Senin, 14 Juli 2014

Meneropong Pemikiran Kritis Muhammad Abid Al-Jabiri

oleh Hasbil Ma'ani pada 29 April 2010 jam 23:47
 
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa, secara tidak langsung memberikan dampak hingga ke dunia Arab. Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah“ dan bangkit untuk mengejarnya.
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi1.
Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta dalam bukunya yang berjudul Dekonstruksi Tradisi, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas:
Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll.
Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll.
Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll.
Kelompok kedua, menurut Lutfi Assyaukanie, yang berafiliasi kepada tipologi reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai metode pendekatan dekonstruktif. Para pemikir dekonstruksionis Arab kebanyakan datang dari daerah Maghribi (Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Tampaknya unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap literatur berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa lainnya. Keterikatan intelektual para pemikir Arab Maghribi dengan Perancis bukan hanya sebatas bahasanya, mereka juga terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post) strukturalisme. Bahkan, lanjut Lutfi, bahwa hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang concern terhadap keislaman dan kearaban adalah penganut paham strukturalisme; itu karena problem yang mereka hadapi kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks ataupun realitas. Dan menurut mereka, metode yang paling modern dan paling ampuh untuk membaca tradisi (turats) adalah dekonstruksi2.
A.Biografi dan Karir Intelektual
Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig (Feiji), sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter3.
Jabiri muda merupakan seorang aktvis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP. Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.4
 
B.Kondisi Sosial dan Kegelisahan Al-Jabiri
Latar belakang yang membuat Jabiri menulis triloginya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (baca: Arab) tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference (baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan kebangkitan peradaban baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah5.
Al-Jabiri yang hidup dalam dua peristiwa yang krusial baik itu bagi Maroko itu sendiri, maupun bagi dunia Arab pada umumnya. Pertama, saat-saat mana ia terlahir dalam keadaan bangsanya terjajah oleh imperialisme Barat, yakni oleh Prancis dan Spanyol. Kedua, dan hal ini sangat mempengaruhi melejitnya kepesatan pemikiran Al-Jabiri. Yakni di saat ia telah merampungkan tesisnya pada tahun 1967, dan ketika ia mulai mengajar di Universitas Muhammad V di Rabat. Hal mana dalam masa-masa ini selain pemikirannya mulai menampakkan kematangan, juga yang terpenting adalah peristiwa kekalahan perang yang menimpa dunia Arab dari zionisme Israel. Hal kedua terakhir inilah yang menyebabkan Al-Jabiri menguras pemikirannya pada pencarian autentisitas dunia Arab-Islam.
Kekalahan Arab atas Israel telah menyebabkan kajian atas dunia Arab semakin menyeruak. Karena paska peperangan tersebut dunia Arab mengalami krisis yang cukup dahsyat. Sebenarnya krisis yang didera oleh dunia Arab telah lama ada sejak abad ke-19, yakni ketika dunia Arab dipersinggungkan dengan budaya heterogen yang datang dari Barat. Ekspansi politik, ekonomi, dan budaya yang dilakukan oleh negara-negara Asing terhadap dunia Arab –dalam bentuk kolonialisasi dan imperialisasi– telah menanamkan keterbelakangan dunia Arab. Permasalahan yang pelik ini telah menyita perhatian para intelektual Arab, tak terkecuali Al-Jabiri sendiri untuk menelaah kembali tradisi yang dimiliki oleh dunia Arab Islam. Para intelektual Arab mencoba mengupayakan perumusan kembali konsep tradisi agar tercipta kebangkitan dunia Arab Islam pasca keterpurukkannya.
Keresahan Jabiri juga banyak terkait dengan tradisi dan modernitas. Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu6.
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi7.
Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi8. Modernitas adalah sebuah keharusan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–supaya dia mampu menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul. Sehingga modernitas yang demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya9.
Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama, kalau bukan satu-satunya10.
C.Epistemologi Burhani, Bayani, dan ‘Irfani
Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurutnya, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua (muatan ideologis) terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis)11 sering dipakai Jabiri dalam studinya tentang Akal Arab. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.
Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu:
a. Bayani
Sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi (al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Bayan sangat terpaku ada teks, karma yang menjadi subjek dalam menggali pengetahuan adalah kata dan bahasa (Arab). Tentunya bahasa Arab yang telah dikodifikasikan dalam beberapa disiplin ilmu, yakni nahwu, sharraf, balaghah dll tidak bisa menjawab fenomena alam yang ada di luar tempat bahasa itu hidup12. Karena kondisi alam dan social masyarakat sangat berpengaruh pada kekayaan makna kata dari sebuah bahasa.
Akibat dari kodifikasi bahasa ini menyebabkan bahasa yang pada awalnya merupakan hasil dari ekspresi manusia terhadap interpretasinya akan realitas telah berubah menjadi sesuatu disiplin ilmu yang telah matang dan utuh ketika masa kodifikasi Islam. Dan kemudian, dari kodifikasi dalam hal ke-bahasaan ini lah menjadi dasar para fuqaha’ dan teolog untuk memudahkan penafsirannya terhadap teks13.
Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse)14. Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis (qiyas), dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak.
Dalam bayani, rasio diangga tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks15. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek syari’at. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash).
Ketika kita fahami bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan realitas, maka persoalan pokok yang muncul adalah sekitar masalah lafaz dan makna. Menurut Jabiri, persoalan lafaz-makna mengandung dua aspek yaitu teoritis dan praktis. Dari sisi teori muncul 3 persoalan: (1) tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya; (2) tentang analogi bahasa; (3) soal pemaknaan al-asma’ asy-syar’iyah. Secara rinci dijelaskan di bawah ini16:
Pertama, pemberian makna atas sebuah kata, muncul akibat adanya perdebatan antara kaum rasionalis (Mu’tazilah) dengan ahli hadits. Menurut Mu’tazilah, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks dan istilahnya, sementara bagi ahli hadits harus dimaknai sesuai makna asalnya.
Kedua, tentang analogi bahasa, peng-analogi-an sebuah kata dibolehkan dari sisi logika bahasnya, namun tidak pada redaksinya. Karena masing-masing kata mempunyai kedalaman makna yang berbeda.
Ketiga, pemaknaan al-asma’ asy-syar’iyah, Menurut al-Baqilani, bahasa arab harus dimaknai sesuai dengan tradisi dan kebudayaan Arab. Sedangkan menurut Mu’tazilah pada hal tertentu bisa dimaknai dengan pengertian lain.
Adapun cara mendapatkan engetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan. Yaitu dengan berpegang teguh pada lafal teks, dengan menggunakan kaidah seperti nahwu sharraf dll. Dan kemudian berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika sebagai sarana analisis.
b. Irfani
Pengetahuan irfani didasarkan atas wahyu atau ilham yang telah diberikan Tuhan kepada manusia suci. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan rohani, dimana dengan kesucian, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya17. Nalar ini banyak dipengaruhi oleh Hermetik dan Persia sebagai penganut gnostisisme.
Nalar irfani berusaha menyesuaikan konsep yang diperoleh lewat kasyf dengan teks. Dengan kata lain, seperti yang dikatan Ghazali, zahir teks dijadikan furu’, sedangkan konsep atau pengetahuan kasyf sebagai al-asl (pokok). Karena itu, model irfani ini tidak memerlukan persyaratan ‘illah sebagaimana dalam bayani, tetai hanya bepedoman pada isyarat (petunjuk batin)18.
Diantara Tokoh ataupun kelompok yang banyak menggunakan metode ini adalah seperti Al-Manawiyah, Hermetisme, Al-Ghazali dan Suhrawardi al-Halabi. Yang mana metode ini tumbuh subur ketika masa kodifikasi atau mungkin telah berakar sebelum masa kodifikasi. Dan bersamaan pula dengan masa legislasi bagi legislator dalam teologi19.
Menutur Suhrawardi, secara metodologis pengetahuan ruhani setidaknya dapat diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan.
Pertama, persiapan. Untuk bisa menerima “berkah” pengetahuan, seseorang yang biasanya disebut salik (penempuh jalan spritual) harus menuntaskan tahapan-tahapan kehidupan spiritual. Tahapan-tahapan itu ada 7 (tujuh) yakni: 1) Taubat 2) Wara’ 3) Zuhud 4) Faqir 5) Sabar 6) Tawakkal dan 7) Ridlha.
Kedua, penerimaan. Setelah seseorang melampaui tingkatan pertama, maka dia akan menerima apa yang disebut dengan kesadaran diri mutlak (kasyf). Yang kemudian ia dapat melihat realitas dirinya sendiri sebagai objek yang diketahui. Maka, pengetahuan irfani ini tidak diperoleh dari data-data indera apapun, melainkan dari internal salik itu sendiri dan menafikan factor eksternal.
Ketiga, pengungkapan. Setelah melalui proses panjang dalam penyucian diri dan setelah menerima “ilham”, maka yang terakhir adalah mengungkapkan apa yang ia dapat dari proses sufi tersebut. Namun pengungkapan ini tidak dapat dikemukakan secara keseluruhan, karena proses yang didapat tidak melalui tatanan konsepsi dan representasi.
Mengenai nalar ini, Jabiri dengan tegas menyatakan penolakannya. Salah satu tokoh yang merepresentasikan dari pengikut nalar ini adalah Al-Ghazali. Menurutnya, Tokoh seperti Ghazali harus ditinggalkan karena ia telah mencampuradukkan antara ajaran Islam dan gnostisisme Persia. Kesuksesan tasawuf Ghazali sehingga diterima sebagai sebuah ajaran yang ortodoks adalah karena strategi cerdiknya, yakni memasukkan tasawuf melalui pintu fiqh20.
c. Burhani
Epistemology burhani didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Dengan kata lain, metode bayani adalah metode yang bersifat rasional.
Macam metode ini, secara historis, diawali pada masa Khalifah Al-Ma’mun, yang mana pada masa tersebut sang Khalifah mengirim surat kepada Raja Romawi untuk diberikan izin mengambil buku-buku Arab Pra Islam sebagai tambahan khazanah ke-Islaman, terutama buku-buku karya Aristoteles. Dimana hal itu terinspirasi dari mimpi Khalifah Al-Ma’mun yang bertemu dengan Aristoteles dan bertanya jawab soal kebaikan, yang menurut mimpi tersebut dikatan bahwa Kebaikan itu adalah sesuatu yang dianggap baik oleh akal, syara’ dan jumhur, tidak ada yang lain21.
Namun Abed al-Jabiri menegaskan, bahwa inti dari mimpi itu adalah menegasikan Gnostisisme (irfani) yang dipakai oleh Ghazali, kelompok al-manawiyah dan Syi’ah. Karena dalam mencari kebaikan hanya dapat diperoleh dengan melihat nash (syara’), akal atau rasio dan jumhur yang dalam bahasa epistem nya adalah ijma’22.
Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi23. Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan “processed structure” (al-bunyah al-muhassalah). Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual24.
Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.
D.Kritik Akal Politik Arab
Jabiri melihat aktivitas politik Arab mempunyai motif-motif (al-muhaddidat) dan pengejawantahan (al-tajalliyat). Adapun motif-motif tersebut, Jabiri melihat tiga motif yang dominan dalam praktik politik Arab. Motif ideologis (al-‘aqidah), motif ikatan in-group sedarah (al-qabilah) dan motif materi (al-ghanimah).
Motif pertama tidak diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan “fenomena politis” yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama, di satu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu kaum kafir Quraisy, di pihak lain. Sedangkan dengan motif kedua adalah peranan ikatan in-group di antara klan-klan Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif maupun negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal. Dan yang ketiga, motif al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan terhadap berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu25.
Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan Islam awal menjadi tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode Madinah. Kedua pada fase negara Islam yang established, yang diwakili pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dan ketiga fase ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme kerajaan monarki26.
Timbulnya kerajaan politik ini (al-mulk al-siyasi) ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan (al-tajalliyat) dari Akal Politik Arab, di samping timbulnya mitos keimaman yang dimunculkan oleh kaum Syiah. Selain itu, timbul pula Ideologi kesultanan dan–apa yang disebut oleh Jabiri sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan oleh dinasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi kekaisaran Persia, sedangkan fikih politik merupakan kompilasi hukum “agama” yang mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan kekuasaan junta militer (ashab al-syaukah). Tak perlu ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi kesultanan inilah yang sampai sekarang mendominasi praktik politik Arab. Membuat rakyat yang seharusnya memegang supremasi kekuasaan, dikungkung oleh khurafat dan menyerah kepada takdir.
Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe ideal27:
1.Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.
2.Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.
3.Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.
Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal Pilitik Arab “hampir” menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan berarti Jabiri mendukung sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok dengan umat Islam, karena sekularisme didasarka pada pemisahan gereja dan agama. Pemisahan demikian ini memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen. Karena tidak ada gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan semacam ini. Umat Islam menghendaki agar Islam dijaga dan diterapkan sebagai acuan etis dan Syari’ah, hukum yang diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip bagi kehidupan sosial dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang diperbaharui28.
E.Penutup
Bagaimanapun juga pemikiran Jabiri–terlepas dari pro dan kontra terhadap pemikirannya tersebut–yang tertuang dalam Kritik Nalar Arab-nya merupakan pemikiran yang patut diapresiasi. Pemetaan yang dilakukannya terhadap epistemologis dan ideologi yang berkembang di dunia Arab memberikan warna baru dan ciri khasnya tersendiri. Dengan bermodalkan philosophical approaches yang menjadi background pendidikannya, Jabiri menawarkan solusi untuk memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab sepuluh Abad lebih.
Walaupun demikian, sebagai seorang pembaca, kita seharusnya mengambil jarak dan tidak bersikap taken for granted terhadap pemikiran Jabiri. Sikap tersebut dibutuhkan agar penilaian yang terjadi terhadap sebuah pemikiran diharapkan objektif dan tidak memihak.

Daftar Pustaka
Abied Syah, Muhammad Aunul., dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, 2001, Bandung: Mizan

al-Jabiri, Mohammed ‘Abed., Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, 2003, Yogyakarta: Islamika

al-Jabiri, Muhammad Abed., Formasi Nalar Arab, 2003, Yogyakarta: IRCiSoD

Assyaukanie, Lutfi., Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, artikel diakses dari dari http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html

Cooper, John., dkk, ed., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr Hamid Abu Zayd, 2002, Jakarta: Erlangga

Misrawi, Zuhairi., Muhammad Abied Al-Jabiri: Pentingnya Aktualisasi Tradisi Sebagai Bentuk Kodifikasi Baru, artikel diakses dari http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=148

Syafrin, Nirwan., Kritik Terhadap Kritik Akal Islam Al-Jabiri, 2004, Islamiya

Soleh, A. Khudori., Pemikiran Islam Kontemporer, 2003, Yogyakarta: Penerbit Jendela

Wijaya, Aksin., Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, 2004, Yogyakarta: Safiria Insania Press

Yoesqi, Moh. Isom., Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri Tentang Turats Dan Hubungan Arab Dan Barat,” artikel diakses dari http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi6/aljabiri.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar