Minggu, 04 Maret 2012

Mengenal Pemikiran Muhammad Arkoun

Sopo Kenal Arkoun

Muhamad Arkoun lahir di Wilayah Berber di Taurit-Mimoun, Kabila,  AlJazair  pada tanggal 12 Januari tahun 1928 M, Arkoun menyelesaikan pendidikan dasar di desa asalnya, pendidikan menengah dan pendidikan  tingginya di tempuh di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat. Dia kemudian pindah ke Universitas Sorbonne dan meraih gelar  Phylosopy Doctoral pada tahun 1969 M. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai  agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA  (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta  memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada  tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris,  sampai tahun 1969. Arkoun sekarang tinggal di Paris dan menjadi seorang Profesor Emeritus dalam Islamic Studies di Universitas Sorbonne,  Paris-Perancis.  Pada November 1992 di Yogyakarta. Ia sempat memberikan  ceramah di UIN Yogyakarta dan  Jakarta di depan forum LKiS dan beberapa lembaga lain.

Karya-karya Muhammad Arkoun

Di antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam Today, Mapping Islamic  Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary Islamic  Thought, al-Turath: Muhtawahu wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu,  Min al-Ijtihad ilal al-Naqd al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa  Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li al-Fikr al-Islami, al-Quran  min al-Tafsir bil Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila  Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, The Concept of   Authorithy in Islamic Thought,dan Religion and Society.
Muhammad Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur Jeffery dalam  mendekontruksi  al-Quran. Arkoun dalam melakukan serangan terhadap  otensitas al-Quran menggunakan dua konsep yaitu konsep dekonstruksi dan  konsep historitas
Konsep Dekonstruksi
Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai  sebuah strategi terbaik karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti  sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci”. Strategi ini  berawal dari pendapatnya bahwa sejarah al-Quran sehingga bisa menjadi kitab  suci dan otentik perlu dilacak kembali. Dan ia mengklaim bahwa strateginya  itu merupakan sebuah ijtihad
Dengan Ijtihadnya ini Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan  menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya  bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap  al-Quran. Dan menurutnya juga, pendekatan ini akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang al-Quran,  dengan alasan karena metode ini akan membongkar konsep al-Quran yang selama  ini telah ada.
Berdasarkan pendekatan tersebut Arkoun membagi sejarah al-Quran menjadi dua  peringkat: peringkat pertama disebut sebagai Ummul Kitab, dan peringkat  kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan al-Quran. Pada peringkat  pertama wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya di luar jangkauan manusia,  karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz. Wahyu (Preserved Tablet)  dan berada di sisi Tuhan, dan yang bisa diketahui manusia hanya pada  peringkat kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “al-Quran edisi dunia” (editions terrestres) namun menurutnya al-Quran pada peringkat ini telah  mengalami modifikasi dan revisi dan subsitusi.

Konsep Historitas

Dan tentang konsep historitas, Arkoun mengatakan “bahwa pendekatan  historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya sesuai untuk  warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua  sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu  kecuali menghubungkannya dengan konteks historis.”
Arkoun juga menyatakan bahwa Strategi terbaik untuk memahami historisitas  keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh idiologis. Sehingga  menurutnya, metodologi multidisiplin dari ilmu sejarah, sosiologi,  antropologis, psikologis, bahasa, semiotik harus digunakan untuk mempelajari  sejarah dan budaya Islam. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan  saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini  untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang  kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Arkoun adalah orang yang secara tuntas mencoba menggunakan  hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya,  Arkoun meminjam teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan  tiga level tingkatan wahyu.
Pertama Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui  oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab.   Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an,  hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam  bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai  macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang  dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua.  Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Qur’an lebih suci,  lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk  tertulis. Sebabnya, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat status  al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan  menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu tidak layak  untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma baru tentang hakikat  teks al-Qur’an. Pendekatan historisitas Mohammed Arkoun justru  menggiring­nya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun  mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga  mengakui .kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan AI-Qur’an, tetapi bentuk  itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Dan  bisa kita simpulkan bahwa pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun  justru menggiringnya kepada sesuatu yang tidak historis. Sesuatu yang tidak  mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum Muslimin. Padahal, sepanjang zaman  fakta historis menunjukkan, kaum Muslimin dari sejak dulu, sekarang dan akan  datang, meyakini kebenaran al-Qur’an Mushaf `Uthmani.
Pendapat Arkoun bahwa al-Quran yang asli itu tersimpan di Lauh al-Mahfudz  diikuti oleh Dawam Raharjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi  Islam di Indonesia pada tahun 1960-an, ia menyatakan: “Ketika turun kepada  Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami  transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula  dalam bentuk transkip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku.
Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah  Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam  surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun disitu terdapat peranan dan  campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat  sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistrosi wahyu yang semula tersimpan di Lauh  al-Mahfudz itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits yang mengandung  ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah  memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang  controversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang  sangat controversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang  benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu  terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui  kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”
Begitulah pemikiran Arkoun yang banyak diikuti oleh kalangan liberal. Tentu saja pemikiran tersebut perlu dikritisi karena tidak dikenal dalam tradisi keilmuan para ulama Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar