Senin, 14 Juli 2014


EPISTEMOLOGI BAYANI, ‘IRFANI, BURHANI ‘ABID AL-JABIRI

By, Burhani Abid Al Jabiri

  1. A.  Pendahuluan
Belakangan, nama Muhammad Abed al-Ja>biri>, seorang pemikir kontemporer asal maroko, kiranya tidak asing lagi bagi kita. Khususnya setelah karyanya hadir untuk menyerukan “kritik nalar Arab”. Kajiannya ini merupakan refleksi dari kegelisahan terhadap kegagalan atas kebangkitan Arab Islam, di mana tradisi masih dijadikan “prinsip dasar” untuk berpijak dalam era kontemporer ini. Sehingga, apa yang al-Ja>biri> lakukan adalah mencoba untuk merekonstruksi pemahaman itu.
Makalah ini akan memberikan penjelasan bagaiaman al-Jabiri[1]> membangun pemikirannya, berangkat dari tradisi yang lampau untuk dijadikan pijakan guna membangun pemikiran –kritik nalar- yang baru.

  1. B.   Proyek Kebangkitan (Arab) Islam: Kritik Nalar Arab
Keterkaitan antara proyek kritik nalar Arab dan kebangkitan terjadi pada dua tataran. Pertama, kritik nalar lahir dari refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam; kedua, ia juga sekaligus menjadi upaya awal untuk merealisasikan upaya kebangkitan tersebut. Artinya, kritik nalar Arab, di satu sisi dilatari oleh keprihatinan atas kegagalan Islam dan di sisi lain terdapat ambisi untuk mewujudkannya.

Al-Ja>biri> kemudian mencoba merealisasikan itu. Ia mengemukakan bahwa factor utama yang menyebabkan kegagalan Islam adalah karena upaya kebangkitan itu menyimpang dari mekanisme  kebangkitan yang semestinya. Al-Ja>bir> berkeyakinan bahwa mekanisme kebangkitan diawali dengan seruan berpegang kepada tradisi atau tepatnya kembali kepada “prinsip-prinsip dasar”. Tetapi ini bukan dalam pengertian menjadikan “prinsip dasar” dari masa lalu sebagai landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi sebagai dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan terhadap masa lampau yang lebih dekat, kemudian melopat ke masa lampau. Prinsip-prinsip dasar dari masa lalu yang jauh itu kemudian ditafsirkan dalam bentuk yang sesuai dengan nilai-nilai baru.[2] Proyeksi ini meniscayakan penggunaan tradisi (prinsip-prinsip dasar) sebagai sandaran untuk melakukan kritik dan melampauinya, bukan sebagai sebuah tradisi yang beku dan statis.
Dengan demikian, proyek kritik nalar Arab Islam adalah sebuah upaya untuk merekonstruksi tradisi (prinsip-prinsip dasar) dengan melakukan pembacaan dan pensikapan dengan melakukan penulisan ulang terhadap sejarah untuk membatasi kekuatan dan otoritasnya serta memulihkan historisitas dan relatifitasnya dengan merekonstruksi sturktur dan jalinan unsur-unsurnya. Di samping itu, dengan melakukan kritik tersebut, al-Ja>biri> hendak menempatkan tradisi dalam konteks historisnya dengan segala keterbatasan dan relatifitasnya. Dari sana, memungkinkan menemukan aspek-aspek tradisi yang memiliki dinamisme dan progresifitas yang layak dijadikan landasan untuk membangun masa depan.[3]
Dari sinilah al-Ja>biri> mengenalkan rekonstruksi pemikirannya terhadap tradisi dengan proses pembentukan nalar Arab, sehingga sampai kepada kajian terhadap proses trilogy formasi epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani.

  1. C.   Epistemologi Bayani, ‘Irfani, Burhani dan Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Keagamaan
  2. Epistemologi Bayani
Menurut al-Ja>biri> bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks Arab (nas}s}), secara langsung ataupun tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidla>l). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan dan mengaplikasikannya langsung tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang mentah, sehingga memerlukan tafsir dan penalaran lebih mendalam. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal dan nalar atau rasio dapat bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap bersandar pada teks.[4]
Epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi, sampai kepada wilayah tafsir, fiqh, ushul fiqh, dan lain-lain. Puncaknya adalah ketika Syafi’i menjadi tolak ukur metodologi dalam ranah syari’ah. Adapun metode berpikir yang diusung oleh Syafi’i adalah bertolak dari teks al-Qur’an dan berusaha memahaminya dalam ruang operasionalnya sendiri, yang mana nalar Arab pada masa Nabi dan sahabat itu bergerak.[5]
Baya>ni, bila ditinjau dari segi historis kemunculannya, ia terbagi menjadi dua: pertama, kaedah atau dasar-dasar menafsirkan titah (khita>b), kata interpretasi atau penafsiran dikembalikan pada masa Nabi di saat para sahabat menafsirkan makna-makna dan ibarah-ibarah yang ada dalam al-Qur’an, atau paling tidak pada masa khulafa’ al-ra>syidi>n, di saat umat bertanya kepada para sahabat tentang persoalan umat yang sulit dipecahkan. Kedua, syarat-syarat produksi titah/ khit}a>b, tema yang berhubungan dengan retotika, yang jelas ini muncul bersamaan dengan munculnya aliran politik dan perbedaan kalam setelah kejadian ‘tah}kim’, di mana saat itu terjadi perdebatan yang bersifat “kala>m sebagai saran penyebarluasan, memperoleh kemenangan, bantahan, dan permusuhan.[6]
  1. Epistemologi ‘Irfani\
Dalam menerjemahkan kata ‘irfa>n, kita dihadapkan dengan dua makna kata yang serupa tapi tak sama. Yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Yang kedua adalah “Gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada “Gnostisime”.[7]
‘Irfani> merupakan kelanjutan dari baya>ni, akan tetapi kedua pengetahuan ini berbeda satu sama lain. Baya>ni mendasari pengetahuannya kepada teks, sedangkan ‘irfani> mendasari pengetahuannya kepada kas\f, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia oleh/karena Tuhan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak diperoleh berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan.[8]
Adapun cara kerja ‘irfani> adalah proses pemahaman yang berangkat makna sebuah teks menuju lafaz} teks tersebut. Persoalannya bagaimana mengungkap makna atau dimensi batin yang diperoleh dari proses kas\f tersebut?. Al-Jabiri> mengemukakan bahwa makna tersebut bisa terungkap pertama, dengan menggunakan cara apa yang disebut qiya>s ‘irfa>ni, yaitu analofi makna batin yang diungkap dalam kas\f kepada makna z\a>hir yang ada dalam teks.[9]
Dengan demikian, kendati pun proses pengetahuan ‘irfa>ni terletak pada aktivitas akal, yakni pada proses intuitif, akan tetapi proses pengetahuan ini dituntun oleh rambu-rambu al-Qur’an dan hadis. Ini dapat dilihat dari bagaimana proses pengungkapan makna dari sebuah teks.
  1. Epistemologi Burhani
Burhani> lebih mendasari dirinya pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Hal ini ditegaskan oleh al-Ja>biri> bahwa burha>ni menghasilkan pengetahuan melalui prisnsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Di samping itu, dalil-dalil logika tersebut memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah tas}awwur dan tas}di>q. Tas}awwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedangkan tas}di>q adalah proses pembuktian terhadap kebenaran atau konsep tersebut.[10] Penjelasan tersebut kiranya “sah” apabila penulis sebut sebagai pandangan umum dari epistemologi burha>ni yang dikemukakan ‘Abid Al-Ja>biri>. Namun sebelum itu, baik kiranya apabila penulis menjelaskan secara singkat proses masuknya akal dalam Islam.
Al-Ja>biri> mengemukakan bahwa masuknya akal dalam Islam berawal dari kegandrungan khalifah al-Ma’mun terhadap filsafat yang dalam hal ini adalah filsafat Aristoteles. Berawal dari mimpi al-Ma’mun dimana ia bertemu dengan Aristoteles.[11] Mimpi itu membincangkan “apa yang disebut kebaikan?”. Dalam mimpi itu dijelaskan bahwa ada tiga cara mengetahui kebaikan: akal, syara’, dan jumhur yang dalam ranah epistemologis disebut ijma’. Dari itu dapat dinyatakan bahwa tidak ada sumber pengetahuan lain kecuali ketiga sumber yang telah disebutkan di atas. Selain itu, tujuan dari penerjemahan buku-buku filsafat oleh al-Ma’mun dijadikan strategi baru untuk menentang aliran Gnostisisme Al-Manawiyah dan ‘irfan Syi’ah, yakni menggunakan Aristoteles dalam kerangka strategi umum dengan tujuan menanamkan akal –akal universal- agar menjadi rujukan dalam menyelesaikan perselisihan reigius-ideologis.[12]
Seiring dengan perjalanannya, perjuangan al-Ma’mun untuk menghadapi “ketersingkiran akal” seperti diusung oleh Almanawiyah dan Syiah, mendapat ‘acungan jempol’ atau penguatan dari ulama, semasanya, yaitu al-Kindi (185-252 H). Ia gencar melakukan propaganda untuk menentang Almanawiyah dan Syiah Batiniyah lewat tulisan-tulisannya yang berbentuk ringkasan-ringkasan kajiannya tentang ilmu filsafat murni (yang sama sekali terlepas dari unsur Helenestik), di mana ringkasan tersebut membahas pandangan ilmia rasional terhadap alam dan manusia dengan memberikan penghargaan terhadap “rasionalitas agama” Arab. Ringkasan-ringkaan tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran Aristoteles pada umumnya dan sistem pengetahuan yang mendasarinya yang berlawanan dengan sistem pengetahuan ‘irfani, sistem yang bergerak dari yang terindera kepada yang ternalar, dari konkrit kepada abstrak dan berpegang kepada pengalaman alamiah dan pengetahuan umum dan bukan pengalaman sufistik-psikologis.[13]
Oleh sebab itu, pergumulan wacana tentang masuknya akal dalam kebudayaan Arab Islam bukan persoalan yang gampang, karena hal ini meniscayakan terjadinya perang wacana maupun ideologi-politik, yakni berhadapan dengan kebudayaan nalar Arab yang di satu sisi menganut Gnostisisme sebagaimana dianut kelompok Almanawiyah dan Syiah Batiniyah, yang diperangi oleh kelompok filsafat Islam yang diusung pertama kali oleh al-Ma’mun dan dikuatkan oleh pemikiran-pemikiran al-Kindi mengenai filsafat Islam.
Perbincangan ini belum berhenti sampai di sini. Al-Ja>biri> mengemukakan bahwa kajian al-Kindi terkait filsafat Islam –menganut filsafat Aristotelian- dirasa belum sempurna. Al-Jabiri mengatakan:
“al-Kindi telah menggali kembali Aristoteles sebagai seorang ahli ilmu kealaman, hampir secara sempurna, namun ia tidak merambah wilayah logika khususnya bagian “al-Burhan”. … al-Kindi sedikit sekali menyinggung burhan, karena ia terikat dengan bayan, dan sibuk dengan upaya menentang ‘irfan dan mengabaikan filsafat politik karena ia berfilsafat karena tujuan politik; artinya ia berfilsafat untuk menopang politik yang berkuasa, politik “daulah al-‘aqlbayani Mu’tazili yang menaunginya.[14]
Dengan begitu, al-Ja>biri> mencoba memasukkan pemikiran al-Farabi tentang filsafat, yang sejatinya lebih concern terhadap wilayah burhan dan untuk menjembatani “kegagalan” al-Kindi dalam menjelaskan filsafat pada ranah burhani-nya.
Di sinilah al-Farabi hadir memberikan kontribusi keilmuwan yang lebih concern kepada logika. Sebagai seorang pengkaji filsafat –bidang logika-, ia mampu memahami logika Aristoteles dengan sempurna, dengan memahami titik-titik penting yang ada di dalamnya, juga melihat bahwa logika bisa menjadi sarana yang memungkinkan membatasi kekacauan pemikiran. Terlebih ia menjelaskan fungsi sosial dari logika, yakni fungsinya pada tingkat interaksi pemikiran dalam masyarakat. Dengan demikian, “jika perumusan logika seccara keseluruhan menghasilkan aturan-aturan yang akan meluruskan akal, mengarahkan manusia kepada jalan yang benar dan salah dalam kategori yang memiliki kemungkinan terjadinya kekeliruan, maka wilayah aksi (majal al-fa’aliyah) dari aturan-aturan ini memberikan batas-batas “yang kita gunakan untuk mengoreksi apa yang ada pada kita, mengoreksi apa yang ada pada orang lain, dan digunakan orang lain untuk mengoreksi yang ada pada kita.[15]
Menurut al-Farabi, akal memiliki lima aktivitas: membuat ungkapan-ungkapan argumentatif (burhaniyah), pernyataan dialektis (al-aqaqil al-jadaliyah), pernyataan sophis (al-aqawil al-sufsut}aiyah), pernyataan retorik (al-aqawil al-khit}abiyah), dan ungkapan syair (al-aqawil al-syi’riyah).[16] Kelima aktivitas akal ini selanjutnya dapat digunakan untuk menjawab, menghilangkan perselisihan dan merealisasikan eksatuan pemikiran dalam masyarakat, dengan cara menunjukkan kekacauan yang terjadi dalam kehidupan pemikiran dalam masyarakat sebab mereka tidak mengenal dan memahami logika.[17]
Dengan demikian, penjelasan-penjelasan di atas kiranya dapat memberikan gambaran bagaimana burhan atau akal menjadi objek paling mendasar dan pokok dalam logika. Di samping, bagaimana ia memiliki independensi untuk dijadikan tempat kembali bagi perkara dan kondisi baru melalui analogi. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Farabi bahwa “akal tidak membutuhkan sumber, tidak membutuhkan ilham, atau guru yang mentranfer pengetahuan. Ia mampu menopang dirinya sendiri lantaran di dalamnya sudah terdapat “asumsi-asumsi dasar” (muqadda>t al-awa’il), yakni prinsip-prinsip akal yang menjadi landasan bagi ilmu dan diketahui secara niscaya. Prinsip yang menjadi titik permulaan dan titik tolak dalam argumentasi (istidlal) dengan menyusun qiyasa>t burhaniyah yang di atasnya dibangun ilmu yang pasti (yaqin)”.[18]

  1. D.  Penutup
Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Al-Ja>biri> berangkat dari kegelisahan atas kegagalan kebangkitan Arab Islam kontemporer, yang kemudian ia ekspresikan atau refleksikan dengan melakukan kritik epistemologis atas nalar Arab Islam, yakni dengan mengemukakan beberapa epistemologi “baya>ni, ‘irfa>ni, dan burha>ni”.
Di samping itu, ia juga menegaskan bahwa tradisi seharusnya tidak digunakan sebagai “prinsip dasar” masa lalu yang kemudian dijadikan landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi atas dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan masa lampau yang lebih dekat dan kemudian melompat ke masa depan.
Demikian penjelasan tentang trilogi epistemologi al-Ja>biri>. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat. Amiin.

  1. E.   Referensi
Ja>biri>. M. ‘AKritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam,
terj. Burhan Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003.
_______, Problem Peradaban: Penelusuran Jejak Kebudayaan Arab Islam dan Timur, terj. Sumarwoto Dema dan Mosiri. Yogyakarta: Belukar, 2004.
_______, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Jihad. Zayyin Alfi, Intuisi Menurut Mohammad A>bid Al-Ja>biri>. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin, 2004.
Nugroho. Supaat Eko, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\). Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007.
\Shah. M. Aunul Abied dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologi terhadap Trilogi Kritik Al-Ja>biri>” dalam Isla Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001.
Sholeh. A. Khudori (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Ja>biri> dalam Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003.


[1] Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abiri>, ia lahir di Figuig pada tahun 1936 M. Dia diasuh sendiri oleh ibunya lantaran kedua orang tuanya berpisah saat ia masi dalam kandungan. Selam diasuh oleh ibunya ia memperoleh pendidikan disekolah tradisinal. Proses perjalanan pendidikannya saat itu sangat mengesankan, terbukti pada tahun 1957 M. ia memporeleh gelar sarjana muda. Pada tahun 1958 ia asuk Fakultas Adab di Rabat, dengan spesifikasi bidang yang ia tempuh adalah filsafat, yang ia tempuh hingga tahun 1967 M. Sejak saat itu ia mengajar di Fakultas Adab Universitas Al-Kams. Gelar doktornya, ia raih pada tahun 1970 M. di Universitas yang sama dengan bidang yang sama. Ia juga mendapat penghargaan “Baghdad Prize” pada tahun 1988 M. Lihat: M. ‘Abiri>, Kritik Pemikiran Islam, Wacana Baru Filsafat Islam, terj. Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hlm. Vi.
[2] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 7.
[3] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm.
[4] Dalam hal ini, sudah menjadi pengetahuan bahwa teks yang dimaksud dalam tradisi Arab Islam adalah al-Qur’an dan Hadis, yang kemudia menjadi sumber-sumber produk pemikiran ulama-ulama klasik untuk ber-istinbat} hukum. Lihat: Supaat Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 84. Lihat juga: M. ‘Abid Al-Ja>biri>, Problem Peradaban: Penelusuran Jejak Kebudayaan Arab Islam dan Timur, terj. Sumarwoto Dema dan Mosiri (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 106.
[5] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 190.
[6] Zayyin Alfi Jihad, Intuisi Menurut Mohammad A>bid Al-Ja>biri> (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2004), hlm. 84.
[7] Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 94. Lihat juga: M. Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologi terhadap Trilogi Kritik Al-Ja>biri>” dalam Isla Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 316.
[8] A. Khudori Sholeh (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Ja>biri> dalam Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 233.
[9] Perlu diketahui bahwa hakikat qiya>s ‘irfa>ni yang diperoleh para sufi tidaklah sama, itu artinya dalam proses pengungkapan makna terdapat subyektivitas masing-masing sufi. Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 95.
[10] Supaat Eko Nugroho, Muhammad ‘Abid Al-Ja>biri>: Studi Pemikirannya Tentang Tradisi (Turas\) (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Adab, 2007), hlm. 97-98.
[11] Ibn Nadim menyatakan bahwa “salah satu sebab tersebarnya buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu kuno pra Islam adalah bahwa al-Ma’mun dalam tidurnya bermimpi, seolah ada seorang laki-laki yang kulitnya putih kemerah-merahan, keningnya kuas, alis kanan dan kirinya bertemu, berkepala botak, matanya biru, dengan sorban yang bagus, duduk di tempat tidur al-Ma’mun. Kemudian Al-Ma’mun berkata “seolah di kedua tangannya dipenuhi dengan kemuliaan”, selanjutnya aku bertanya “Siapakah anda?” Dia menjawab, “Aku Aristoteles”. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku berkata “Wahai orang yang bijak, bolehkah aku bertanya”. Dia menjawab “Silahkan”. Aku bertanya “Apakah yang disebut kebaikan?” Dia menjawab,”Kebaikan adalah apa yang dipandang baik oleh akal”. Kemudian aku melanjutkan, “Kemudian apa lagi?”. Dia menjawab, “  Apa yang dikategorikan baik oleh syara’”. Aku bertanya lagi, “selanjutnya apa lagi?”. Dia menjawab, “Apa yang dipandang baik oleh Jumhur”. “Kemudian apa lagi?” tanyaku lagi. “Tidak ada yang lain”, jawabnya. Demikian adalah mimpi Al-Ma’mun. Lihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 368.
[12] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri …, hlm. 371-373. Penyebaran filsafat yang dianut al-Ma’mun ini tentunya mendapat tantangan atau perlawanan dari orang-orang maupun kelompok yang menentang daulah Abbasiyah, sebut saja al-Manawiyah dan Syi’ah. Aliran ini memiliki paham Gnostisisme, bagi al-Manawiyah adalah sesuatu yang menyerupai wahyu, yang mengaitkan para pengikutnya pada “guru” dalam posisinya sebagai orang yang menerima kebenaran dari atas (yatalaqqa al-haqiqah min a’la). Sedangkan Syi’ah sendiri mempercayai sepenuhnya terhadap peran “guru” terhadap ajaran-ajaran agama, konsep penyucian diri, ‘irfan, dan al-ilah al-muta’ali itu sendiri.
[13] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 392-393. Adapun salah satu dari sekian banyak warisan al-Kindi adalah ia berusaha membedakan secara tegas antara “’ilm al-rusul (pengetahuan para rasul)” dan “’ilm sair al-basyar (pengetahuan manusia pada umumnya)”. Yang pertama diperoleh dengan “tanpa pencarian, tanpa usaha keras, tidak melalui matematika, logika, namun semua atas kehendak-Nya dengan cara membersihkan jiwa dan menyinarinya dengan kebenarab disertai dengan bantuan, arahan, ilham dan risalah dari Tuhan. Yang kedua adalah ilmu manusia pada umumnya, dari teks yang ia tulis, jelas ia diperoleh dari usaha keras, melalui penalaran. Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 395.
[14] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 401 dan 412.
[15] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, 402.
[16] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, 403.
[17] Al-Farabi mengatakan: “Jika kita tidak memahami logika maka posisi kita selalu berkebalikan dengan lawan kita, dan yang lebih penting untuk diwaspadai daripada semua itu ketika kita hendak menilai pemikiran yang hendak berlawanan atau menjadi penengah antara dua kubu yang berselisih, dan terhadap ungkapan serta argumentasi yang dikemukakan masing-masing kubu untuk membenarkan pendapatnya dan menyalahkan kubu yang lain; jika kita tidak memahami logika, kira bersiap tidak berdasar pada yang kita yakini benar, siapa di antara meraka yang benar, bagaimana bisa benar, dari sisi mana ia benar, bagaimana argumentasinya meniscayakan kebenaran pemikirannya; dan kita tidak bisa menentukan yang salah, bagaimana dan dari sisi mana ia salah dan bagaimana pemikirannya tidak meniscayakannya benar. Lihat: Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 403.
[18] Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Nalar Arab: Formasi Nalar Arab (Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius), terj. Imam Khoiri…, hlm. 406.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar