Rabu, 05 Juni 2013

MUHAMMAD YAMIN: PERINTIS PERSATUAN KEINDONESIAAN




Rabu, 21 April 2010


Mari Membaca Isi (Ratusan) Novel Sastra Indonesia!

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Oki Toshio, seorang novelis diburu karena mengangkat tokoh Otoko, perempuan masa lalunya yang kemudian menjadi pelukis perempuan terkenal. Kisah Okio ini kemudian ditarik pada kegetiran masa lalu Oki. Oki kemudian pergi ke desa itu, mendengarkan lonceng di kuil, mengingat Otoko.

Ada lagi kisah lain, tentang seorang calon rahib di sebuah kuil mengalami pengalaman sekuler – termasuk bersetubuh dengan pelacur – lalu akhirnya mendulang kegelisahan. Di puncak kegelisahan itu. Si tokoh, kemudian membakar kuilnya dengan wajah yang teramat dingin.

Kedua novel ini bukan novel Indonesia melainkan novel dari negeri Jepang. Kedua karya ini adalah novel dari Beauty and Sadness Yasunari Kawabata dan The Temple of the Golden Pavilion Yukio Mishima.

Selain karya dari Jepang ini, banyak novel dari Cina (Gao Xingjian), atau India (Rabindranath Tagore) yang melekat kuat dalam benak.

Kaya Tema

Paparan ini sengaja dikedepankan untuk melihat bagian negara Asia lainnya yang memiliki kekayaan dalam tema pada novelnya. Sastra memiliki banyak alat untuk mendedah persoalan, untuk bertahan lengket di dalam pikiran. Baik lewat tema kultural, spiritual, sosial, filosofi, politik, bahkan gender! Tapi, di luar tematik, jangan lupa bahwa novel punya "darah" berupa bahasa, metafora, gaya yang khas, yang juga menarik buat pembicaraan.

Ada novel yang memperlihatkan kekhasan bahwa narator tak punya opini dan detail dibiarkan dalam peristiwa – baik peristiwa tokoh atau peristiwa alam–kisah aktivis muda bersama ibunya dalam "Bunda" Maxim Gorki, seorang tahanan politik yang pulang namun tak diterima keluarga bahkan kekasihnya di novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer, atau metafora bahasa dalam paragraf yang sangat panjang pada One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez.

Di antara pikatan novel-novel klasik baik dari Barat, Eropa, Asia, bahkan karya sastra (novel) Indonesia masa Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1966 – meminjam periodisasi HB Yassin – karya sastra pada masa belakangan (setidaknya 1990-an), juga kaya dalam membongkar persoalan relung kehidupan manusia, ataupun di relung kehidupan sosial.

Cobalah sesekali melawan arus dan giringan kritikus atau esais (bahkan jangan percaya pada esai ini sekali pun), dengan membaca karya sastra yang "sedang tak diwajibkan", atau "yang sedang tidak trend".

Toh, kritikus dan esais bukan dosen yang punya kurikulum wajib membaca buat pencinta sastra! Siapa tahu ada yang "lengket" dalam ingatan Anda.

Lihatlah betapa variatifnya novel-novel yang saat ini masih "in" di Indonesia dalam mengangkat persoalan manusia dan masyarakat sebagai tema. Ada kisah tentang seorang demonstran di masa reformasi yang bertemu ayahnya mantan tentara di masa PKI yang menjadi gembel dalam "Tapol" Ngarto Februana. Atau, cerita seorang jurnalis internet di tengah pergolakan pra-Mei 1998 pada Anonim, My Hero karya Sunardian, seorang pemuda Hurlang yang berjuang dengan ibunya bernama Molek atas polusi air di Danau Toba pada Jamangilak Tak Pernah Menangis Martin Aleida.

Arleta melakukan pencarian spiritual lewat filosofi waktu pada novel Memburu Kalacakra Ani Sekarningsih, tokoh wayang Boma Narakasura yang muncul di masa modern pada novel Yanusa Nugroho atau Margio yang sadis di tengah keluarga kisah keluarganya yang juga tragis pada Lelaki Harimau Eka Kurniawan.

Persoalan yang terbeber di atas ini masih mengarah pada kisah yang lebih mendetail pada persoalan karakter, penokohan atau konflik yang terbangun, dengan latar sosio-kultural yang berbeda satu sama lain.

Banyak karya (lagi) yang masih bisa digali untuk hal lainnya, tentu lebih luas daripada sekadar memerangkap karya sastra dengan nilai-nilai tertentu yang telah Anda pasang sebelumnya, sebagai pengamat, sebagai kritikus, bahkan sebagai jurnalis atau penerbit sekalipun.

Cobalah tengok bagaimana uniknya alur dalam karya Dadaisme (Dewi Sartika), Supernova (Dewi Lestari), Tabula Rasa (Ratih Kumala), Tanah Api (S. Jai), Payudara (Chavchay Syaefullah). Alur yang tak linier, berputar-putar dan bolak-balik!

"Wisata" Karya

Pada kedua unsur intrinsik – alur dan kisah – tadi, memang bukan membuat karya tersebut jadi adiluhung, garda depan. Juga bukan karena orang lain harus membaca semua karya yang bertumpuk di toko buku.

Hanya, betapa miskinnya sebuah pembacaan tanpa pernah melakukan "wisata" karya sebanyak-banyaknya. Apalagi sebuah penilaian untuk menentukan karya sastra (novel) yang terdepan.

Ada lagi hal yang dicermati, yaitu bagaimana cara pembaca untuk menjinakkan karya bermetafora, yang puitis, pada novel Lorong ke Pusar Rumah oleh Ari MP.

Tamba atau Menggarami Burung Terbang oleh Sitok Srengenge. Ini juga bukan rekomendasi untuk sebuah kemenangan atas karya sastra yang satu atas karya sastra yang lain.

Bila sempat pusing dengan banyaknya karya yang ada, buku yang tersedia, tetap saja itu bukan jadi alasan untuk tak membaca banyak lagi karya yang bermunculan saat ini. Di tengah karya yang bagai "air bah", ujar Martin Aleida, kita membutuhkan kritikus. Walau sebenarnya tak hanya kritikus, tapi juga apresiator dari sebuah pembacaan, walau tanpa beban teori (sastra) yang berlebihan.

Seperti ketika Wang Meng menyebutkan ada enam ribu lebih sastrawan di Cina, di Indoensia tampaknya jumlah dua ribu akan terus bertambah, akan banyak "karya sastra yang terlewatkan oleh sejarah". Bukan karena karyanya yang tak bermutu, tak kuat dengan bahasa, karakter, penokohan atau konflik, tapi karena terlalu sedikitnya kritikus, pengamat, atau bahkan "pembaca awam" sekalipun.

Barangkali kesusasteraaan Indonesia, untuk kali ini novel, memang tak hanya mengharapkan kritikus yang arif, yang membeli puluhan bahkan ratusan buku yang ada untuk dia koleksi. Barangkali kita tak hanya memerlukan pembaca yang arif, ulet, tekun melihat karya sastra yang serupa gulungan bola salju ini, tapi juga pembaca yang berani bicara, berkomentar, berapresiasi dengan perbedaan spesialisasi ilmu yang dimilikinya.

Maka, yang kita temukan "ternyata" bukan cuma persoalan seks bahkan ideologi. Kita akan temukan kenikmatan wacana, berbagai tema, bisa berupa kegusaran, ketidaksetujuan atau pujian. Adalah semborono memang, bila hanya baik atau buruk, sedangkan nilai dalam pengertian pengamat sastra Rene Wellek dan Austin Warren (1989), merupakan pengalaman estetik dan juga bisa dianggap alat ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Seorang penulis sastra pernah bertanya kepada seorang penyair Sutardji Calzoum Bacri, "Benarkah sastra begitu sempit, serupa jam kuno yang bandulnya hanya mengarah ke kanan dan ke kiri?" Si penyair mengangguk dan merasa pesimistis terhadap kondisi yang ada saat ini. Kalau demikian, betapa miskinnya nasib penulis generasi muda yang terjepit pada wacana sempit. Tentu saja, bila pembaca atau pengamat rela mengorbankan waktunya untuk membaca puluhan bahkan ratusan karya sastra, tanpa pandang bulu. Dari romantisme, balada, kultural, bigorafi imajiner, tuntutan sosial, permainan bahasa, cyberspace, gender, bahkan ideologi. Selamat datang di rimba belantara sastra Indonesia!

Selasa, 20 April 2010


Sastra Kampus, Sastra Underground

Saut Situmorang
http://sautsitumorang.blogspot.com/

Dalam perbincangan tentang sastra Indonesia di dalam maupun di luar dunia akademis, terutama di media massa, kita akan selalu mendengar tentang beberapa jenis sastra dalam dunia sastra kita. Ada sastra koran, sastra majalah, sastra cyber(punk), sastra buku, sastra sufi, sastra pesantren, sastra buruh, bahkan akhir-akhir ini sastra Peranakan-Tionghoa, sastra eksil dan sastrawangi. Kalau bukan medium tempat karya sastra dipublikasikan, maka jenis manusia yang memproduksi karya merupakan kategori pembeda pada pemberian nama-nama sastra tersebut, dan nyaris tak ada definisi yang mampu diberikan sebagai bukti tentang karakter-khusus di luar kedua faktor di atas yang dimiliki jenis sastra tertentu yang akan membuatnya berbeda dari jenis sastra lainnya hingga layak mendapat kategori tertentu dimaksud. Walaupun begitu, perbincangan yang terjadi baik di kalangan sastrawan maupun “pengamat sastra” tersebut, sepanjang pengetahuan saya, selalu luput untuk juga membicarakan sebuah fenomena menarik yang eksistensinya sudah cukup lama ada dalam sejarah sastra Indonesia, yaitu karya-karya yang dihasilkan oleh mahasiswa-sastrawan, atau apa yang saya sebut sebagai “sastra kampus” dalam esei saya ini.

Kalau kita membaca biodata para sastrawan Indonesia, baik di halaman khusus tentang itu di buku-buku para sastrawan tersebut maupun dalam buku-buku “leksikon/pintar” tentang sastra Indonesia, maka segera akan kita temukan bahwa tidak sedikit sastrawan Indonesia, khususnya sejak Angkatan 66, mulai serius mempublikasikan karya mereka waktu mereka masih berstatus mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka sudah terkenal semasa mereka masih mahasiswa. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair “Angkatan 66” berdasarkan sajak-sajak yang dikumpulkannya, bersama Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn. dan lain-lain, dalam antologi Manifestasi (1963) ?yang kemudian diterbitkan ulang sebagai antologi-tunggalnya Tirani (1966) dan Benteng (1966)? di masa dia dan Goenawan Mohamad masih berstatus mahasiswa. Goenawan Mohamad sendiri pada masa itu lebih terkenal sebagai eseis berdasarkan esei-esei sastranya yang mendapat Hadiah Pertama dari majalah Sastra (1962 dan 1963). Banyak contoh lain yang bisa disebutkan terutama sejak periode 1980an.

Lantas, kenapa kita tidak pernah mendengar atau membaca pembicaraan tentang karya-karya sastra produk dunia kampus ini? Apakah kesan yang ditimbulkan oleh istilah “mahasiswa” telah membuat persepsi atas karya-karya mereka menjadi kurang begitu serius apalagi kalau dibandingkan dengan “sastra eksil” misalnya? Faktor keangkeran sebuah istilahkah yang membuat perbincangan atas istilah tertentu menjadi terasa lebih intelektual dan relevan, dan sebaliknya pada istilah lain, walau argumentasi yang disodorkan sebagai pembelaan atas penciptaan/pembicaraan atas istilah dimaksud tak lebih dan tak kurang cuma berkisar di antara kedua faktor medium publikasi dan jenis manusia penghasil produk karya belaka? Saya ambil contoh apa yang disebut sebagai “sastra eksil” Indonesia itu.

Sebuah buku bungarampai puisi berjudul Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil diterbitkan oleh Amanah-Lontar (Jakarta) dan Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (Amsterdam) pada April 2002. Buku tersebut mengumpulkan sajak-sajak limabelas penyair dan diklaim oleh Asahan Alham, Ketua Dewan Redaksi buku, sebagai “sastra eksil Indonesia”. Buku tersebut secara umum bisa dikatakan sebagai satu-satunya buku yang terang-terangan mengklaim eksistensi dari apa yang disebut sebagai “sastra eksil” sebagai warga sastra Indonesia. Klaim eksistensial seperti ini, tentu saja, sah-sah saja untuk dibuat, asal ada produknya. Membaca kata pendahuluan yang ditulis oleh Asahan Alham untuk buku Di Negeri Orang tersebut ternyata tidak menjelaskan apa-apa tentang klaim eksistensialnya atas keberadaan “sastra eksil Indonesia” itu. Malah kata pendahuluannya itu terkesan cuma sebuah pleidoi editorial bernada rengekan untuk minta diakui kebenarannya. Asahan Alham misalnya belum apa-apa sudah menulis bahwa, “Kalau kita berpandangan bahwa sastra suatu bangsa adalah kekayaan bangsa itu sendiri, sudah tentu sastra eksil adalah juga sebagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena dianggap cacat tidak molek, tidak cerdas, cuma akan mempermalu diri sendiri.” Bagaimana kita yang ingin mengetahui apa itu “sastra eksil Indonesia” bisa tercerahkan dengan pernyataan seperti ini?! Bukankah, kalau saya tidak salah memahaminya, justru buku Di Negeri Orang itulah yang membuat klaim tentang adanya apa yang Dewan Redaksinya sebut sebagai “sastra eksil Indonesia” itu! “Sastra eksil Indonesia itu wujud dan akan ditulis oleh sejarah,” demikian asersi Asahan Alham, tanpa sedikitpun merasakan ironi dalam pernyataannya tersebut.

Seperti yang sudah pernah saya tulis dalam kesempatan lain tentang topik yang sama, ketidakmampuan Dewan Redaksi Di Negeri Orang untuk memberikan pengertian definisi atas apa yang mereka klaim sebagai “sastra eksil Indonesia” itu telah menyebabkan terjadinya sebuah kekacauan editorial, yaitu absennya Sitor Situmorang dari daftar penyair “sastra eksil Indonesia” tanpa penjelasan apapun. Kalau definisi istilah “sastra eksil”, misalnya, dilihat dari faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing sebagai faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu, di mana dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan baik oleh paksaan negara secara resmi maupun karena pilihan pribadi, maka Sitor Situmorang, dan Wing Kardjo, juga mesti dimasukkan sebagai penyair eksil Indonesia. Sajak-sajak yang mereka tulis dalam rantau di negeri orang yang cukup lama masanya itu (bahkan Wing Kardjo, seperti Agam Wispi, juga meninggal di dunia eksil) merupakan wajah lain dari dan sekaligus memperkaya sastra eksil Indonesia, ketimbang sekedar pada yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri karena perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Hubungan antara status sebagai “mahasiswa” dan sebagai “sastrawan” yang menjadi ciri-khas para penulis “sastra kampus” sebenarnya bisa menjadi sebuah isu penelitian yang menarik. Misalnya, adakah status sebagai “mahasiswa” perguruan tinggi di Indonesia itu membuat jenis karya yang dihasilkan cukup berbeda dari mainstream karya sastra Indonesia? Sebuah puisi, misalnya, yang ditulis oleh “mahasiswa” apakah mempunyai kecenderungan realis-sosial, lebih peduli pada apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya mungkin dikarenakan mahasiswa itu pada umumnya lebih idealis dibanding kelompok elite terpelajar lainnya? Kalau puisi yang ditulis “mahasiswa-sastrawan” memang cenderung bersifat realis-sosial, isu-isu apa saja yang merupakan isu dominannya? Korupsi, ketidakadilan sosial, kemiskinan? Dan bagaimanakah bentuk ekspresi yang dipilih dalam penulisannya: sajak protes, pamflet penyair, atau masih berbentuk puisi lirik yang masih mempedulikan fungsi bahasa metaforik ketimbang bahasa slogan?

Dari awal sejarahnya di awal abad 20 sampai awal abad 21 ini, sastra Indonesia bisa dikatakan secara umum merupakan sastra realis. Novel-novel yang ditulis oleh para “penulis Sumatera” yang kebanyakan berasal dari provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sangat kental dengan isu-isu lokal terutama dengan konflik antara tradisi dan modernitas. Novel Sitti Nurbaja Marah Roesli misalnya menjadi sangat terkenal justru karena menggambarkan kekalahan modernitas yang dibawa kolonialisme Belanda lewat dunia pendidikan yang diwakili oleh kematian tokoh-tokoh utama novel tersebut. Novel Atheis Achdiat K Mihardja yang merupakan novel pertama setelah Indonesia merdeka juga masih membela tradisi vis-à-vis modernitas. Kecenderungan memenangkan tradisi dalam konfliknya dengan modernitas yang dibawa kebudayaan Barat itu merupakan motif sangat dominan dalam realisme sastra Indonesia khususnya dalam novel dan mulai agak dilawan dalam novel-novel eksistensialis Iwan Simatupang dan terutama dalam karya puncak fiksi Indonesia yaitu Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer.

Cerpen Indonesia juga penuh dengan konflik antara tradisi dan modernitas ini. Hanya di cerpen-cerpen berlatar Eropa Sitor Situmorang, cerpen-cerpen eksistensialis Iwan Simatupang, dan lagi-lagi dalam cerpen Pramoedya Ananta Toer terjadi anomali dalam kesukaan sastrawan Indonesia membela tradisi budayanya.

Puisi Indonesia agak berbeda. Bisa dikatakan cuma puisi Indonesia dalam sastra Indonesia yang tidak membela tradisi dalam konflik tradisi-modernitas. Puisi Indonesia bahkan cenderung anti-tradisi baik dalam bentuk ekspresi maupun isinya. Kita misalnya melihat diperkenalkannya bentuk “Soneta” dari sastra Itali ke dalam sastra Indonesia oleh para penyair Pujangga Baru. Chairil Anwar memperkenalkan bentuk persajakan yang sangat bebas yang dalam sastra berbahasa Inggris akan disebut sebagai “Free Verse” dan merupakan bentuk sajak paling dominan dalam puisi lirik modern dunia. Terakhir Rendra memperkenalkan “Balada” yang juga berasal dari tradisi sastra berbahasa Inggris dimana narasi alur cerita merupakan unsur paling membedakannya dari tradisi puisi lirik yang dikembangkan Chairil Anwar, disamping bentuk orasi politik yang diberinya nama “Pamflet Penyair”.

Isi dari puisi Indonesia pun merefleksikan bentuknya yang berasal dari khazanah sastra Barat itu. Kecuali pada Amir Hamzah, puisi Indonesia sejak zaman Pujangga Baru penuh dengan vitalitas modernitas Barat dan menjadi ajang ejekan atas kekolotan tradisi. Metafor seperti “meninggalkan laut yang tenang” dari S Takdir Alisjahbana, “Aku ini Binatang Jalang” Chairil, “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang, sampai “Abad yang berlari” dari Afrizal Malna menunjukkan betapa vitalitas modernitas merupakan benang merah dalam perpuisian Indonesia.

Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah motif konflik antara tradisi-modernitas ini masih bisa dilihat dalam karya para “sastrawan kampus” yang menjamur keberadaannya di Indonesia sejak kekalahan rejim Orde Baru di akhir abad 20 itu? Masih kuatkah arus realisme-sosial di karangan-karangan para intelektual muda Indonesia ini yang rata-rata hidup di dunia urban kita?

Kalau “mahasiswa-sastrawan” seperti S Takdir Alihsjahbana, Armijn Pane, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Taufiq Ismail, misalnya, menuliskan reaksi estetik mereka atas kondisi zamannya masing-masing, apakah para “mahasiswa-sastrawan” kontemporer juga merespon peristiwa-peristiwa kontemporer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat mereka? Atau mereka sudah menjadi anomali dalam sejarah realisme-sosial sastra Indonesia itu dan memilih menulis tentang hal-hal pribadi belaka karena persitiwa-peristiwa sosial besar semacam kolonialisme, kemerdekaan, konflik ideologi, sudah tidak lagi menjadi isu-isu intelektual penting bagi elite kampus kita? Kalau hal ini memang yang terjadi, lantas apakah artinya itu dalam konteks sejarah sastra kita yang usianya belum panjang itu? Kalau “mahasiswa-sastrawan” kontemporer sudah tidak tertarik lagi membicarakan isu-isu masyarakatnya yang pascakolonial dan Dunia Ketiga itu, apakah hal ini merupakan refleksi dari kecenderungan besar dalam sastra Indonesia secara umum?

Antologi pertanyaan seperti inilah yang harusnya kita ajukan waktu kita membaca karya “sastra(wan) kampus” agar jenis sastra yang sama uniknya dengan jenis-jenis sastra kita lainnya itu tidak hilang begitu saja dimakan rayap waktu walau sudah puluhan judul buku dari berbagai genre (puisi dan cerpen khususnya) dituliskan atas namanya. Sudah waktunya “sastra(wan) kampus” diangkat dari obskuritas identitasnya dan tidak lagi dianggap sebagai “sastra underground” alias sastra bawah tanah yang sengaja dilupakan. Ini juga akan sekaligus membantu mengurangi krisis kritik sastra yang sudah begitu lama menggerogoti sejarah sastra kita.

Jogjakarta, 2009

Bermain Ski Di Kepala Botak Afrizal Malna

Dwi S. Wibowo
http://sastrasaya.blogspot.com/

Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari. (Afrizal Malna: “dada”)

Naomi srikandi, dalam pengantarnya (Manusia Grogi Mebaca Puisi-Puisi Afrizal Malna) dalam acara launching buku kumpulan puisi afrizal malna yang dicetak ulang oleh penerbit omah sore menyebut bahwasanya membaca puisi-puisi afrizal malna adalah keluar dari taman bacaan sastra yang manyajikan keindahan namun memasuki tong sampah, toilet umum, dan slogan-slogan busuk yang terpampang di kota-kota. Yang justru menyajikan kesan spontan yang acak adul. Tidak seperti kebanyakan penyair lain yang betah berlama-lama membuai diri dalam kenikmatan berbahasa, afrizal justru terkesan meledak-ledak dalam ekspresi berbahasa dalam sajak-sajaknya akan kita jumpai metafor-metafor yang terlampau jauh. Bahkan bisa jadi akan sangat susah dicerna, karena memang kerap kali dalam puisi-puisi afrizal malna terdapat simbolisme-simbolisme yang bisa dibilang baru. Sehingga akan lebih terasa bahwa puisi-puisi afrizal malna sekedar menampilkan imaji-imaji visual yang mengajak pembaca ke sebuah dunia baru yang benar-benar asing dari kenyataan, dan bukan menampilkan pesan-pesan yang ingin disampaikan didalamnya.

Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari, kita akan menemukan puisi berjudul “dada” yang salah satu baitnya berisi begini:

Dada

Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca diri sendiri; seperti anakanak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak, dada;seperti menakuti setiap yang dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa mebaca. Menulis jadi mengapa menulis.

Dalam satu bait puisi di atas terdapat tiga kata “dada”, dan penempatan diksi tersebut yang sepertinya tidak mengarah pada fungsi dada sebagai salah satu organ manusia, sebagai objek mati, namun justru afrizal malna meletakkan kata “dada” sebagai sebuah objek yang hidup seperti halnya menyebut nama orang. Saya sempat menerka demikian, namun perlakuan afrizal malna terhadap diksi “dada” yang demikian tidak hanya dalam puisi “dada” saja namun saya juga menemukannya dalam puisi “abad yang berlari”. Ada kalimat yang berbunyi begini:

Dada yang bekerja di dalam waktu

Di sinipun dada diperlakukan sebagai sebuah subjek hidup yang nyata bekerja. Bisa dibilang ini merupakan metafor yang tidak lazim dipakai dalam puisi di indonesia yang akan lebih banyak mengeksplorasi benda mati untuk dihidupkan dalam bait, bukan terhadap organ-organ manusia yang bisa dibilang benda hidup namun tidak dapat sepenuhnya hidup sebagai objek dalam perilaku berbahasa. Meskipun ada juga penyair lain yang juga mencoba menghidupkan organ-organ manusia, yaitu gus tf, semisal dalam puisinya yang bertajuk “daging akar”, namun di dalam puisi tersebut gus tf tidak mampu sepenuhnya menghidupkan daging menjadi subjek yang seratus persen hidup yang berlaku sesuai fungsinya sebagai subjek, daging dalam puisi gus tf hanya menjadi bulan-bulan untuk hidup namun juga menghidupi kata lain dalam puisi itu untuk menyusun metafor yang indah. Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari afrizal malna melakukan banyak sekali eksplorasi semacam itu. Jadi semacam terjadi proses totalisasi yang berpusat pada subjek dalam puisi afrizal malna, tempat segala objek menjadi subjek, ekspresi suasana hati manusia. Di situ kita menyaksikan sebuah personifikasi subjek, sebuah antroposentrisme (faruk:150). Kumpulan puisi Abad Yang Berlari menampung banyak sekali diksi “dada” mulai dari puisi yang berjudul “dada”, “tanah dada”, sampai “dia hanya dada”. Nampaknya afrizal malna begitu terpesona pada dada hingga ia enggan untuk berjauhan dari dada.

Setelah saya membaca usai buku kumpulan puisi tersebut, ternyata saya menjumpai bahwasanya afrizal tidak hanya mencintai dada, namun ada beberapa diksi yang juga ia perlakukan sama halnya dengan “dada”, melakukan proses antroposentrisme, proses personifikasi subjek. Metafor lain yang ia gunakan ialah “televisi” dan “palu”. Penggunaan metafor “televisi” ini saya pikir menjadi unik karena hampir setiap pemakaiannya, afrizal seperti ingin menyampaikan sesuatu, kalau boleh saya bilang kekaguman terhadap fenomena keluarnya televisi di era 80-an
Yang barangkali masih menjadi benda langka kala itu. Misalnya dalam peutup puisi “lembu yang berjalan” terdapat kalimat seperti ini:

Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri… tak ada lagi, berita manusia.

Televisi seperti merenggut sebagian besar perhatian manusia, manusia tidak lagi berpikir nama, tidak lagi berpikir tempat. Semua telah terenggut televisi. Atau juga dalam puisi “chanel 00” yang sangant pendek,begini bunyinya:

Chanel 00

Sebentar.
Saya sedang bunuh diri.

Teruslah mengaji dalam televisi berdarah itu, bunga.

1983

Unik sekali, pendek namun betapa jelas menggambarkan imaji visual. Afrizal malna merupakan penyair yang cukup peka dengan fenomena sosial di sekitarnya, pemakaian metafor “televisi” sendiri merupakan bagian dari kepekaannya melihat fenomena masyarakat tahun 80-an yang deigemparkan oleh munculnya pesawat televisi. Sedangkan penggunaan metafor “palu” hanya saya dapati pada puisi “abad yang berlari” :

Abad Yang Berlari

Palu. Waktu tak mau berhenti, palu. Waktu tak mau berhenti. Seribu jam menunjuk waktuyang berbeda-beda. Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.

Sama halnya dengan pemakaian metafor “dada”, metafor “palu” digunakan dengan proses antroposentrisme, personifikasi subjek secara total. Dan uniknya lagi, “dada”, “palu” selalu dikombinasikan dengan waktu. Nampaknya afrizal hendak menyampaikan bahwasanya waktu dalam dada sama dengan palu yang memukul-mukul paku (ini hanya terkaan saya saja).

Mengutip K.L. Junandharu dalam sebuah diskusi di yayasan umar kayam, (desember 2009). Bahwasanya afrizal malna menulis puisi yang bertujuan untuk melampaui hukum-hukum kausalitas temporal yang niscaya pada suatu puisi, dan memimpikan satu puisi dimana efek-efek penyejajaran dan keserempakan bisa tercipta. Afrizal malna tidak sekedar mengacak semiotika bahasa, namun ia membawa konsep dasar untuk manampilkan imaji-imaji visual yang baru dan segar lewat pemakaian simbol-simbol dalam metafor-metafornya. Terlepas dari itu semua, Abad Yang Berlari memberikan banyak sekali memberikan petualangan baru dalam ranah bahasa, sebuah permainan yang menarik seperti bermain ski di kepala afrizal yang botak, salah langkah sedikit dalam upaya memahaminya bisa terjebak dalam longsor salju tanda tanya yang mengejar dengan kecepatan ratusan mph dan siap mengubur hidup-hidup.

_ , Yogyakarta, 2010

Catatan Antologi Puisi Ahda Imran

Alex R. Nainggolan*
http://www.suarakarya-online.com/

Jika seorang penyair menulis sajak-sajak sosial, barangkali kita sudah terbiasa. Realitas telanjang tentang carut-marut kehidupan, kebobrokan, kesewenangan, penindasan, kekalahan masyarakat lemah sudah banyak kita dapati dalam berbagai kumpulan sajak. Di deretan itu kita mencatat beberapa nama: W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Thukul, Agus R. Sarjono, dsb. Sebagian besar sajak yang ditulis para penyair tersebut dengan ligat menelantarkan kita pada potret kondisi masyarakat kita, potret yang memang dihadapkan pada kita secara face to face. Ibarat kita bercermin, sebagian besar sajak itu memang terasa, bila kejadian-kejadian tersebut memang KRGsedangKRG berlangsung. Atau barangkali kita sendiri yang sedang mengalami.

Tapi, Ahda Imran lain. Membaca antologi puisi terbarunya Penunggang Kuda Negeri Malam (Akar Indonesia, Mei 2008), saya seperti diajak bertamasya pada sebuah fantasi “aneh”. Rangkaian kata yang ditulisnya lebih “liar” dengan imajinasi yang tak terbendung. Mulanya, saya tak ingin terlibat lebih jauh untuk membaca, tetapi suasana yang dibangun dalam sajaknya begitu menggoda.

Seperti menyeru saya untuk tetap setia menekuni baris-baris sajak selanjutnya. Tiba-tiba saya teringat, ucapan seorang penyair, jika puisi memang ibarat sebuah setrum yang menyentak tubuh. Dengan sekejap buluh kata-kata itu menelusup ke rongga dada. Dan saya tergetar.

Apakah ini hanya sekadar perasaan sentimental saya saja? Saya tak tahu. Mungkin, tak berlebihan jika Haidar Bagir menulis dalam kata pengantar Catatan Pinggir 6, Goenawan Mohammad dengan mengutip sabda Heidegger, jika wacana berpikir yang asli adalah puisi, melalui puisi, kita menjadi sadar bagaimana bahasa, dalam berbicara, mengimbau segenap unsur (dunia). Bahasa dengan citraan dalam puisi terasa lebih meyakinkan. Kata-kata dengan sendirinya dapat bergerak, menjangkau seluruh pengalaman penyair melalui imajinasi yang dipungutnya. Untuk itu, Ahda Imran, saya kira memang piawai mengolahnya.

Sajak-sajak yang ditulis Ahda, seperti suasana keseharian. Meskipun jalinan kalimat yang dibentuknya terlebih dahulu dibubuhi, dipermak, di-make up oleh imajinasi yang penuh dengan cekam. Justru dari tali-temali itu, sajak-sajaknya lebih banyak berbicara. Menyentuh setiap sisi purba kehidupan, yang ternyata tidak melulu baik melainkan dipenuhi dengan muslihat. Ia membangun suasana yang baru dari realitas, berbeda dengan sajak-sajak para penyair lain yang memunyai tema kritik sosial.

Membaca kumpulan puisi Ahda, saya seperti tergeliat, betapa puisi memang dapat menjangkau segala hal yang serba tak niscaya, remeh-temeh, terpinggirkan, tak mungkin, juga gelap. Kata-kata dalam puisi Ahda seperti sebuah gumam lirih, yang tak pernah selesai sebenarnya. Ia membangkitkan semua energi yang ada. Rangkaian imajinasi yang terangkum, barangkali hampir sama dengan sajak-sajak yang ditulis Indra Tjahjadi. Dipenuhi dengan kecemasan sekaligus berurusan dengan ketakutan. Bagaimana bisa membayangkan peristiwa semacam ini: Ada selalu malam ketika anakku/ bertanya tentang para leluhur, dan kota/ yang melayang-layang itu. Selalu tak pernah/ ada yang sanggup kukisahkan, selain membakar/ seluruh pohon yang tumbuh di punggungnya,/lalu membuat upacara persembahan. Menanak/ air sungai bercampur sisik ular, /dan diam-diam// menuangkannya ke mulut cucuku/ (Sajak Silsilah hal. 30) atau Setiap hari engkau bergerak,/menyelinap ke balik bajuku, menghisap/tulang sumsum dan kelaminku, menjadi kata-kata,/yang membuatku lebih riang dari hanya sekadar/ menjadi seorang lelaki. Bahkan ketika akhirnya// engkau meninggalkanku (Sajak Setiap Hari hal 47).

Yang saya catat ketika membaca kumpulan puisi Ahda ialah keterpukauan dirinya pada suatu hal, terutama benda. Begitu kata terasa menjadi sebuah obsesi bagi dirinya; semacam rambut, angin, anjing bermata satu, handphone, sisik, ular, sungai, parlemen, nama-nama, orang-orang. Pun sebagian besar sajaknya hanya ditutup dengan sebaris kalimat. Hanya beberapa sajak yang tidak.

Obsesi kata ini akhirnya menyisakan pengulangan dalam sajak-sajak selanjutnya. Yang memang jika direnungkan terkesan berhubungan. Atau memang ini merupakan ciri khas dari sajak-sajak Ahda?

Yang jelas, Ahda dalam sebagian besar sajaknya lebih terasa sebagai puisi gumam. Namun ia berusaha untuk melawan terhadap kenyataan-kenyataan yang terlihat pahit. Semua imajinasi yang hadir dalam puisinya bersinggungan dengan pernyataan-pernyataan perlawanan. Perlawanan yang sebenarnya tak juga pernah selesai. Simak saja dalam “Grande Peur” : Bernafas di tengah pasar ketika harga-harga/ berteriak seperti penguasa yang kejam. Koran/ di tanganku terjatuh, menyimpan dirinya dalam tangisan/ kata-kata tumbuh bersama peluru, juga para penculik,/ penimbun minyak goreng dan slang-slang infus demam/berdarah// yang ditutup dengan: Inilah negeri dengan keajaiban yang tak selesai,/ menyimpan dirinya menjadi kenangan yang menyeramkan,/ seperti gelap yang mengepung Blitar dan Kemusuk// Rangkaian sejarah kelam yang pernah terlintas di negeri ini terasa masuk ke dalamnya. Dan itu tak luput dicatat Ahda. Ia menggenapi semua keputus-asaan yang singgah di tengah masyarakat.

Gumam puisinya seperti menebarkan ketakutan yang dingin. Kesendirian bergabung di setiap jalinan kalimat puisinya. Kesunyian sebagai penyaksi yang merekam segenap ketakutan tersebut. Rasa takut yang seperti menyemut dan ia seperti ditikam oleh kesunyian yang melangut. Namun Ahda seperti ingin merampasnya dalam puisi. Simak saja “Kutulis Lagi Sebuah Puisi” : Kutulis lagi sebuah puisi/ mungkin untukmu, mungkin juga bukan/ dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama/ yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak/ pergi. Tidak bersama siapapun, aku telah berada/ di lubuk malam. Ingatanku padamu menjadi air/ yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari/ yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun/.

Hanya satu yang agak mengganggu dalam kumpulan puisi ini sajak “Di Pintu Angin” tercetak dua kali; di halaman 17 dan 34.

Dan keduanya sajak itu sama isi, maupun tipografinya. Terlepas dari itu, saya kira Ahda telah menyuguhkan suatu gaya puisi yang baru dalam khazanah kita. Perasan kata-kata dalam puisinya dengan hingar-bingar imajinasi puitiknya seperti menghidupkan kesadaran diri kita dari lubuk yang terdalam. Jauh ke palung dada. Terasa benar, begitu “sakit” ketika penyair ini menulis puisi, bahkan untuk satu buah puisi sekalipun.
_______
*) Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya***

Anak Dari Masa Lalu

Ahmad Kekal Hamdani
http://ahmadkekalhamdani.blogspot.com/

kaum gelandangan yang mendengkur pulas seperti
huruf kanji kumal di emper-emper pertokoan cina
tak pernah terjamah tangan-tangan puisi kita
sebab tak mengandung nilai sastra
-Wiji Tukul

*
Tentu saya tidak pernah benar-benar ingat, kapan bermula pertemuan saya dengan sebuah buku. Buku yang kemudian membawa saya entah di alam mana saya pernah hidup. Di atas lembaran-lembaran dengan simbol-simbol aneh itu; sejarah, peristiwa dan tragedi seperti telah menjadi dirinya sendiri. Siapa menyangka, bahwa saya merasa mengenal nenek moyang lewat sebuah buku? Nama-nama kota yang belum pernah saya singgahi, bagaimana orang-orang di dalamnya berinteraksi, ada banyak hal dalam buku, dan tidak mudah menceritakan semua dengan perasaan gembira atau miris-perih terhadap itu semua. Tentu kau boleh tersenyum kecut, pun tiba-tiba memelukku! Seperti kita pernah dibesarkan dari aksara dan paragraf yang sama, sebuah sepatu boat, palu-arit, kaligrafi bertuliskan Allah, dan sepuntung rokok yang padam nyalanya.

Namun, setelah beberapa tahun saja saya berdiam di Yogyakarta, dengan akses buku-buku dan informasi yang deras mendera. Tiba-tiba saya semacam mual intuitif, kepekaan saya tiba-tiba tergantikan oleh data-data dan angka-angka yang busuk. Mulanya, mungkin karena tidak terbiasa. Tapi mengapa saya selau merasa mengidap rasa haus dan kelaparan yang tak wajar, perut saya terus saja memuntahkan segalanya. Dan sialnya, di sinilah letak kelebihan –bila tak mau dikatakan kekurangan- dari sebuah kota besar dengan tingkat penduduk yang padat, begitu banyak dengan pabrik-pabrik yang terus saja mendaur ulang buku-buku, membakarnya kembali dalam diskusi dan forum-forum yang ganjil, yang memiliki pintu dan jendela. Buku-buku itu semacam membawa sebuah pesta besar yang tidak pernah selesai dari masa lalu. Yang riuh, dan tidak saya temukan ketenangan di dalamnya.

Bila bumi ini memiliki dua buah kutub, utara dan selatan. Maka sebuah buku juga memiliki sebuah kutub, yakni timur dan barat. Buku terkadang memang membuat saya tahu tentang masa lalu, namun demikian ia juga tidak membantu saya bekerja untuk masa depan. Ia (buku) adalah ruang isolasi yang mempunyai elastisitas tersendiri dalam membangun wacana dan kenangan-kenangan dalam bentuk teks dan bagan-bagan yang rumit. Saya jadi berpikir, mengapa di negeri ini dipenuhi dengan pabrik-pabrik yang kotor dan jorok, sebab setiap waktu kita hanya melahirkan sarjana-sarjana yang mengkonsumsi buku tetapi tidak dapat keluar dari teks, sembari terus saja megikuti jargon sarjana filsuf barat –Derrida- yang mengatakan segala sesuatu ada di dalam teks! Sungguh, ini pertama kali saya merasa menyesal memasuki studi filsafat dan hanya terperangkap dengan buku-buku. Saya pun, tiba-tiba ingin mengingkari diri saya sendiri, yakni sebagai penyair yang menganggap teks sebagai jagad raya, tempat segala-galanya hidup! Saya ingin menulis dengan melebamkan ‘daging’, dan sesekali mengucurkan ‘darah’. Daripada slogan Derrida yang mengatakan “tak ada apa-apa kecuali teks” saya lebih memilih kata “hanya ada satu kata, lawan!” milik Wiji Tukul.

Ketika modernisme meletus di barat, orang-orang latah berlari ke barat. Ketika Posmodernisme juga menyala di barat, orang-orang juga kembali latah ikut-ikutan ‘ancur-ancuran’. Ada juga sebagian yang tenggelam dalam kemegahan imperium raja-raja masa lalu, kejayaan-kejayaan Islam dan lain sebagainya. Siapakah yang paling berjasa dalam hal ini, adalah buku. Adalah masa lalu yang melompat ke masa kini secara sepotong-potong dan sporadis. Bila Guevara mengatakan tidak ada kata menunggu dalam ‘revolusi’, sebab realitas memang selalu berubah, sebelum kau selesai berucap masa kini, kekinian tiba-tiba telah menjadi begitu tua rautnya. Bila filsuf dekonstruksionis menyamakan realitas dengan sebuah teks, bagi saya realitas memiliki perbedaan yang tajam dengan teks. Sebuah metafor, sampai kapanpun hanyalah menjadi dirinya sendiri yang berbeda dengan realitas objeknya.
**

Ada sebuah ruang pribadi yang tiba-tiba hendak menggelembung menjadi ruang sosial. Ada suara-suara dari masa lalu yang datang bertubi-tubi ke masa kini. Kekinian lantas menjadi absance karna dilapisi oleh melankolia sejarah dan utopia-utopia masa depan. Diri pribadi akan menjadi terbekap bila masa lalu dan masa depan menguasai kekiniannya, menjadi sebuah paradigma yang blong, dan luput dari kekinian. Semacam kampung halaman yang selalu mengikuti kemana pengembara pergi, kampung halaman yang dibikin dari masa lalu yang gemetar dan masa depan yang cemas. Itu sebabnya, sebagaimana manusia, harus mengatasi kenangannya. Manusia memang sebuah persimpangan, menjadi tempat telikung kesadaran-kesadaran alam yang hidup langgeng dari masa lampau ke masa depan yang tak ada. Menulis puisi adalah menjadi saat ini, di bumi ini.

Secara fitrah, dapatkah manusia lari dari kenangannya? Lari dari bayang-bayang yang dibiaskan cahaya di lekatnya? Manusia, hidup bersama kenangan bukan? Ia menjadi dirinya seperti apa yang ia kenang tentang dirinya! manusia membawa beban masa lalu dan mimpi masa depan yang bisa saja sangat sporadis dan tiba-tiba. Dengan itu, pertahanan manusia bukan persoalan bagaimana ia menerima ingatan, akan tetapi bagaimana ia mengatasi dan melampauinya. Manusia selain juga sebagai makhluk yang berpikir, yang bermain, yang bersaing dengan sesama, ia juga makluk yang mengingat dan melupa! Dalam hal ini, manusia terkadang hanyalah alat tampung kenangan-kenangan, sebuah lorong transmisi gelak tawa dan alir air mata.

Manusia Indonesia belum lepas dari politik segmentasi yang diciptakan oleh kolonialisme. Sebuah pembayangan yang menjurus pada pembentukan dan penetapan (fixity) tentang bagaimana barat menyuntikkan imajinasi itu ke dalam pikiran kita. Itu sebabnya, banyak dari karya sastra hanya adalah melankolia dari keperihan-keperihan itu, termasuk puisi-puisi saya yang justru saya sadari ketika ia menjadi antologi seperti sekarang ini “Rembulan di Taman Kabaret”. Apakah ini sebuah kesalahan? tentu saya tidak dapat melegitimasinya begitu saja. Ingatan-ingatan traumatik memang tidak bisa lenyap begitu saja, ia membutuhkan semacam trapi psikis akan sejarah ke-Indonesia-an yang lebih jujur. Saya merasa hidup di masa kini yang terus berlari dan tidak terpegang, sebuah konstelasi kejadian yang surup ke ke-terlampau-an.

Dan ketika senja berangkat, batin saya seperti merasai bahwa saya lahir dari generasi yang hilang. Masa kini, tidak kalah asingnya dari masa lalu yang saya temui di buku-buku, dalam catatan dan ceritera yang ditiupkan angin ke kisi-kisi ingatan. Merubah kehidupan, melampaui sejarah dan kenangan-kenangan tidak cukup dengan hanya menulis puisi, tetapi tenggelam di dalamnya, dalam hidup yang estetik dan tragik. Saya ingin menutup catatan ini dengan sebuah bait dari Pope’s Odissey yang juga dikutip oleh Ivanhoe dalam novel klasik ‘Sir Walter Scott’:

begitulah mereka bicara; dan ke kolong kubahnya yang hina
babi-babi kenyang itu pun pulang bersama petang.
ke kandang, dengan terpaksa, dengan enggan,
ditingkah pekik riuh rendah, pekik tak sedap

Yogyakarta, 2010
***

Keterangan: Disampaikan dalam diskusi dan bedah buku “Rembulan di Taman Kabaret” di UNIJOYO 2010.
lihat blog:http://media-sastra-indonesia.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar