Senin, 14 Juli 2014

Tuhan yang Selalu Mrucut dari Genggaman
oleh ANAS HIDAYAT*
sampul buku (re-) 011
Judul Buku:  Semiotika Tuhan; Tafsir Atas Pembacaan Manusia Terhadap Tuhan
Penulis       :  Audifax
Penerbit     :  Pinus, Yogyakarta
Cetakan      :  I, Mei 2007
Tebal          :  148 halaman
“Tuhan tidak akan bisa dimengerti dengan pemahaman kacamata kuda”, demikian salah satu pernyataan penting Audifax yang tertuang dalam buku ini. Memang, sudah sejak lama Tuhan menjadi obyek pemahaman manusia di muka bumi, paling diakrabi tetapi sekaligus paling misterius, paling dikenali tapi selalu penuh rahasia di baliknya. Sejak jaman prasejarah dengan peninggalan cap tangan di goa-goa kuno serta peninggalan megalithik yang magis hingga megahnya Hagia Sophia di Turki dengan menara mengarah langit, menunjukkan bahwa manusia tak pernah henti meretas jalan untuk mencari, memahami dan memuja entitas ilahiyah yang lebih agung dari dirinya itu. Dengan buku ini, Audifax berusaha untuk menggelitik kesadaran kita bahwa Tuhan bukanlah sebuah konsep pemahaman yang sudah final, melainkan selalu dalam proses pencarian yang tanpa akhir. Maka seakan terjadi paradoks, mereka yang merasa paling memahami Tuhan, justru sangat mungkin malah tidak tahu apa-apa tentang Tuhan, nah!
Buku ini menawarkan semiotika sebagai cara untuk membaca Tuhan. Semiotika yang sering diartikan sebagai ilmu tentang tanda, telah merubah jalur filsafat modern ke arah filsafat bahasa yang erat kaitannya dengan dunia penafsiran dan pemahaman. Dalam perkembangan semiotika awal, didominasi oleh perintis strukturalis seperti Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce yang melihat dunia lewat struktur-struktur tanda yang cukup rigid (kokoh) antara penanda/signifier dan petanda/signified. Lalu muncullah aliran poststrukturalis yang mulai mengguncang struktur-struktur yang mapan, dengan pembacaan yang disebut dekonstruksi. Dekonstruksi mulai diperkenalkan oleh Martin Heidegger dan diradikalkan oleh si filsuf jenius Jacques Derrida, yang mempertanyakan kembali seluruh tradisi filsafat Barat karena terjebak pada logosentrisme untuk mencari kebenaran hakiki. Menurut Dekonstruksi, hal itu (mencari kebenaran hakiki) tak akan mungkin berhasil, karena teks adalah sebuah kemungkinan yang kebenarannya akan selalu tertunda dan berbeda (differance). Sehingga Tuhan, sebagai sebuah teks yang dibaca, juga merupakan sebuah kemungkinan yang selalu terbuka terhadap penafsiran baru dari jaman ke jaman.
Dengan ilmu tafsir-menafsir inilah, atau biasa disebut hermeneutika, Audifax memulai delapan diskusinya tentang pemahaman Tuhan. Dia memulainya dengan “Tuhan Semesta dan Tuhan Sejarah”, di mana seringkali terjadi tarik-ulur antara pemahaman legitimasi Tuhan ala agama-agama besar yang menyejarah dan pemahaman Tuhan semesta yang melihat Tuhan sebagai Being/Ada yang penuh teka-teki. Tuhan sebenarnya selalu menyapa tiap manusia dengan cara-Nya sendiri yang misterius, Dia ada di alam, di dalam diri kita, di mana saja, bahkan di ujung debu jalanan. Kita pun bisa mendekati-Nya dengan berbagai macam cara sesuai perkembangan kedewasaan cara bertuhan kita. Kemudian dalam “With or Without You”, Audifax menjabarkan bahwa manusia tetap dihadapkan pada kenyataan hidup, meskipun dia percaya pada Tuhan atau tidak. Jadi, sebenarnya manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya, jangan sampai Tuhan dijadikan kambing hitam atas kegagalan kehidupan.
Diskusi selanjutnya tentang kebutuhan manusia akan hero. Sejak dulu, manusia menciptakan tokoh-tokoh hero dalam legenda yang terus berlangsung hingga sekarang, semenjak Hercules hingga Harry Potter. Demikian pula agama-agama, memunculkan hero-nya sendiri seperti nabi, rasul atau orang suci. Tapi, hero-hero itu bukan pemecah masalah hoc hic et nunc (ini, di sini, sekarang), manusia itu sendiri yang harus menjalani dan memutuskan, hero hanyalah inspirator untuk menumbuhkan semangat dan harapan ke masa depan. Dalam “Hiperealitas Tanah Terjanji”, penulis seakan mengingatkan agar manusia tidak hanyut oleh janji-janji surga terlalu mendalam, sehingga lupa dengan kehidupan dan kenyataan real di depan mata. Diskusi yang paling provokatif mungkin yang bertajuk “Biarkan Tuhan Beristirahat dalam Damai”, dengan melakukan re-interpretasi sabda Friederich Nietzsche: God is dead. Tuhan yang selama ini selalu diseret-seret dalam pertengkaran antar madzhab, peperangan antar agama dan berbagai macam bencana yang diatasnamakan Dia, sudah selayaknya diistirahatkan. Manusia harus mulai menumbuhkan kepecayaan dirinya untuk memperbaiki kehidupannya ke arah yang lebih baik.
Buku ini sangat bagus sebagai wacana pencerahan untuk memahami Tuhan, mungkin sekaligus sebagai shock therapy bagi orang-orang yang masih “kaku” pengertiannya tentang agama dan Tuhan. Dan agaknya Audifax juga tidak mengingkari landasan dekonstruksinya dengan membiarkan teks diskusinya tetap terbuka bagi pembaca. Tanpa kesimpulan dan kesepakatan akhir, justru membuka peluang untuk diskusi lebih lanjut dan membiarkan pembaca mencari dan menafsirkan definisi Tuhannya sendiri-sendiri. Lebih hebat lagi kalau pembaca mulai berani “mengistirahatkan” Tuhannya, dalam arti menanggalkan hasrat untuk merasa paling tahu dan paling sahih tentang Tuhan, lalu bersikap lebih arif dalam mencari jejak kebenaran.
Namun, di bagian prolog ada bahasan yang sedikit “meloncat”, sehingga timbul gap (jarak) yang agak mengganggu. Ketika membahas tentang “daya” dan “kehendak’ yang begitu mengasyikkan untuk dicerna dan diimajinasikan, tiba-tiba harus dilanjutkan dengan teori semiotika yang berbau tektbook, sehingga eksplorasi perenungan dan pemikiran yang sudah mulai tumbuh seperti terputus. Alangkah baiknya jika bahasan tentang daya dan kehendak tersebut diletakkan setelah teori dasar filosofisnya, sekaligus sebagai pengantar sebelum bagian diskusi agar runtutan pemahaman pembaca dalam diskusi tentang Tuhan bisa kontinyu dan tidak terputus.
Bagaimana pun juga, Semiotika Tuhan ini tetap menjadi pustaka yang sangat berharga bagi mereka yang menyukai diskusi lintas-agama dan Ketuhanan. Di saat kita mengalami krisis multi-dimensi yang kadang-kadang disertai pertengkaran dan kekerasan dengan mengatasnamakan Tuhan, buku ini menawarkan sebuah renungan untuk membaca kembali Tuhan kita yang selama ini sudah kita lembagakan (atau hanya kita simpan di lemari) sebagai kebenaran akhir. Jika kita memahami benar siapa Tuhan, maka semoga  tidak akan ada lagi permusuhan dan kerusuhan yang dipicu oleh kekuasaan yang “memperalat” Tuhan. Tuhan adalah sebuah kemungkinan, dan kita memilih kemungkinan yang membuat kehidupan semakin damai, semakin menghargai manusia lain, pendapat lain dan keyakinan lain, jauh dari nafsu ingin menang sendiri.
Tuhan memang tidak bisa kita genggam, dia akan selalu mrucut (lepas) dari genggaman, lalu kita genggam lagi dan pasti mrucut lagi, demikian seterusnya. Atau meminjam kata-kata Amir Hamzah: bertukar tangkap dengan lepas. Begitulah Tuhan, dan tampaknya manusia tak pernah jera untuk terus mencari-Nya, entah sampai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar