Senin, 14 Juli 2014


Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana, 

Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan Menurut Michel Foucault”.
Oleh : HARTOYO

Pertemuan sebelumnya disampaikan oleh Gadis Arivia, 5 Juni 2010 di tempat yang sama dengan mengupas pemikiran Simone de Beauvoir tentang tubuh perempuan, konsep liyan (yang lain) dan etika sosial. Haryatmoko sendiri adalah seorang pastor sekaligus dosen filsafat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta selain itu mengajar di beberapa universitas di Indonesia.
Menurut Romo Moko (begitu panggilangan akrab Haryatmoko), Foucault ini meyampaikan konsep hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Kalau Simone de Beauvoir menekankan bahwa penindasan terjadi ada pihak yang menganggap pihak lain dengan the other—sebagai sub ordinat. 

Sedangkan Foucault menjelaskan bahwa untuk melakukan penindasan dibutuhkan pengetahuan untuk menguasai pihak yang ditindas. Menurut Foucault melalui pengetahuan maka lahirlah kekuasaan, yang akhirnya dapat digunakan untuk menguasai pihak lain. Sehingga pengetahuan menjadi “saudara kembarnya”. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, begitu juga tidak ada pengetahuan tanpa melahirkan kekuasaan.
Michel Foucault adalah seorang philosof Perancis, lahir pada 15 Oktober 1926 di Poitiers, Perancis sedang wafat pada 25 Juni 1984 di Paris. 

Selama hidupnya ia memberikan sumbangsih soal konsep hubungan kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasan menurut Foucault tidak selalu negatif. Kekuasaan justru dapat menjadikan sesuatu yang produktif. Misalnya seseorang yang kritis dan mempertanyakan semua aturan justru lahir dari dampak pengetahuan dan kekuasaan yang represif/otoriter. 

Kemudian kekritisan itu melahirkan pemikiran baru tentang pengetahuan dan kekuasaan yang baru pula. Foucault menjelaskan bahwa dengan adanya kekuasaan maka akan menimbulkan resistensi perlawanan. 

Sehingga resisten dalam bentuk perlawanan itu justru lahir dari kekuasaan itu sendiri.
Penelitian Michel Foucault dalam bukunya yang terkenal Sejarah Seksualitas jilid I-III, kekuasaan adalah sebuah rezim yang dapat melakukan kontrol, menguasai pihak lain. Pengontrolan itu sampai pada wilayah yang paling pribadi atau intim, yaitu tubuh. Tubuh yang menjadi objek kekuasaan bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang dapat tunduk dengan kekuasaan tersebut. Sehingga tujuannya akhirnya untuk menciptakan manusia yang produktif sesuai dengan aturan kekuasaan tersebut.

Kemudian kekuasan dan pengetahuan itu dijustifkasi melalui berbagai lembaga resmi, misalnya agama, negara, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Misalnya lembaga agama melahirkan pengetahuan tentang (dosa-pahala, fatwa haram-halal), negara (kebijakan tentang kriminal-non kriminal) dan ilmu pengetahuan (ilmiah-tidak ilmiah).

 Kemudian masyarakat mengikuti aturan-aturan itu.
Dalam konteks ini ukuran kebaikan dibangun atas wacana (pengetahuan) yang akhirnya mengatur gerak-gerik tubuh manusia (seksualitas). Contoh yang paling mudah sekarang negara melahirkan sekitar 137 peraturan daerah yang mengatur bagaimana sebaiknya perempuan berpakaian dan bertindak. Serta larangan kelompok homoseksual.
Selama ini telah dibangun wacana bahwa setiap hubungan seksual diperuntuhkan untuk prokreasi (meneruskan keturunan), dalam bingkai perkawinan yang sah, antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual). Maka semua yang diluar itu dianggap amoral, kotor, layak untuk dihujat dan dikriminalkan oleh negara. Yang termasuk amoral itu seperti kelompok gay, lesbian, biseksual, waria, hubungan sex diluar pernikahan, pelaku onani dan masturbasi.
Mengapa Video porno yang mirip artis itu begitu dihujat dan dinistakan oleh media dan masyarakat? Salah satu alasanya karena dilakukan di luar lembaga pernikahan yang tujuannya untuk rekreasi (kesenangan belaka). Maka dianggap sebagai tindakan yang amoral dan pendosa. Namun penilaian itu adalah produk pengetahuan yang berasal dari lembaga kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Masih banyak lagi contoh-contoh kekuasaan yang dibentuk atas tubuh sebagai alat kontrol, misalnya program Keluarga Berencana (KB) dan larangan aborsi. Itu semua tujuannya untuk kepentingan ekonomis dan atas nama moral dari pemegang kekuasaan. Cara-cara kontrol atas alat-alat reproduksi ini disebut dengan bio-politik.
Kalau dilihat dari tren sekarang ini, menurut Komnas Perempuan, tujuan dari Perda-Perda Diskriminatif itu untuk membangun politik pencitraan penguasaan kepada rakyat. Agar dikatakan sebagai pemimpin yang bermoral. Padahal tindakan untuk mensejahterakan rakyat dan memberantas korupsi tidak sama sekali dilakukan secara maksimal.
Jika dikaitkan dengan isu kelompok homoseksual, kapan pengetahuan dan kekuasaan itu bekerja? Kita tahu sekarang ini ilmu psikologi dan psikiater mengeluarkan homoseksual sebagai penyimpangan seksual atau bukan gangguan jiwa. Para psikologi dan psikiater seluruh dunia pada tahun 1975 sepakat mengeluarkan homoseksual sebagai penyakit. Artinya sebelumnya homoseksual masih digolongkan sebagai penyakit atau gangguan jiwa. Artinya dalam konteks ini pengetahuan (ilmu psikologi/psikiater) membangun wacana yang akhirnya punya kuasa untuk menentukan mana yang sakit dan mana yang tidak, mana yang meyimpang dan mana yang normal.
Sehingga dalam konteks ini, kelompok homoseksual kenormalannya diatur dan ditentukan oleh pengetahuan psikolog dan psikiater. Apakah akan dimasukan dalam penyakit atau bukan! Ini yang dimaksud oleh Foucault sebagai pengetahuan yang membentuk kuasa atas tubuh. Akibatnya dengan dikeluarkan homoseksual sebagai penyakit maka diseluruh dunia khususnya para medis harus “tunduk” dengan aturan itu. Disinilah pengetahuan dan kuasa itu bekerja.
Kemudian bagaimana kelanggengan kekuasaan itu dibangun? Menurut Romo Haryatmoko melalui suatu sistem yang disebut Sistem Panoptik. Sistem panoptik ini adalah satu yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1719) tujuannya untuk melakukan pengawasan terhadap pihak yang diawasi. Pola kerja pengawasan dilakukan dengan diskontiyu (tidak terus menerus) tetapi berdampak secara kontinyu (terus menerus). Bentuk pengawasan ini tujuannya untuk menghasilkan ketaatan yang secara permanen tetapi kecil sumberdaya yang digunakan. Panoptik bisa saja menjadi efektif dan ekonomis tetapi juga bisa menjadi buruk dampaknya. Misalnya ajaran agama bahwa setiap saat Tuhan selalu melihat apa yang dilakukan umatnya, ini adalah salah satu contoh sistem panoptik yang dilakukan oleh lembaga agama. Sehingga dengan cara itu mengakibatkan umat harus berbuat baik selalu kepada yang lain karena Tuhan diyakini selalu mengawasi. Ini contoh hal yang positif dalam sistem panoptik bekerja.
Sistem panoptik sendiri juga banyak diterapkan dalam perusahaan ataupun lembaga pendidikan, seperti infeksi mendadak pemimpin perusahaan kepada bawahannya. Kemudian kasus pemeriksaan video di hand phone siswa yang meyimpang gambar atau video porno. Cara-cara seperti tidak selalu dilakukan tetapi membuat karyawan perusahaan dan siswa sekolah menjadi “ketakutan” atau merasa diawasi oleh pemimpin atau gurunya.
Kalau Sistem panoptik terus menerus dilaksanakan, maka akhirnya akan menginternalisasi dan menghasilkan kepatuhan pada pihak yang diatur. Disinilah hubungan sistem panoptik dengan pelanggengan pengetahuan dan kekuasaan itu.
Begitulah sumbangsih pemikiran Michel Foucault yang penulis pikir sampai sekarang masih relevan untuk dibahas dan dikaji dalam konteks Indonesia yang penuh politik pencitraan.

http://salihara.org/community/2010/06/17/video-porno-pengetahuan-kekuasaan-dan-pemikiran-michel-foucault

Tidak ada komentar:

Posting Komentar