Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar
C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda adalah sesuatu yang
berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan
merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar
tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik)
dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan
acuan tanda ini disebut objek.
Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna
tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang
terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang
gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai
dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol
keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film
Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat,
para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan
menggairahkan.
FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna
tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut.
Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang
mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier,
bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya
sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang
menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal
tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut
Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat
dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
ROLAND BARTHES
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal
dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya
sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman
kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes
meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang
diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika
suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi
makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
“keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada
simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi
menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan
tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya
dianggap sebagai sebuah Mitos.
BAUDRILLARD
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak
sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang
luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’.
Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah
kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan
produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk
beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan
dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau
hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali
kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih
ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi
seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan
khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut
telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton
dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
JACQUES DERRIDA
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa
merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi
abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa
menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut
cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru
bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya
mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan
sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang
menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik
biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman,
sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.
Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa
ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang
amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang
‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi
Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga
makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut.
Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau
mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga
menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.
Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi
simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan
realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau
dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar
melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida
sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna
tanda tersebut.
UMBERTO ECO
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan
ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian
mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan
bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang
berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni
ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco
menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur
bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti
apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara
linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa
dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam
pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan
karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu
kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori
Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa
kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar