akan mengabaikan pesan sosial yang disampaikan
oleh ILM tersebut.
Dampak selanjutnya, pesan sosial yang ingin disampaikan oleh
pemerintah menjadi mubasir. Artinya, pesan verbal dan pesan visual yang
terkandung di dalam ILM sangat lambat untuk ditindaklanjuti oleh target
sasaran. Hal itu terjadi karena frekuensi penayangan ILM di media massa
khususnya media massa cetak perlu diperbanyak dan lebih bersifat
agresif. Sebab dengan frekuensi penayangan yang sangat rendah,
pesan-pesan sosial yang terkandung di dalamnya sangat muskil diposisikan
dalam benak khalayak sasaran. Apalagi ditindaklanjuti dengan gerakan
positif seperti diisyaratkan dalam pesan-pesan sosial ILM tersebut.
Jika dilihat dari wujudnya, ILM mengandung tanda-tanda komunikatif.
Lewat bentuk-bentuk komunikasi itulah pesan tersebut menjadi bermakna.
Di samping itu, gabungan antara tanda dan pesan yang ada pada ILM
diharapkan mampu mempersuasi khalayak sasaran yang dituju. Tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji tanda verbal (terkait dengan judul, subjudul,
dan teks) dan tanda visual (terkait dengan ilustrasi, logo, tipografi,
dan tata visual) ILM dengan pendekatan teori semiotika. Dengan demikian,
analisis semiotika diharapkan menjadi salah satu pendekatan untuk
memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual
dalam iklan layanan masyarakat.
Melalui pendekatan teori semiotika diharapkan ILM mampu
diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di
dalamnya. Dengan demikian dapat ditemukan kejelasan mengenai
pertimbangan-pertimbangan estetik pada ILM dipandang dari hubungan
antara tanda dan pesan.
Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar
keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung
kesatuan penampilan ILM serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan
isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan
desain ILM.
Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan ILM,
disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis
besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda
visual.
Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema, dan pengertian
yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara
menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan
bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah
dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian
diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara yang satu dengan lainnya.
SEMIOTIKA SEBAGAI ILMU
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda.
Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke
dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada
kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena
bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana
sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial
dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang
sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu
sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika menurut Berger (2000:10). memiliki dua tokoh, yakni
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914).
Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan
di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di
Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure
adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu
yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada
anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna
atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem
pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di
sana ada sistem (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika
(semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran
manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat
bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan
semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger,
2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih
populer daripada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign),
berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala
sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.
Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak
adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu
kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah
isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan,
sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah,
suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai
bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan
sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan,
kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap
sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda sebagai
kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya
selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah
tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap
oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau
bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau
konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi
petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek
pertama.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan
ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian
fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya.
Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan)
dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara
kedua unsur melahirkan makna.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang
lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti.
Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan.
Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak
orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat
mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15).
Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut
objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda
baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda
melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang
muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi
sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground,
yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan
ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga
semiotik.
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan
menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan
kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila
ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda
seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk
arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan
tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya
berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference).
Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan
objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif
dan terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian
semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan
rangkaian semiosis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama,
akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi
rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda
pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan
demikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna
konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah
satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua.
Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini
terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya
intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi
sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam
tatanan pertama. penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika
teori itu dikaitkan dengan bekerjanya sebuah iklan layanan masyarakat,
maka setiap pesan ILM merupakan pertemuan antara signifier (lapisan
ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual
(nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang
didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat
dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada
tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami
secara utuh (Barthes, 1998:172-173).
Mengingat ILM mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal dan visual,
serta merujuk bahwa teks ILM dan penyajian visualnya juga mengandung
ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem nonkebahasaan untuk
mendukung peran kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap ILM
layak diterapkan.
Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada
Roland Barthes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de Saussure.
Pendekatan ini menekankan pada tanda-tanda yang disertai maksud (signal)
serta berpijak dari pandangan berbasis pada tanda-tanda yang tanpa
maksud (symptom). Iklan Layanan Masyarakat sebagai salah satu karya
desain komunikasi visual mempunyai tanda yang ber-signal dan
ber-symptom, dan dalam memaknai makna ILM harus mengamati ikon, indeks,
simbol, dan kode sosial yang menurut Barthes adalah cara mengangkat
kembali fragmen-fragmen kutipan (Zoest, 1993:39-42).
Sebab esensi membongkar makna ILM dapat dilihat dari adanya hubungan
antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang
ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan diketahui
bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi.
SEMIOTIKA SEBAGAI METODE ANALISIS TANDA ILM
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda
tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia
mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau
dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa,
kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi
visual.
Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya
dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi
lewat sarana tanda.
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian
tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat
diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet,
genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya
huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan
masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44).
TANDA (IKON, INDEKS, SIMBOL)
Merujuk teorinya Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat
dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon,
indeks dan simbol (Noth, 1995:45).
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat
pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang
dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta
Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam
peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak
Sultan.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa
yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya:
asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah
merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan
(signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan
tanda tangan itu.
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau
perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang
memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki
latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila
hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
KODE
Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang
memiliki bentuk yang khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo,
1986:27). Sementara itu, kode menurut Piliang (1998:17), adalah cara
pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan
satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam
praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur
melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode
sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam
sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu)
dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami
yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada
isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang
dinamakan kode (Hartoko, l992:92).
Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang
digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu
dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun
menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah
sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita,
prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu
semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk
mengalihkan arti.
Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut
menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode
simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes,
1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81)
sebagai berikut:
Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan,
teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada
jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan
teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang
terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban
yang satu menunda jawaban lain.
Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level
penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata
lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan
suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.
Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat
kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan,
sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.
MAKNA (DENOTATIF DAN KONOTATIF)
Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita
tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan
yang penuh dengan perabotan, di sana muncul sebuah makna. Seseorang
sedang duduk di sebuah kursi dengan mata tertutup dan kita mengartikan
bahwa ia sedang tidur atau dalam kondisi lelah. Seseorang tertawa dengan
kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia mentertawai kita atau
mengajak kita tertawa? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan
tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam
satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar
umat manusia di semua masyarakat.
Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.
Simbol mengacu pendapat Spradley (l997:121) adalah objek atau peristiwa
apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur:
pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga,
hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi
keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi
apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol ketakutan,
kegembiraan atau yang lainnya. Mencengkeram gigi, mengerdipkan mata,
menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain
yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol.
Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup
makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan
makna konotatif.
Spradley (l997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang
ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14)
mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda
dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif,
Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga
dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada
tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.
Spradley (l997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua
signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti
referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi
aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai
kebudayaan dan ideologi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat
diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa
saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang.
Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus
dipahami pula.
Menurut Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip
peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang
menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam
mitosnya, idiologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang
film tersebut.
Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di
antaranya product as signified (produk sebagai petanda, konsep atau
makna), product as signifier (produk sebagai penanda, bentuk), product
as generator, and product as currency (Williamson, 1984:24-38).
Hal tersebut di atas adalah teori semiotika strukturalis. Kaum
strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia
mengisyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang
diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial. Ia menafsirkan
hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa.
Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows
Function, dengan mengikuti model semiotika penanda atau fungsi (Piliang,
1998:298). Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes
dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna).
Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi.
Pada jantung strukturalisme menurut Pradopo, ada ambisi ilmiah untuk
menemukan kode, aturan, sistem yang mendasari semua praktik sosial dan
kebudayaan manusia (Pradopo, 1991:71).
Sedangkan pascastrukturalis menurut Piliang, mengacu pada konsep
intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekonstruksi dari Jacques
Derrida. Julia Kristeva misalnya, ia tergabung dalam Tel Quel Perancis
menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan fenomena dialog
antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks
(karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi
dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan kutipan atau
kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam
permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa
lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya
beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang
berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan
Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya,
beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan
saling menetralisir satu dengan lainnya.
Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan
intertektualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem
tanda lainnya. Ia menggunakan istilah ‘transposisi’ untuk menjelaskan
perlintasan di dalam ruang pascasejarah ini, yang di dalamnya satu atau
beberapa sistem tanda digunakan untuk menginterogasi satu atau beberapa
sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat
menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun
makna. Interogasi ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan
(pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan makna untuk tujuan
kritis, sinisme, atau sekadar lelucon (parodi), pengelabuhan identitas
dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis atau kitch.
Sebuah teks postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual
sang seniman; kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya,
keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah
permainan dengan kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme
adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam
karyanya, disebabkan bercampuraduknya berbagai bahasa. Teks
posmodernisme, tidak bermakna tunggal, akan tetapi adalah aneka ragam
bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal muasal yang tidak pasti,
yang di dalamnya aneka macam tulisan, tak satu pun di antaranya yang
orisinal, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah sebuah jaringan
kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak
terhitung jumlahnya (Piliang, 1998:284).
Ciri-ciri pascastrukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah
penanda tidak mengacu pada sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu
terjadi ambiguitas, yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar
hirarki makna. Pada oposisi biner, hirarki makna itu dibongkar. Ketiga,
menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas
tanda yaitu persamaan hak dalam pertandaan.
Dalam postmodernisme menggunakan prinsip Form Follows Fun dengan model semiotika penanda dan makna ironis (Piliang, 1998:298).
Terkait dengan itu, maka pembahasan ILM dengan kajian semiotika dalam
penelitian ini akan mengunakan teorinya Pierce untuk melihat tanda
iklan (ikon, indeks, simbol), teorinya Barthes untuk melihat kode (kode
hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, kode
kebudayaan), teorinya Saussure untuk melihat makna konotatif dan makna
denotatif. Kemudian Williamson dengan teori semiotika iklan terkait
dengan peminjaman tanda dan kode sosial juga dimanfaatkan untuk
memahami ILM yang menjadi kajian tulisan ini. Di samping tentunya
semiotika strukturalis dan semiotika pascastrukturalis. Hal ini menjadi
penting karena untuk kasus tertentu, semiotika strukturalis tidak bisa
untuk menganalisis teks ILM, ketika ILM tersebut keluar dari kode yang
berlaku. Dengan demikian, semiotika strukturalis yang stabil tidak bisa
menjelaskan teks yang bersifat labil, untuk itu diperlukan semiotika
pasca strukturalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar