Minggu, 04 Maret 2012

NU dan Peneguhan Islam Moderat


NU dan Peneguhan Islam Moderat
Oleh: 
KH. Said Aqiel Siradj
Penulis adalah Ketum PBNU


NU yang mengusung nilai-nilai ahlus sunnah waljamaah (Aswaja) dikenal sebagai organisasi mayarakat Islam berwatak kebangsaan. Watak kebangsaan itu sesungguhnya telah melekat pada sejarah dan jati dirinya. Ciri khas NU sejauh ini tampaknya memang hanya dilihat dari manifestasinya dalam bentuk toleransi dalam kehidupan beragama. Padahal, sikap tersebut hanya salah satu ekspresi paham kebangsaan NU.
Kelahiran NU merupakan bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa, yakni sebagai wujud dari kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban besar. Para pendiri NU dengan keunggulan komparatifnya secara gigih dan penuh perjuangan mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Di sini, kita temukan titik koordinatnya, ketika kita sama-sama membincangkan idealisasi NU, yaitu NU yang reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi oleh spirit moral yang bercahaya.
Artinya, NU yang dinamis merupakan instrumen penting bagi proses perwujudan negeri yang berperadaban nan bercahaya. Dan karena itu, dinamika internal dalam tubuh NU tidak bisa kita soroti hanya sebatas dari perspektif doktrin ke-NU-an, soal tarik menarik perbedaan tafsir atas Khittah NU, atau keberadaan kelompok-kelompok politik saja, namun juga harus dilihat dalam totalitasnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa.
Jiwa kebangsaan NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya , dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Dalam perspektif kebangsaan semacam ini, lokalitas mendapatkan tempat terhormat, yang dalam nasionalisme Eropa cenderung digeser atau bahkan disisihkan ke batas akhir kepunahan atas nama modernitas.
Kepatriotan yang bersifat kultural tersebut perlu ditegaskan karena kelahiran NU sejak awal berdirinya tidak pernah menyingkirkan nilai-nilai lokal. Sebaliknya, ia berakulturasi dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Proses akulturasi tersebut telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi, dan kepercayaan, warisan budaya Nusantara.
Dalam kaitan ini dengan sendirinya NU memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup seperti inti dari paham keislaman NU itu sendiri.
Latar belakang itulah yang mendorong kalangan kiai pesantren—yang menjadi penggerak pembentukan organisasi NU—menjadi sangat prihatin dengan kemunculan penguasa Wahabi di Arab Saudi pada awal abad ke-20 yang cenderung memaksakan pemberlakuan paham keislaman puritan-radikal dan tidak toleran terhadap perbedaan yang bisa berimplikasi menimbulkan disharmoni dalam kehidupan beragama di tanah air. Kalangan pesantren khawatir, petilasan makam Nabi Muhammad dan simbol-simbol keterkaitan Islam dengan masa lalu dihancurkan atas nama bidah yang akan berdampak melahirkan diskriminasi dan mengganggu kehidupan beragama.
Meneguhkan Islam Moderat
Kemampuan NU melakukan praksis, dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur.
Patut dicatat juga bahwa perjalanan NU bermula dari sebuah kelompok kajian pencerahan “Tashwirul Afkar” (1914), kemudian berkembang menjadi Nahdlatul Wathan (1916), Nahdlatut Tujjar (1918), dan akhirnya menjadi Nahdlatul Ulama (1926). Hingga kini, jati diri NU hakikatnya tidak pernah berubah atau memudar, yakni mengembangkan arus utama (mainstream) keindonesiaan yang dijiwai semangat keislaman secara inklusif dan kultural.
Nasionalitas NU tegas ditampakkan pada 1945, saat negara baru Indonesia terpepet dan menghadapi tantangan yang akan dijajah kembali. Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rais Akbar NU pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan kaum santri berperang menghadapi Sekutu/Inggris telah membakar semangat rakyat, khususnya warga nahdliyin, untuk terlibat mempertaruhkan nyawa guna mempertahankan kemerdekaan RI dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Besar sekali andil NU dalam pertempuran tersebut, meskipun kalangan sejarawan enggan mengakuinya.
Di era reformasi ini, NU harus mampu menjadi hati nurani bangsa. Di saat warga bangsa banyak gila dengan harta, jabatan, dan haus kekuasaan, NU tampil dengan pesan-pesan moralitas dan juga keilmuan. Di sinilah, jati diri NU akan tampil sebagai pelopor bangsa Indonesia serta percaturan bangsa-bangsa di dunia akan semakin tampak.
Apa yang menjadi kiprah NU di negeri ini bukanlah “kebetulan sejarah”, melainkan merupakan “keniscayaan sejarah” yang terpanggil bersumberkan pada inspirasi keagamaan. NU yang dulu dikenal sebagai organisasi “kiai klompenan”, organisasi tradisional atau sejumlah sinisme lainnya, ternyata telah membuktikan eksistensinya sebagai organisasi yang besar.
Besar bukan semata jumlah pengikutnya, tetapi juga besar dalam andilnya memberikan sumbangsih pemikiran sekaligus gerakan yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini. Hingga kini, NU tetaplah organisasi Islam moderat dan akan terus memperteguh dan mengembangkan keislaman yang moderat dan universal.
Dalam suasana menyeruaknya gerakan dan pemikiran Islam radikal, banyak kalangan kini melirik pentingnya peneguhan dan pengembangan yang lebih luas bagi kiprah Islam moderat. Gerakan atau paham Islam moderat diyakini akan berperan penting karena sesuai dengan kultur dan watak mayoritas Muslim Indonesia. Moderatisme Islam sangat penting untuk mengimbangi gejala radikalisme yang kian marak. Islam menentang keras radikalisme, militanisme, dan terorisme dalam segala bentuknya. Sebab, semua itu sangat membahayakan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan.
Inilah momen peneguhan bagi NU sebagai Islam moderat dan benteng bagi NKRI. Apalagi, saat ini Indonesia tengah diganggu oleh maraknya kelompok Islam puritan dan radikal yang hendak mengoyak-ngoyak eksistensi keindonesiaan yang telah ditegakkan oleh pendiri bangsa. Apa pun bentuk radikalisme, bagi NU bila melakukan perlawanan merupakan bentuk “bughot” atau pemberontakan terhadap NKRI yang sah.
SUMBER: Koran-Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar