Kamis, 04 Maret 2010

Politik Islam dan Pemerintahan

Persepsi Historis Sampainya Islam Ke Pemerintahan

Allah telah memilih jazirah Arab sebagai tempat kelahiran risalah, ”Allah lebih mengetahui dimana Allah menjadikan risalah-Nya” (Al-An’am:124) Orang yang merenungkan pemilihan ini, akan menangkap salah satu sisi yang terdalam dari hikmah ilahiyah, bahwa waktu itu jazirah Arab waktu itu tidak berada dibawah hegemoni salah satu dari dua negara besar, Persia dan Romawi. Walaupun sangat dekat dengan perbatasanya. Betapapun Dakwah Islam dimulai dimakkah yang jauh dari kekuasaan negara besar, namun ia terkepung di Makkah, karena Quraisy memiliki kekuasaan yang dominan atas um al-qura (induk negeri-negeri, yakni makkah). Quraisy memandang Dakwah yang disebarkan oleh Nabi Muhammad dan kaum muslimin lainya dapat mengancam kepentingan dan pengaruhnya, sehingga mendorong Rasulullah saw mencari basis yang aman untuk dakwah islam sebagai titik tolak terciptanya daulah islam. Karena alasan itulah, beliau memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Habasyah dan Beliau sendiri berangkat ke Thaif. Kemudian Rasulullah saw mendapatkan apa yang dirindukanya di Madinah setelah bai’at pertama dan kedua. Secara Politis di Madinah tidak ada kekuasaan sentral yang kuat yang memiliki satu sikap tunggal terhadap tegaknya daulah Islam. Tidak seperti di Makkah, dimana kafir Quraisy memiliki satu sikap tunggal untuk memerangi dakwah islam. Di Madinah ada tiga kekuatan kabilah yang hampir seimbang, yaitu kabilah Aus, Kazraj dan Yahudi. Selanjutnya setelah mendirikan masjid dan mempersaudarakan antara kaum anshar dan muhajirin, Rasulullah saw meletakkan undang-undang pemerintahan awal walapun belum utuh, yang biasa kita kenal dengan Piagam Madinah, ahli sejarah menamakanya dengan ”Shahifa”. Itulah persepsi historis (shurah tarikhiyah) sampainya islam kepanggung kekuasaan/ pemerintahan.Pemerintahan itu terus berlanjut-baik dalam kondisi ideal maupun yang tidak ideal-hingga adanya konspirasi besar internasional terhadap islam dengan meruntuhkan kekhilafahan dan mencabik-cabik bangsanya, membangun eksistensi kedaerahan, negara-negara kecil dan aliran pemikiran.

Dalil-Dalil yang Membolehkan Masuk Kedalam Pemerintahan

Harus kita akui bahwa dakwah ini tidak hanya untuk rakyat kecil saja tetapi ia juga harus masuk keseluruh sendi kehidupan dan elemen masyarakat termasuk berdakwah kedalam struktur pemerintahan (baik menjadi staff honorer, gubernur, camat, perangkat desa, dinas-dinas terkait, PNS, Anggota Parlemen, kepala negara, menteri dan pejabat kenegaraan yang lain) baik masuk kedalam sistem maupaun ketika berada diluar sistem. Kita ketahui bersama bawa dakwah itu sebuah kewajiban. Kebaikan itu harus disebarkan kemanapun dimanapun ada kehidupan. Untuk dalil-dalil yang melarang sudah dijelaskan pada bagian pertama rangkaian tulisan ini (lihat tulisan Sistem Politik Islam dan Demokrasi).

1. Keterlibatan Nabi Yusuf a.s Dalam Pemerintahan Jahiliyah

Dalam Al-Qur’an Allah AWT Menjelaskan dalam Satu Surat Khusus tentang kisah nabi Yusuf a.s, dari bayi hingga terlibat dalam pemerintahan jahiliyah untuk kita ambil teladan dan pelajaran ketika saat ini kaum muslimin berhadapan dengan sistem kufur, sedangkan ada yang berpendapat bahwa haram untuk terlibat dalam pemerintahan jahiliyah, itupun menggunakan beberapa dalil yang bersifat umum. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa keterlibatan Yusuf a.s dalam kekuasaan tersebut adalah sesuatu yang berlaku khusus baginya, maka akan kami jawab bahwa kekhususan memerlukan dalil, dan orang yang berpendapat/ mengklaim harus membuktikan klaimnya dengan hujah yang nyata. Dalam Al-Qur’an maupun hadist dan tafsir penulis tidak menemukan hujah bahwa masuk kedalam pemerintahan yang tidak islami dengan tujuan berdakwah itu berlaku khusus untuk nabi Yusuf a.s saja. Perlu diketahui bahwa apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dalam memecahkan dalam segala persoalan kaum muslimin. Karena pada asalnya semua yang termuat dalam Al-Qur’an termasuk Q.S Yusuf yang berisi perjalanan dan petunjuk para nabi adalah dimaksudkan sebagai panutan, pedoman dan teladan. Allah Swt berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (Q.S Al-An’am:90) Begitu juga pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah syariat umat sebelum umat sebelum kita. Perlu diketahui bahwa Al-Qur’an adalah hanya menyempurnakan syariat-syariat sebelum kita, sepanjang itu masih tertulis dalam Al-Qur’an dan Tidak Ada dalil yang menjelaskan bahwa itu tidak berlaku bagi kaum muslimin, maka itu juga menjadi bagian dari syariat kaum muslimin. Selain itu tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa “syariat umat sebelum kita adalah syariat bagi kita, sepanjang tidak berlawanan/berbeda dengan syariat kita” (untuk menjelaskan kaidah ini akan dibahas khusus di akhir tulisan).Sebagai Contoh Jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan umum adalah bagian dari system demokrasi dan demokrasi tidak boleh kita ambil karena tidak islami, kita pastikan system demokrasi adalah system jahili (tidak islami) karena berasal dari peradaban barat, tetapi apakah kita dilarang mengambil salah satu bagian dari system itu yang sekiranya tidak bertentangan dengan islam? Sebelum menyampaikan banyak hal. Sebagai contoh, kita harus mengetahui dahulu apa makna dari ”tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah”. Jika kita memiliki tafsir Alqur’an maupun hadist silahkkan untuk sering-sering dibaca dan lihat asbabun-nuzulnya, serta jangan asal mengambil dalil dan mengait-ngaitkanya dengan masalah yang kita hadapi atau untuk mendukung pendapat kita semata. Ini Hanya sebuah pesan…….kita adalah da’i dan bukan tukang vonis. Memberi teladan sebelum berdakwah. Memahamkan dan bukan menghakimi. Yang pokok sebelum yang cabang….Tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah akan mengakibatkan kekafiran. Memang demikian bunyi ayat Allah di dalam surat Al-Maidah ayat 44. Lengkapnya begini: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” (Al-Maidah: 44) Namun apakah setiap orang yang tidak menjalankan hukum potong tangan, rajam, cambuk dan sejenisnya, otomatis agamanya berubah dari Islam menjadi kafir? Apakah kita semua yang tinggal di Indonesia yang notabene tidak menjalankan hukum-hukum itu otomatis dianggap bukan muslim? Apakah hukumnya kita menggunakan Helm dalam kendaraan, Memakai Internet, membuat SIM, sekolah/kuliah pada sekolah yang sekuler, hidup bernegara dalam sistem kafir? Padahal itu semua produk sistem kafir….Tentunya kita perlu mengkaji ayat ini lebih dalam lagi. Bukan dengan semata logika bahasa dan pemahaman yang lebih mendalam. Apalagi kalau kita lihat asbabun-nuzulnya, maka sesungguhnya ayat ini turun dalam konteks memberi vonis kepada pemeluk agama samawi lainnya, baik yahudi maupun nasrani.Dan nyatanya oleh banyak ulama, makna dan pengertian ayat ini dikomentari dengan pendapat yang berbeda. Mari kita buka kitab-kitab tafsir yang muktabar. Di sana kita akan dapati beragam komentar, antara lain:1. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra berkata ketika menjawab status kafir bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, sesuai ayat ini, “Kufur yang bukan seperi kufur kepada Allah dan hari akhir.” 2. Dalam lain riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkomentar tentang ayat ini bahwa ada dua hukum yang dikandungnya. Pertama, siapa yang mengingkari kewajiban untuk menjalankan hukum Allah, maka dia kafir. Sedangkan siapa yang tidak mengingkarinya, hanya sekedar tidak mengerjakannya, maka dia fasik dan zhalim.” 3. Ibrahim An-Nakhai sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thabari mengatakan bahwa ayat ini turun buat Bani Israil dan Allah merelakannya untuk umat ini untuk menggunakan hukum itu. 4. Al-Hasan mengataan bahwa hukum-hukum Allah itu turun untuk Yahudi namun buat kita hukumnya wajib. 5. Thawus berkata, “Kufur yang dimaksud bukanlah kufur yang meninggalkan millah (agama).” 6. Atho’ berkomentar tentang maksud kata ‘kufur’ dalam ayat ini, “Kufur yang bukan kekufuran.” Dan masih banyak lagi silang pendapat tentang pengertian ayat ini. Semuanya benar dan kita mudah saja untuk menarik kesimpulan secara umum.Pertama, ayat ini memang turun kepada Bani Israil (yahudi), namun ketentuannya berlaku secara umum termasuk umat Islam.Kedua, sesuai dengan fatwa Ibnu Abbas, kita tidak bisa main vonis bahwa siapa saja yang tinggal di negeri yang tidak menjalankan hukum Islam, boleh diberi vonis kafir. Sebab sangat boleh jadi banyak dari umat Islam yang tetap menginginkan dijalankannya hukum Islam, namun ternyata penguasa tidak mau menjalankannya. Entah karena pemerintahnya bukan muslim, atau muslim tapi tidak paham.Ketiga, hukum kafir bisa dijatuhkan kepada para penanggung-jawab sebuah negeri, baik lembaga yudikatif, legislatif maupun eksekutif, apabila secara nyata mereka menolak penerapan seluruh hukum Islam. Sementara kesempatan sudah terbuka lebar.Namun dalam hal ini, sebelum vonis kafir dikeluarkan, harus ada upaya untuk mempresentasikan hukum-hukum Islam secara terbuka, adil dan objektif kepada mereka. Hingga mereka tahu apa manfaat positif dari hukum Islam itu. Jangan sampai kita menjatuhkan vonis kepada orang yang tidak tahu permasalahan. Dan untuk mempresentasikannya, memang dibutuhkan waktu, tenaga, metode, pendekatan, diplomasi, sinergi, dan juga energi yang panjang. Tidak boleh setengah-setengah dan kurang tenaga.Maka bila semua pesan sudah tersampaikan, semua ajakan telah diterima dengan jelas, sejelas matahari bersinar di siang cerah, bolehlah vonis kafir itu dijatuhkan kepada penguasa yang zalim dan menolak mentah-mentah syariah Islam secara 100 persen. Itu pun harus diawali dengan syura umat Islam dari seluruh penjuru negeri.Adapun pemerintahan yang masih dijabat oleh banyak umat Islam, di mana mereka masih dalam proses untuk melakukan Islamisasi baik lewat jalur internal maupun eksternal, tidak pada tempatnya bila langsung divonis kafir. Sebab semua masih dalam proses, harus ada toleransi untuk sebuah proses.Celaan terhadap aktivis dakwah pun datang dari arah lain, yaitu demokrasi. Aktivitas dakwah dalam kancah politik dianggap sebagai indikasi keberhasilan fatamorgana demokrasi menipu dan membuai. Partisipasi mereka dalam pemungutan suara atau pemilu dan parlemen adalah bukti taqlid terhadap sistem Barat dan sekulerisme yang justru kontraproduktif dengan upaya memerangi hegemoni Barat dan sekulerisme. Pengkritik menilai, setidak-tidaknya mayoritas dari mereka berpikir bahwa demokrasi adalah sistem kafir dari Barat dan merupakan syirik akbar. Bahkan pemungutan suara syirik juga karena pemilu adalah subsistem demokrasi. Demikianlah alasannya.

Pemerintahan Nabi Yusuf a.s

Tidak ada keraguan bahwa masyarakat ditempat nabi Yusuf a.s hidup adalah masyarakat jahiliyah yang tidak mengenal islam dan tidak tunduk kepada syariat. Akidah syiriklah yang dominan didalamnya termasuk penguasa kala itu. Dalam tafsir Ibnu katsir dijelaskan bahwa kebanyakan mereka adalah musrik. Hal tersebut tampak jelas perkataan antara nabi Yusuf dan kedua temanya dipenjara. Kisah tersebut diabadikan Oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an.”Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya nama-nama yang dinamai oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu Hujah pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S. Yusuf: 39-40). Itulah akidah masyarakatnya, sebagaimana tampak dari perkataan Yusuf a.s, yaitu masyarakat musryik yang tidak bertauhid dan tidak mengenal islam dan ajarannya sedikitpun. Adalah wajar bahwa kerusakan ahlak terjadi dimana-mana, dimana termasuk Zulaikha (permaisuri raja) merayu nabi Yusuf untuk berzina, akan tetapi ajakan tersebut ditolak oleh nabi Yusuf a.s. Untuk itu istri sang raja meminta kepada Al-Azis suaminya untuk memenjarakan Nabi Yusuf a.s. seperti tertulis dalam Al-Qur’an. ”Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakanya sampai sesuatu waktu” (Q.S Yusuf: 35) Nabi Yusuf a.s masuk kedalam penjara dalam keadaan terzalimi setelah mereka melihat bukti-bukti yang menyatakan bahwa Yusuf a.s yang benar. Tetapi apa saja dapat terjadi dalam masyarakat jahiliyah dan Ayat ini mmbantah ucapan orang yang berpendapat bahwa ”Fir’aunya (penguasanya) Yusuf a.s adalah orang yang adil”. Nabi Yusuf a.s tetap dalam penjara sampai Allah Swt menyiapkan skenario baginya untuk keluar, sebagaiman kisah yang sudah kita ketahui bersama. Raja kagum terhadap hasil takwil mimpinya yang sangat brilian. Ia meyakini kebersihannya dan mengundangnya untuk dipilih menjadi orang terdekatnya. Ia memberitahukan kepadanya bahwa Yusuf menjadi orang yang berkedudukan tingggi dan terpercaya. ”Ia berkata kepada Raja: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” (Q.S Yusuf: 55) Permintaanya diterima, dan Yusuf mengemban tugas kementrian yang dipikulkan kepadanya. Dengan begitu, Yusuf a.s terlibat dalam suatu pemerintahan yang tidak berdiri diatas landasan Islam. Aturan pemerintahan yang ada kala itu tidak bisa berjalan diatas ajaran para nabi, Yusuf a.s tidak dapat melakukan semua apa yang dikehendakinya yang ia ketahui dari ajaran Allah swt, karena para pejabat kerajaan yang lain dan masyarakatnya tidak memberikan respon kepadanya. Bahkan masyarakat jahiliyah itu tetap dalam kemusyrikan dan keraguan terhadap dakwah nabi Yusuf a.s. ”Dan sesungguhnya telah datang yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangn, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, sehingga ketika dia meninggal, kamu berkata; Allah tidak akan mengirim seorang (rasul-pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu” (Q.S: Al-Mukmin: 34) Kalimat ” tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu” menunjukan sikap yang terus menerus. Ayat ini menolak ucapan orang yang berpendapat bahwa Yusuf a.s mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat islam setelah ia terlibat dalam pemerintahan dan urusan diserahkan kepadanya.Hanya saja Ia melakukan sesuatu yang dianggap adil dan baik sebisa mungkin. Ia dengan kekuasaanya dapat memuliakan orang-orang beriman dari keluarganya, hal yang tidak mungkin bisa diperoleh tanpa terlibat dalam pemerintahan/kekuasaan. Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-fatawa (56/57) Ini semua masuk dalam firman Allah swt, Bertakwalah kepada Allah sesuai batas kesanggupanmu” (Q.S At-Taghabun:16). Perkataan Ibnu Taimiyah ini, menolak pendapat orang yang mengatakan bahwa Yusuf a.s diberi kekuasaan dalam segala hal dan dapat bertindak di Mesir seperti apa dikehendakinya. Bahkan menenolak pendapat orang yang mengatakan bahwa Yusuf diberi kekuasaan dalam seluruh urusan kekayaan dan ekonomi, karena ia tidak menyentuh urusan kekayaan yang dibelanjakan untuk raja secara khusus untuk para pengawal, keluarga, tentara, dan rakyatnya yang tidak berjalan diatas aturan nabi dan keadilan para nabi.Atas dasar ini juga, Cukup kuat Ath-Thabari tentang firman Allah swt,”Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada yusuf dinegeri Mesir;(dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu” (Q.S Yusuf: 56) Bahwa ayat ”(dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu” mengandung pengertian bahwa Yusuf a.s bebas bertempat tinggal dimana saja dibumi mesir dan bukan pada konteks kekuasaan. Dalam tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an Sayyid Qutub dijelaskan maksud ayat diatas adalah Yusuf a.s dapat membuat tempat tinggal dimanapun yang ia kehendaki setelah sebelumnya tinggal didalam tempat yang sempit, penjara dan tawanan dan kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.Atas dasar itulah, jelas bagi kita semua tentang bolehnya terlibat dalam pemerintahan islam untuk berdakwah dan menegakkan syariat islam melalui sistem yang tidak islami melalui Q.S Yusuf dan surat-surat yang terkait. Walaupun pihak yang terlibat belum dapat mengubah keadaan secara keseluruhan.

2. Kisah Raja Najasiy

Sikap Najasyi, Raja Habasyah. Lengkapnya Najasyi Ashhamah. Kisah ini mengajarkan kepada kita. Pertama, bahwa raja Najasyi adalah Muslim dan kedua, Najasyi menjalankan kerajaanya dengan selain syariat Allah Swt, karena dikhawatirkan ada pembangkangan dari rakyatnya. Banyak hadist dan kitab yang menjelaskan tentang keislaman Raja Najasyi, diantaranya:1. Dari Jabir bin Abdillah Al-Anhari r.a, ia berkata bahwa nabi Humammad saw bersabda ketika Najasyi wafat: ”Hari ini seorang lelaki Shaleh telah wafat. Shalatkanlah saudara kalian Ashhamah” (H.R. Bukhori). 2. Dalam riwayat lain yang ditulis Bukhori dari Abu Hurairoh dalam kitab Al-janaiz, ”Rasulullah saw. Menyampaikan berita kematian Najasyi pada hari kematianya. Beli umengajak para sahabat keluar ketempat shalat, mengatur shaf mereka dan meyalatkanya dengan empat kali takbir”.3. Surat Najasyi kepada Rasulullah yang didalamnya ia menyatakan keislaman dan kesiapan untuk datang kepada beliau jika diperintahkan. Teks surat ini dikemukakan oleh Muhammad Humaidillah dalam kitabnya Al-watsaiq As-Siyasah li Al-Ahd An-Nabawiy halaman 72, ia merujukanya ke Ath-Thabari dalam tarikhnya halaman 1569, Ibnu katsir 3/84, Zad Al-ma’ad 3/60, Az-Zail’i 10/2, Imta’ Al-Asma’ (khotbah 1027). Bismillahirahmanirahim,Kepada Muhammad, Rasulullah.Dari Najasyi Al-Ashham bin Abjur. Keselamatan untukmu wahai nabi Allah, rahmat dan berkah dari Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, Dzat yang membimbingku kepada islam. Amma ba’du. Suratmu telah sampai kepadaku wahai Rasulullah, yang menyebutkan persoalan nabi Isa. Demi Tuhan penguasa langit dan bumi, sesunggguhnya nabi Isa tidak lebih dari apa yang engkau katakan. Kami telah mengenal ajaran yang engkau diutus kepada kami. Kami telah memuliakan anak pamanmu dan sahabat-sahabatnya sebagai tamu kami. Aku bersaksi sesungguhnya engkau adalah utusan Allah yang benar dan dibenarkan. Aku telah berbai’at kepadamu dan berbai’at dengan anak pamanmu dan sahabat-sahabatnya. Aku berislam dihadapanya kepada Allah rab al ’alamin. Aku kirimkan kepadamu Anakku Ariha bin Al-Ashham karena aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri. Jika engkau menghendaki aku datang maka aku akan datang memenuhinya, wahai rasulullah, karena sesungguhnya aku bersaksi bahwa apa yang engkau katakan itu benar. Wassalamu’alaika, wahai rasulullah. Disana juga dituliskan surat kedua setelah Rasulullah hijrah ke madinah, yang dikirimkan bersama sahabat yang kembali dari Habasyah ke Madinah. Kisah dan Hadist tersebut membantah orang yang mengatakan bahwa Rasulullah baru mengetahui keislaman raja Najasyi setelah kematianya, sehingga tidak mewajibkanya untuk menjalankan syariat islam yang sudah turun kala itu.Adapun bahwa Najasyi tidak memimpin dengan syariat Allah, hal tersebut dijelaskan dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir 3/73. Dalam suratnya kepada Rasulullah saw, ia mengatakan ” sesunggguhnya saya tidak menguasai selain kecuali diriku sendiri”. Dan ketika Najasyi mengakui kebenaran ynag dibawa Rasulullah saw. Disuatu majelis ketika ia mengakui bahwa apa yang dibawa rasulullah itu benar dan mengatakan ” Isa bin Maryam tidak lebih daripada yang engkau katakan-pembicaraan diarahkan kepada ja’far- sebagaimana sepotong kayu kecil ini,” maka para patriakhnya bergemuruh. Ada lelaki yang ingin memberontaknya karena ingin merebut kerajaanya, tidak diragukan lagi bahwa ia beralasan Najasyi telah menganut Islam dan meninggalkan agama nenek moyangnya. Najasyi jujur dalam imanya. Ia telah menggunakan kekuasaanya untuk melindungi kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah dan menyiapkan beberapa perahu untuk mereka, serta membiarkan kaum muslimin menyebarkan dakwah islam, hal ini terbukti dengan adanya delegasi sebanyak 60 orang dari rakyat Habasyah yang datang kepada Rasulullah diMadinah. Akan tetapi tetap banyak yang masih dalam kenasranianya, yang kemudian memberontak terhadap raja Najasyi setelah mengetahui keislamanya, hanya Allah saja yang tetap mengukuhkan kerajaanya. Dari Q.S Yusuf dan kisah Najasyi dapat diambil kesimpulan bahwa para aktivis islam yang terlibat dalam pemerintahan memiliki landasan kuat untuk masuk dalam pemerintahan dan berusaha untuk memperbaiki sistem yang tidak islami tersebut, seperti Demokrasi. Belum lagi argumen lain dalam hal dalil Maslahat dalam keterlibatan dipemerintahan walaupun belum sempurna (akan dibahas ditulisan kedepan). Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Syariat datang mewujudkan maslahat dan menyempurnakannya serta menghilangkan mafsadat dan meringankanya” (Qawa’id Al-Ahkam, 1/11) Muridnya –Ibnul Qayim-mengatakan, ”Syari’at itu, bangunan hukumnya adalah kemaslahatan manusia didunia dan akhirat. Syari’at itu adil semuanya, kasih sayang semuanya dan mashlahat semuanya” (At-Thuruq Al-Hukmiyah, h.78). Alasan beberapa orang yang berpendapat bahwa terlibat dalam pemerintahan yang tidak islami adalah haram dengan dalih ayat. “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” (Q.S Al-Maidah: 44). Perlu diketahui, ayat-ayat sejenis ini menrut tafsir Ibnu Katsir, memang turun kepada Bani Israil (yahudi), namun ketentuannya berlaku secara umum termasuk umat Islam, dan tidak menerangkan tentang dilarangnya kaum muslimin berdakwah dan terlibat dipemerintahan seperti yang telah diterangkan diatas. Akan tetapi Q.S Yusuf menjelaskan hampir satu Surah tersendiri dalam Al-Qura’an yang memberikan pelajaran khusus kepada kita untuk berdakwah dan membolehkan berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak islami, selain itu dalam pengambilan hukum, dalil yang bersifat khusus lebih didahulukan daripada dalil yang bersifat umum. Kebaikan akan menjadi milik siapa saja yang berusaha untuk mencarinya………………

DIarsipkan di bawah: Tarbiyah, Tulisanku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar