Senin, 29 Maret 2010

hibridisasi antara nilai-nilai keagamaan dengan kebudayaan lokal


KAPITAYAN DAN ISLAM NUSANTARA

Oleh

Khoirul Anam

Kapitayan Agama apa itu? Terlintas dalam benaku sebagai orang Islam yang Kurang memahami agama orang jawa tempo dulu, jadi angap aja ini sebagai media awal anda untuk mengetahuinya namun agama Kapitayan, agama tauhid pra-Hindu? .Inilah titik awal agama tahuid pra Hindu yang oleh Syeh Siti Jenar diakui keberadaannya sebagap agama permulaan orang-orang jawa dan perlu adanya kearifan lokal untuk menyikapinya tidak hanya memandang subyektif belaka dan perlu obyektifitas sehingga tidak perlu menyalakan . Bagi syeh siti jenar, untuk menyebarkan Islam, di Pulau Jawa yang sebagian besar penduduknya telah lama memeluk Hindu, maka perlu strategi dan modifikasi dalam tata cara berdakwahnya. Butuh sistem dan metode yang pas bagi orang2 jawa kalau bahasa anak muda sekarang ya perlunya ilmu manajemen terprogram agar tepat sasaran Apakan dengan metode SWOT sekalipun agar tahu kondisi dilapang peta Gitulho maksutnya…….(terencana dengan mengenali karakter dan budaya setempat tanpa harus menguri. Menurutnya, Umpama atau Misal untuk menyembah Tuhan kalau orang islam ya dengan nama Sholat ( Baca; Arab), bagi dia tak usah pakai istilah yang tidak dimengerti . Sebab, agama Kapitayan sudah pakai istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi artinya dewa (Tuhan). Sebagai anak Muda Islam yang haus akan nilai-nilai keislaman saya coba berfikir apakah ada yang salah ya dengan istilah tersebut, ya ternyata tidak, jadi perbedaan kata cuman maksudnya sama…..Wah ternyata ini awal dari ajaran Syeh Siti awal dari strategi dakwa yang diangap bisa diterima. Kenapa jadi saya ikut-ikutan membincang tulisan ini wah………ada apa ya? Ternyata perlu kearifan local dalam memahami term agar pesan-pesan yang disampaikan pada audien atau komunikator bisa diterima, Misal kata “ saya” kalau bahasa jawa ya artinya KULO atau Ingsun dan dalam bahasa Inggris ya ; Iam (iem) kalau bahasa Arab ya’ Ana’’ Oh gitu maka kata Almagfurlllah KH.Abd Rahman Wahid, gitu ajak kok repot. Intinya kan sama-sama ingin berdakwa dalam menyampaikan agama tauhid jadi memodifikasi Hyang sebagai dewa jadi Hyang sebagai Allah agar mudah di Nalar. Ajaran Kapitayan itu memuja dewa utama bernama Sang Hyang Toyo. Dalam bahasa Jawi, Toyo itu berarti kosong, hampa, suwung. Dia tan kena kinaya; tak bisa diapa-apakan. Dinalar nggak bisa, dilihat nggak bisa, didefenisikan juga nggak bisa. Itu sama dengan ungkapan laitsa kamitslihi syai’un. Nah, kalau begitu, bagaimana orang bisa tahu Sang Hyang Toyo kalau Dia tidak bisa didefenisikan? Dalam Kapitayan disebutkan, Dia muncul dalam bentuk pribadi yang disebut tu atau to.

Artinya kekuatan yang punya daya sakti. Daya sakti dari kekuatan Hyang Toyo inilah yang sudah dikenal sifatnya. Ada dua sifat, yaitu baik dan buruk. Sifat baik disebut tu, lalu menjadi Tuhan; sementara yang jelek disebut hantu. Karena itu, dalam asumsinya orang-orang, hantu mesti jelek, dan Tuhan mesti baik. Itu dari Kapitayan dan bahasa Kawi.

Tapi orang juga mikir, di mana tempatnya Sang Hyang, yaitu hantu dan tuhan ini? Wong dia juga masih abstrak dan hanya ada sifatnya! Lalu diyakini, tu bisa muncul pada sesuatu. Sesuatu yang disebut tu: watu, tugu, tuban (air terjun), tuk (mata air), tunggul, tunggak, tumbak, tulang. Semua ada di situ dalam bentuk kekuatannya. Dan peneliti barat menyebutnya Animisme dan Dinamisme. Begitulah kiranya kalau tidak Salah.

Sementara pendirian NU yang diwakili oleh pernyataan KH hasyim Muzadi dapat dilacak sejak berabad-abad lampau di Nusantara. Kreativitas dakwah yang diusung kelompok Wali Songo, yang banyak melakukan hibridisasi antara nilai-nilai keagamaan dengan kebudayaan lokal, membuat Islam dapat diterima secara luas hampir di seluruh wilayah Nusantara. Padahal agama ini tergolong baru di negeri ini jika dibandingkan dengan Hindu, Budha, apalagi Kapitayan, yakni salah satu agama tertua di Nusantara. Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan bahwa pola gerakan “arabisme Islam” sebetulnya sudah ada sejak orang-orang Islam pertama kali menginjakan kaki di wilayah ini. Namun ketika itu gerakan ini bukanlah berdasar sebuah ideologi seperti wahabi, namun hanya berdasar adat pedagang-pedagang Islam yang memang kebanyakan berasal dari Jazirah Arab dan sekitarnya. Pola seperti itu, demikian Agus Sunyoto, terang saja gagal bersaing dengan agama seperti Hindu dan Budha yang rajin mengapresiasi budaya lama yang banyak berasal dari agama Kapitayan.Tren ini baru berhasil diubah oleh kelompok Wali Songo. Kunci keberhasilan Wali Songo, menurut Agus Sunyoto, adalah sebagaimana disebut di atas, mau menghibridisasi nilai dan ritual keagamaan dengan corak pemahaman kebudayaan setempat. Makanya tak heran jika tradisi keislaman di Indonesia banya memiliki ciri khas yang tak bisa ditemui di tempat lain. Kekhasan ini ditunjukkan oleh istilah-istilah seperti sembahyang, puasa, langgar, neraka, surga, yang berasal dari Nusantara sendiri (bukan Budha atau Hindu), serta simbol seperti bedug, pesantren, sarung dan sebagainya. la keislaman seperti ini sebetulnya pernah diusik oleh serombongan ulama yang baru pulang dari ibadah haji dan sempat memelajari paham wahabi di tanah Arab. Kelompok ini kemudian menamakan diri sebagai Muhammadiyah. Atas resistensi inilah para ulama yang mewarisi corak keislaman ala Wali Songo membentuk organisasi NU di bawah pimpinan KH. Hasyim Asyari. Namun seiring perjalanan waktu, Muhammadiyah kian bersikap ramah terhadap budaya lokal. Saya pribadi melihat pergeseran ini paling mencolok terjadi ketika Muhamadiyah dipimpin oleh Prof. Dr. Syafii Maarif. Namun seiring perjalanan waktu, Muhammadiyah kian bersikap ramah terhadap budaya lokal. Saya pribadi melihat pergeseran ini paling mencolok terjadi ketika Muhamadiyah dipimpin oleh Prof. Dr. Syafii Maarif. Paham wahabi di Nusantara baru mendapat tenaga kembali ketika muncul kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) serta PKS. Pada level mahasiswa mereka mengorganisasi diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslimin Indonesia (KAMMI) serta Lembaga Dakwah kampus (LDK). PKS sudah menunjukkan gelagat penolakan terhadap ritual keagamaan yang memfusikan diri dalam tradisi seperti tahlil, maulid nabi dan lain sebagainya. Tidak selamanya kebudayaan mesti ditimbang dari perspektif moralitas yang kaku dan justru asing di negeri ini. Kegagalan upaya-upaya sebelumnya untuk “mengudeta” corak Islam yang ramah terhadap budaya kiranya cukup menjadi bukti bahwa kita, kaum muslim di Nusantara, -mengutip tulisan Ahmad Baso- bukanlah orang-orang Islam yang tengah tinggal di Nusantara, namun warga Nusantara yang memilih untuk memeluk Islam. atau kata penulis Aku Orang Indonesia yang beragama ISLAM.

Terima kasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar