Senin, 14 Juli 2014

Aliran Sastra Arab Modern di Mesir: Madrasah Diwan

Oleh: Pahrudin HM, M.A.
Pengantar
Bangsa Arab memang dikenal dengan kebiasaan mereka menggubah syair untuk mengekspresikan gejolak-gejolak hati mereka. Tradisi ini termotivasi oleh beberapa faktor di antaranya adalah lingkungan tempat tinggal mereka yang memang sangat mendukung dan juga karena bahasa mereka yang sesungguhnya juga sangat puitis. Dan yang tak kalah pentingnya adalah potensi sensitifitas ‘athifah yang tinggi yang mereka miliki sangat mendukung dalam melahirkan beragam karya sastra yang puitis dan menakjubkan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sastra Arab tidak timbul sekaligus dalam bentuknya yang sempurna. Akan tetapi sastra Arab mengalami perkembangan-perkembangannya secara sedikit demi sedikit dengan adanya inovasi-inovasi dalam setiap fase perkembangan yang dilaluinya. Adapun fase sejarah perkembangan sastra Arab dibagi menjadi masa jahiliyah, masa shadr al-Islam, Abbasiyyah, Turki Usmani dan masa modern.
Dalam setiap periode perkembangan tersebut, sastra Arab mengalami inovasi yang membedakannya dengan periode lainnya. Pada fase modern khususnya, ternyata sastra Arab memiliki berbagai aliran sastra yang muncul silih berganti, baik karena motivasi kritikan terhadap model sastra yang muncul sebelumnya maupun karena untuk menyempurnakan aliran lainnya yang muncul dalam kurun waktu yang sama. Aliran-aliran sastra Arab yang mengemuka di masa modern tersebut adalah al-Muhāfizūn (Neo-Klasik), ad-Diwān, Apollo, Romantisme. Simbolisme dan yang terakhir adalah Hadītsah (modern).
Permulaan fase modern dalam sejarah sastra Arab dimulai sejak pemerintahan Muhammad Ali di Mesir setelah hengkangnya Prancis yang cukup lama menganeksasi negeri piramida ini pada tahun 1801 atau sering disebut sebagai masa kebangkitan kedua sastra Arab. Meskipun secara umum tujuan penggubahan puisi pada masa ini masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya yang masih berkaitan dengan pujian, membangkitkan semangat, kebanggaan, perumpamaan-perumpamaan dan mensifati sesuatu, akan tetapi telah mulai terbebas dari mengikuti metode penggubahan puisi yang terdapat pada masa Abbasiyah yang berlangsung dalam masa selama 60 tahun. Sejak permulaan abad ke-20 secara berangsur-angsur tema-tema yang sudah mendarah daging dalam sastra Arab di atas mulai ditinggalkan dan para sastrawan Arab mulai beralih pada tema-tema yang aktual dan relevan dengan kondisi terkini, seperti nasionalisme, humanisme dan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Arab akibat adanya imperialisme yang membuat bentuk puisi Arab pun berubah menjadi berbentuk mursal dan bebas.
Salah satu aliran yang muncul di masa modern yang perlu mendapat perhatian dan memiliki arti penting dalam khazanah sastra Arab modern, terutama di Mesir, adalah Diwān atau Madrasah Diwān. Tulisan berikut akan mencoba mengetengahkan paparan mengenai aliran sastra Arab modern yang satu ini. Tulisan berikut akan mencakup latar belakang kemunculannya, tokoh-tokoh yang menjadi pengusungnya dan karakteristik sastra Arab yang mengemuka dalam aliran sastra Arab modern ini.
A. Latar Belakang Kemunculan Diwān
Sebagaimana diketahui bahwa sastra Arab pernah mengalami kevakuman atau tidak mengalami perkembangan yang signifikan pada masa Turki Usmani menguasai kawasan Arab dan sebagian besar dunia Islam lainnya. Tidak berkembangnya sastra Arab di masa ini karena adanya politik penguasa Turki Usmani yang tidak terlalu menaruh perhatian terhadap segala hal yang berkaitan dengan Arab yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sebagai penguasa, Turki Usmani menerapkan kebijakan Turkiisasi atau menanamkan pengaruh Turki di setiap wilayah kekuasaannya, seperti bahasa Turki, tradisi Turki dan lain sebagainya. Hal ini berakibat pada bahasa dan sastra Arab yang cenderung tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Setelah beberapa kawasan Arab, seperti Mesir, diambil alih oleh Prancis yang memperkenalkan beragam perlengkapan modern seperti peralatan cetak serta model-model bahasa dan sastra yang baru maka lambat laun sastra Arab kembali menggeliat. Perkembangan sastra Arab mengalami perkembangan yang signifikan setelah hengkang Prancis dari bumi piramida pada tahun 1801dan disusul dengan naiknya Muhammad Ali sebagai penguasa Mesir. Karena perhatian Ali yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, maka ia mengirimkan duta-duta Mesir untuk menimba beragam  ilmu pengetahuan di  berbagai negara Eropa seperti Prancis, Inggris dan Italia. Sekembalinya para pelajar tersebut ke Mesir, maka dimulailah beragam inovasi terhadap aneka ilmu pengetahuan yang termasuk di dalamnya sastra Arab. Dari sini geliat kebangkitan sastra Arab semakin menampakkan eksistensinya yang merupakan perpaduan dari proses panjang asimilasi dengan berbagai kebudayaan seperti Prancis dan Inggris (assimilation), penerjemahan beragam karya asing (translation), peniruan berbagai naskah asing (imitation) yang dilakukan oleh beragam pihak yang berkecimpung dalam dunia sastra Arab.
Sejarah sastra Arab kemudian mencatat orang-orang seperti al-Barudi, Ahmad Syauqi dan Hafidz Ibrahim sebagai orang-orang pertama yang memperkenalkan inovasi-inovasi dalam sastra Arab. Tokoh-tokoh ini kemudian disebut sebagai pengusung aliran pertama dalam sastra Arab modern yang dikenal dengan nama Neo-Klasik. Kemunculan aliran ini menandai dimulainya sastra Arab berada dalam fase modernnya karena adanya beragam pengaruh dari luar sebagai hasil interaksi dengan banyak budaya dan tradisi, baik yang datang secara langsung karena penjajahan maupun yang dibawa oleh para duta Mesir yang menimba ilmu pengetahuan di Eropa.
Meskipun demikian, beragam inovasi yang dimunculkan oleh para pengusung Neo-Klasik ternyata tidak sepenuhnya melepaskan mereka dari ikatan tradisi terhadap karya-karya pendahulu dalam penggubahan puisi, terutama dalam aspek metode (uslūb) dan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, sebagai kritikan terhadap Neo-Klasik maka muncul aliran sastra Arab modern baru yang kemudian dikenal sebagai Diwān.
B. Perkembangan Aliran Diwān
Upaya yang dilakukan kalangan Neo-Klasik dalam mengembangkan beragam inovasi dinilai tidak terlalu berarti bagi perkembangan sastra Arab modern, bahkan lebih jauh lagi kelompok ini justru dianggap sangat tradisional dan terlalu terikat dengan tradisi. Atas alasan inilah kemudian mengemuka tiga orang tokoh sastra Arab muda yang lebih banyak dipengaruhi oleh puisi-puisi Khalīl Mutrān (1872-1949), seorang sastrawan ‘mahjār’ yang dianggap sebagai ‘penghancur’ pola Qashīda yang menurutnya telah kehabisan potensi puitiknya dan harus diganti dengan bentuk-bentuk puisi yang lebih bebas dan sesuai dengan perkembangan zaman. Di samping keterpengaruhannya dengan Mutrān, ketiga tokoh ini juga diwarnai oleh para pujangga romantik dan kritikus Inggris, terutama Hazlitt dan Coleridge.
Ketiga tokoh dimaksud adalah Abdurrahman Syukri, Mahmūd al-’Aqqād dan al-Māzini. Meskipun ketiganya tidak berada dalam satu pandangan yang bulat tentang inovasi yang harus dilakukan terhadap sastra Arab modern dan memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain, namun setidaknya dalam beberapa aspek yang menjadi ciri dari aliran ini seperti redefenisi Syukri tentang puisi sebagai wijdān (emosi) mereka sepakat dan bahu membahu memperjuangkannya.
Aliran Diwān yang diusung oleh Syukri, al-’Aqqād dan al-Māzini telah muncul dalam perbincangan sastra Arab modern sejak tahun 1900-1910. Meskipun demikian, aliran ini baru dikenal luas di kalangan pengkaji sastra Arab pada tahun 1921 melalui sebuah pamflet yang berjudul ad-Diwān Kitāb fī al-Adab wa an-Naqd. Penamaan aliran sastra Arab modern ini dengan ‘Diwan’ kemungkinan berkaitan dengan judul pamflet yang menjadi media kemunculannya secara luas di kalangan sastrawan Arab sebagaimana di atas. Di samping itu, penamaan ini kemungkinan juga karena adanya kumpulan karya para pengusungnya yang disatukan dalam satu buku yang biasanya disebut Diwān atau antologi.
Sebagai aliran yang muncul untuk melakukan kritikan terhadap aliran sastra Arab modern sebelumnya (Neo-Klasik), maka sanggahan pertama yang dilontarkan adalah pada aspek bahasa dan bentuk yang digunakan pendahulunya yang dinilai sangat tradisonal. Kemudian, kritikan kedua yang dialamatkan kepada kelompok Neo-Klasik adalah karena aliran pertama dalam sastra Arab modern dinilai banyak mengumpulkan tauriyah, kināyah dan jinās. Kritikan yang dilontarkan oleh Diwan terhadap Neo-Klasik sebagai pendahulunya ini kemudian dimuat dalam sebuah esai atau tulisan mereka yang berjudul ‘al-Fushūl’.
Secara lebih terperinci, kritikan yang dilontarkan Diwān terhadap beragam upaya Neo-Klasik dalam mengembangkan sastra Arab modern dapat dikemukakan sebagaimana berikut ini, yaitu:
1.    At-Tafakkuk, yaitu karya-karya sastra yang dihasilkan para pengusung Neo-Klasik dinilai tidak memiliki kesatuan tema.
2.    Al-Ihālah, yaitu upaya yang dilakukan Neo-Klasik justru membuat makna puisi menjadi rusak karena berisikan sesuatu yang bombastis, tidak realistis dan tidak masuk akal atau irasional.
3.    At-Taqlīd, yaitu karya-karya yang dihasilkan Neo-Klasik tidak lebih dari pengulangan apa yang sudah dilakukan oleh para sastrawan sebelumnya dengan cara membolak-balikkan kata dan makna.
4.    Para pengusung aliran Neo-Klasik dinilai memiliki kecenderungan yang lebih mementingkan eksistensi dari pada substansi karya sastra yang dihasilkan.
Di samping melontarkan beragam kritikannya terhadap Neo-Klasik sebagaimana dikemukakan di atas, para pengusung aliran Diwān juga menjelaskan persoalan-persoalan baru yang terdapat dalam puisi, kritik dan tulisan sastra. Hal ini dilakukan dengan cara membuat garis pemisah antara zaman sastra Arab klasik dan sastra Arab modern sehingga keduanya tidak memungkinkan untuk bertemu.
Sebagai salah satu aliran sastra Arab modern, kelompok Diwān memiliki karakteristik yang sangat melekat pada mereka. Adapun karakteristik yang dapat membedakannya dengan kelompok sastra Arab modern lainnya adalah menolak kesatuan bait dan memberi penekanan pada kesatuan organis puisi, mempertahankan kejelasan, kesederhanaan dan keindahan bahasa puisi yang tenang, mengambil segala macam sumber untuk memperluas dan memperdalam persepsi dan sensitifitas rasa penyair. Di samping itu, karakteristik lainnya dari para pengusung aliran Diwān adalah berkaitan dengan tema-tema yang diangkat dalam karya-karya mereka. Tidak seperti aliran sebelumnya, tema-tema yang diangkat Diwān berkaitan persoalan-persoalan kontemporer seperti humanisme, nasionalisme, Arab, dan karya-karya yang dihasilkannya banyak dipengaruhi oleh romantisme dan model kritik Inggris.
Dengan beragam kritikan yang dilontarkannya terhadap objek yang menjadi faktor kemunculannya, bukan berarti aliran Diwān terlepas dari kritikan pihak lainnya. Karena dalam perkembangan sastra Arab modern aliran ini lebih menonjolkan aspek kritik dan sanggahannya terhadap Neo-Klasik yang muncul terlebih dahulu, maka sesungguhnya lebih tepat dikatakan bahwa Diwān ini adalah aliran kritik. Atau dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa para pengusung aliran ini lebih tepat disebut sebagai kritikus dari pada sebagai sastrawan atau penyair dalam upaya mereka memberi perubahan yang berarti bagi perkembangan apresiasi sastra. Hal ini karena ternyata terjadi perbedaan yang signifikan dari gagasan kesusasteraan mereka yang merupakan kritikan terhadap Neo-Klasik dengan realitas bahwa karya-karya sastra yang mereka hasilkan bernilai biasa-biasa saja.
Aliran ini tidak berlangsung lama dalam khazanah sastra Arab modern karena para pengusungnya kemudian lebih memilih berkecimpung dengan model-model karya sastra yang lain, seperti novel, drama, makalah dan kajian-kajian sastra lainnya. Setelah para tokohnya perlahan-lahan mulai meninggalkan aliran ini, maka semakin tidak jelas tujuan sesungguhnya dari mengemukanya Diwān dalam sastra Arab modern. Kemunculan aliran ini tidak lebih dari hanya keinginan para tokohnya untuk melepaskan diri sistem persyairan Arab yang sudah selama ini, sedangkan hasil karyanya berupa puisi yang mengikuti model terdahulu dengan menambahkan beberapa aspek yang baru di dalamnya.
C. Biografi Singkat Para Tokoh Diwān
1. Abdurrahman Syukri (1886-1958)
Syukri dilahirkan di Port Said, Mesir pada tahun 1886. Pendidikan menengahnya ditempuh di Iskandariyah dan setelah menyelesaikan studinya, maka dilanjutkan di Sekolah Tinggi Guru di Kairo. Di pendidikan tinggi ini Syukri berhasil menggondol gelar kesarjanaannya pada tahun 1909 dan kemudian dilanjutkannya ke Inggris. Sekembalinya dari belajar di Inggris, Syukri mulai mengaktualisasikan pengetahuan-pengetahuan yang didapatnya di Inggris di tanah airnya, Mesir. Pada awalnya Syukri menyerukan perlunya perubahan sosial dalam masyarakat Mesir dengan mengetengahkan beragam keyakinannya mengenai kemajuan ilmu pengetahuan dan rasionalisme.
Kemunculannya yang paling diingat, terutama dalam khazanah sastra Arab modern, adalah kritikan yang dilontarkannya kepada Ahmad Syauqi dan Hafiz Ibrahim yang dinilainya telah merampas nilai intuisi penyair kebanyakan dan karya-karya yang dihasilkan kedua tokoh Neo-Klasik ini tidak lebih dari hanya terbatas pada bentuk-bentuk perbandingan (maqshūr ‘alā at-tasybīhāt). Kritikan-kritikan yang dikemukakannya ini dimuat dalam bagian pendahuluan koleksi kelimanya pada tahun 1916. Tidak cukup sampai di situ, Syukri juga melontarkan kritikannya terhadap jenis puisi ijtimā’ atau puisi yang disesuaikan dengan kejadian sekitar seperti adanya kunjungan raja, kebakaran dan lain sebagainya. Bagi Syukri, puisi model seperti ini tidak bernilai apa-apa karena inovasi yang diperlukan dalam puisi Arab modern adalah puisi yang mencerminkan kehidupan terkini dan benar-benar mengekspresikan perasaan penyairnya.
Sebagaimana layaknya para tokoh yang memiliki karya paripurna yang membuatnya selalu dikenal, maka puncak ketokohan Syukri dalam khazanah sastra Arab modern adalah pemikirannya mengenai redefenisi puisi. Menurut Syukri, puisi itu adalah wijdān atau emosi dimana konsepsi emosional tentang citarasa menjadi faktor yang penting dalam menentukan hakekat dan fungsi suatu puisi. Inovasi yang didengungkan oleh Syukri ini kemudian dikenal sebagai salah satu karakteristrik aliran sastra Arab modern yang dikenal dengan nama Diwān.
2. ‘Abbās Mahmūd al-’Aqqād (1889-1973)
Al-’Aqqād, demikian ia biasa dikenal, dilahirkan di Aswān dari ayah yang seorang asli Mesir dan ibu yang seorang Kurdi. Pada awalnya, al-’Aqqād dikenal dalam dunia sastra Arab modern sebagai penyair pembaharu yang karya-karya yang dihasilkannya memperlihatkan ketidak-terikatan dengan ikatan tradisi yang sudah ada sebelumnya. Di samping menggubah puisi, al-’Aqqād juga dikenal dengan novel setengah biografinya yang berjudul Sarah.
Seperti halnya Syukri, al-’Aqqād juga melontarkan beragam kritikan terhadap upaya Neo-Klasik dalam sastra Arab modern. Menurut al-’Aqqād, kalangan Keo-Klasik seringkali menggunakan puisi-puisi klasik, padahal di era modern ini karya-karya tersebut tidak relevan lagi untuk diketengahkan. Di samping itu, lontaran kritikan al-’Aqqād terhadap Neo-Klasik juga dialamatkan pada tema atau topik yang diangkat, dimana menurutnya puisi modern tidak harus mengangkat tema-tema sebagaimana yang ada dalam karya-karya sastra klasik.
Setelah cukup lama bergelimang dengan beragam lontaran kritik dan bersinggungan dengan dunia sastra, maka pada tahun-tahun belakangan menjelang wafatnya, al-’Aqqād lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menulis buku yang sebelumnya tidak pernah ia sentuh. Jika dahulu ia menghabiskan waktunya untuk menulis puisi dan novel, maka di tahun-tahun akhir hidupnya ia banyak menulis buku yang berkaitan dengan keislaman.
3. al-Māzini (1890-1949)
Nama lengkapnya adalah Ibrāhim Abdul Qādir al-Māzini atau yang biasa dikenal dalam perbincangan sastra Arab modern dengan nama al-Māzini. Seperti halnya al-’Aqqād, al-Māzini juga pada awalnya memang dikenal sebagai penyair yang berusaha melepaskan diri dari ikatan tradisi puisi Arab yang telah ada di masa-masa sebelumnya. Inspirasi yang memotivasinya untuk melakukan sesuatu yang berbeda dalam penggubahan puisi tersebut adalah buku Arabian Night serta buku-buku pemikiran post-klasik seperti Bahā’ ad-Dīn Zuhayr dan Ibnu Farid. Pada mulanya ia lebih menyukai menulis risalah (esai), akan tetapi pada tahun 1928 al-Mazini menemukan dirinya sebagai pengarang cerita pendek yang dikenal serba jenaka. Di antara karya sastra yang sukses ditelorkannya dan menjadi salah satu karya penting dalam penulisan sastra Arab modern adalah Ibrāhim al-Khātib yang ditulis pada tahun 1930 dan selanjutnya karyanya yang lain berjudul Zaynab.
Sebagai salah satu pengusung aliran Diwān bersama dua tokoh lainnya, al-Māzini juga melontarkan kritikannya terhadap Neo-Klasik. Menurutnya, satu hal yang selalu ia sesalkan dari upaya kelompok Neo-Klasik dalam perkembangan sastra Arab modern adalah tindakan Hafiz Ibrahim yang telah melakukan penjiplakan puisi. Lebih dari itu, menurut al-Māzini sesungguhnya Ibrahim bukanlah seorang sastrawan atau penyair. Oleh karena itu, agar apa yang dilakukan oleh Ibrahim tidak terus terulang maka al-Māzini sangat menekankan orisinalistas puisi yang bersifat objektif yang menurutnya tidak akan dapat dijumpai pada karya-karya klasik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hāsyimi, Sayyid Ahmad. 1965. Jawāhir al-Adab. Mesir:  Dār al-Fikr al-’Arabi. Cetakan ke-26.
Andangdjaya, Hartojo. 1983.  Puisi Arab Modern. Jakarta: Pustaka Jaya.
Audah, Ali. 1996. Sastra Arab Mutakhir, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2 VII/1996.
Al-Iskandāry, Ahmad. dan Musthafā Anāny. TT. al-Wāsith fī al-Adab al-’Araby wa Tārīkhihi. Mesir: Dār al-Ma’ārif.
Allen, Roger. 2008. Arab Dalam Novel. Yogyakarta: E-Nusantara.
Brugman, J. 1984. An Introduction to The History of The Modern Arabic Literature in Egypt. Leiden: EJ. Brill.
Farrūkh, Umar. 1969. al-Manhāj al-Jadīd fī al-Adab al-’Araby. Beirut: Dār al-’Ilm li al-Malāyīn.
Gufron, Muhammad. 1979. Kesusastraan Arab Modern. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Tasnimah, Tatik Maryatut. 2000. Fenomena Kritik Sastra Arab. Yogyakarta:  Jurnal Fakultas Adab  ‘Thaqafiyyat’. Volume I No. 01, Juli-Desember 2000.
Zayyāt, Ahmad Hasan. TT. Tārīkh Adab al-Araby. Kairo: Dār an-Nahdhah. Cetakan ke-25.
Zaidān, Jurji. TT. al-Adab al-Lughah al-’Arābiyyah. Beirut: Dār al-Fikr. Jilid II. Juz IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar