Senin, 14 Juli 2014


METODOLOGI HERMENEUTIKA AL-JABIRI


A.    Pendahuluan

Hermeneutika tergolong disiplin ilmu baru dalam diskursus ulum al-Qur’an. Kehadirannya mengundang kecurigaan dan tanda tanya di kalangan para pemikir muslim terutama dari golongan konserfatif. Tidak jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan sentiment yang berlebihan terhadap Barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Karena hermeneutika lahir dan tumbuh di Barat.
Cara kerja hermeneutika tidak jauh berbeda dengan tafsir dalam islam bahkan sebagian sarjana muslim menyebutnya sebagai sesuatu yang sama namun dalam balutan baju yang berbeda. Memang antara hermenutika dan tafsir tidak dapat dipersamakan dalam semua hal, namun keduanya memiliki peran yang sama yaitu membantu pembaca dalam memperoleh pemahaman yang subyektif dari teks yang ia baca.
Pembacaan teks secara obyektif adalah hal yang sangat penting. Karena melalui pembacaan yang obyektif inilah seorang pembaca dapat mengetahui pesan yang disampaikan oleh teks yang dia baca atau memahami apa yang dikehendaki oleh penggagas teks.
Belakangan ini kesadaran akan pembacaan secara obyektif terus menjadi isu santer yang berhembus di kalangan cendikiawan muslim. Salah satu tokoh muslim yang mengajak kepada pembacaan teks secara obyektif adalah Muhammad Abid al-Jabiri. Melalui karya-karyanya yang berbicara mengenai al-Qur’an ide-ide tersebut ia jabarkan.
B.     Riwayat Sosial dan Intelektual Al-Jabiri
Muahmmad Abid al-Jabiri lahir pada tanggal 27 desember 1953 di Firguig, Maroko tenggara. Ia tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang mendukung Partai Istiqlal, sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan dan kesatuan Maroko yang pada waktu itu berada dalam koloni Perancis dan Spanyol. Ia mengenyam pendidikan secara formal untuk pertama kalinya di madrasah Hurrah al-Wathaniyyah (sekolah swasta nasionalis) yang didirikan oleh gerakan kemerkaan. Dari tahun 1951-1953 ia belajar di sekolah lanjutan milik pemerintah di Casablanca, setelah Maroko merdeka, ia melanjutkan studinya pada pendidikan tinggi setingkat diploma pada sekolah tinggi Arab dalam bidang ilmu pengetahuan.[1]
Pada tahun 1959 ia melanjutkan studinya di universitas Damaskus, Syiria, dibidang filsafat. Di tengah-tengah studinya, al-Jabiri terlibat aktif dalam percaturan politik nasional negaranya. Ia bergabung dengan  partai sayap kiri partai istiqlal yang kemudian mendirikan Union National Des Forces Populaires (UNFP) dan kemudian berubah nama menjadi Union Sosialeste Des Forces Populaires (USFP). Ia dan kawan-kawannya di UNFP di jebloskan ke penjara pada bulan Juli 1964 atas tuduhan konspirasi melawan negara. Namun pada tahun itu juga ia dikeluarkan dari penjara. Setelah itu ia mengajar di sekolah lanjutan atas dan aktif di bidang perencanaan dan evaluasi pendidikan.[2] Pada tahun 1967 ia menyelesaikan ujian negaranya dan selanjutnya mengajar di Universitas of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan formalnya diakhiri pada tahun 1970 dengan menyandang gelar doktor.[3]
Bersamaan dengan kondisi sosial politik dunia Arab kala itu dinamika intelektual sedang barada dalam goncangan dan persoalan yang dimunculkan olek kaum modernitas. Wacana ini dipicu oleh daya tarik superioritas Barat dalam berbagai aspek kehidupan. Kekalahan Arab atas Israel semakin mempertegas keraguan mereka untuk mempertanyakan ulang tentang masa keemasan kerajaan Islam Arab klasik. Problematika tersebut menjadikan para pemikir Arab terpolarisasi pada dua sisi ekstrim dalam menyikapinya. Dan kebanyakan mereka mengambil sikap ekletisme, yaitu menggabungkan apa yang kelihatan positif dalam dua bentuk pilihan tersebut.[4]
Al-Jabiri termasuk dalam golongan pemikir Arab yang melakukan eklektisme dalam mensikapi modernitas. Dalam artian, menggabungkan antara modernitas dan otentisitas tradisi yang bersumber dari islam sehingga ia tidak dimasukkan sebagai tokoh revolusioner pemikiran Arab. Namun lebih cocok disebut sebagai pemikir reformistik.[5]
C.     Corak Pemikiran Al-Jabiri
Sebagaimana telah disinggung di muka, corak pemikiran al-Jabiri adalah eklektisme, yaitu berusaha menggabungkan antara otoritas tradisi (turats) yang bersumber dari Islam dengan modernitas. Pemikiran semacam ini bertumbuh kembang dalam dinamika pemikiran Arab sebagi reaksi atas dua ekstrimitas pemikiran yang terjadi pada saat itu.
Turats dikalangan pemikir Arab selalu disandingkan dengan hadatsah (modernitas) karena problem antara turats dan hadatsah inilah yang mendominasi wacana pemikiran Arab kontemporer. Sebagi pemikir yang berkecimpung dalam tradisi, tak mengherankan jika al-Jabiri begitu berkepentingan untuk menelusuri akar tardisi yang membentuk nalar Arab. Turats kemudian menjadi gerbang bagi al-Jabiri untuk memasuki pemikiran Arab.[6]
Bagi al-Jabiri, turats bukanlah sisa-sisa atau warisan kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah penyempurnaan akan kesatuan dan ruang lingkup kultur yang terdiri atas doktrin agama atau syari’ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan harapan-harapan. Turats dengan demikian adalah berdiri sebagai satu kesatuan dalam seluruh kebudayaan Islam.[7]
Al-Jabiri memandang bahwa tawaran antara turats dan hadatsah bukanlah soal pilihan. Baginya tradisi dan modernitas datang begitu saja di hadapan kita tanpa ada kuasa bagi kita untuk memilihnya. Kita tidak pernah disuruh untuk memilih salah satunya ataupun meninggalkan keduanya. Mak bagi Al-Jabiri, yang terpenting adalah bersikap kritis terhadap keduanya.[8]
Tokoh-tokoh yang pemikirannya menjadi rujukan dan teoritis al-Jabiri adalah para tokoh dalam tradisi pemikiran Prancis. Antara lain Michel Fochault, Levi Strauss, Regic Debray, A. Lalande dan Louis Althusser.
D.    Metodologis Pemikiran Al-Jabiri
Persoalan utama hermeneutika senantiasa berkutat pada pencarian makna teks, apakah makna subyektif atau obyektif. Karena itu, ada tiga bentuk hubungan hermeneutika: hubungan antara penggagas dengan teks; hubungan pembaca dengan penggagas; dan hubungan pembaca dengan teks. Dalam persoalan ini al-Jabiri mencoba bersifat netral dengan berusaha untuk tidak terjerembab pada satu sisi pemahaman subyekfif atau obyektif. Bagi al-Jabiri obyektifitas merupakan hal yang penting sebagai landasan dalam memahami teks. Hal ini tampak dari bagaimana ia dengan tegas mewanti-wanti untuk tidak membaca makna sebelum membaca kata-kata.dalam hal ini seorang penafsir harus meletakkan semua prasangka ideologisnya ketika pertama kali berhadapan dengan teks. Langkah ini mengandaikan prinsip-prinsip hermeneutika fenimenologis, di mana subjek harus melepaskan diri atau, menurut istilah Husseerl, menaruh antara tanda kurung semua mengandaikan dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya –langkah ini disebut epche. Lewat proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur kesementaraan yang tidak hakiki, sehingga tinggal hakikat objek (eidos) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.[9] Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari otoritarianisme interpretasi. Yaitu suatu metode interpretasi yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna suatu teks kepada pembacaan yang bersifat “subjektif” dan “selektif”. Dalam konteks ini seolah-olah pembaca yang bersangkutan paling mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pengarang dan teks.
Hermeneutika yang ditawarkan al-Jabiri bersifat negosiatif. Dalam artian ada kompromi antara pembaca dan teks. Di satu sisi teks dibiarkan berbicara apa adanya, namun di sisi lain pembaca diberi kesempatan untuk menafsir ulang sesuai dengan kebutuhan. Konsep al-fashl dan al-washl yang ditawarkan oleh al- Jabiri bukanlah hal yang baru dalam diskursus hermeneutika.[10] Karena, meskipun apa yang digagasnya adalah perpaduan antara obyektifitas dan subyektifitas yang seimbang, tak urung ide obyektifitasnya lebih terlihat mendominasi konsepnya. Dalam kaitan hubungan antara pembaca dengan teks dan penggagas, terdapat tiga bentuk hubungan hermeneutika yaitu; teoritis, filosofis, dan kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar.[11] Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki oleh penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka model hermeneutika semacam ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk “merekonstruksi makna”.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini adalah bagaimana tindakan memahami itu sendiri. Hermeneutika model ini digagas oleh Gadamer. Menurutnya, hermeneutika ini berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi.  Karena itu dengan mengmbil konsep fenomenologi, Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah ontologi, bukan metodologi.[12]
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuaan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Dalam hal ini, Habermes menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutikanya yang justru oleh kedua model hermeneutika sebelumnya diabaikan. Pengertian sesuatu yang berada di luar teks tersebut adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karene itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.[13]
Dari ketiga model hermeneutika di atas, di manakah posisi hermeneutika al-Jabiri? Tampaknya hermeneutika al-Jabiri tidak bisa lepas dari kedua model hermeneutika pertama, teoritis dan filosofis. Dalam hal hermeneutika teoritis ia mengakui historis al-Qur’an dan dalam hal hermeneutika filosofis ia mengakui ke-azaliah-an al-Qur’an. Ada juga kecurigaan terhadap teks yaitu ketika ia menawarkan kritik ideologisnya. Namun menurutnya hal itu tidak berlaku dalam al-Qur’an, karena sebagai kalam Allah ia terlepas dari ideologi manapun dan bahkan ideologi mesti disingkirkan saat membaca pertama kali berhadapan dengan teks. Langkah pemahaman dengan mendahulukan membaca teks daripada makna, yang berarti makna harus digali dari aspek struktur teks dan kemudian dilanjutkan dengan kritik historis, adalah sebanding dengan apa yang digagas oleh Emilio Betti. Seorang tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang mencoba memadukan antara teori Schleirmarcher dan Wilhelm Dilthey menawarkan empat momen gerakan dalam menemukan makna obyektif: pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks; kedua, penafsir harus mengkosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan; ketiga, penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan wawasan; dan keempat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks. Dari keempat langkah yang ditawarkan oleh E. Betti, langkah ketiga  dimana seorang pembaca harus menempatkan dirinya pada posisi penggagas, adalah hal yang tidak didapati dalam konsep hermeneutika al-Jabiri.
E.     Penutup
Al-Jabiri menyarankan kepada pembacaan yang obyektif melalui pembacaan kata sebelum makna. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan ideologis pembaca harus diletakkan ketika berhadapan dengan becaan. Al-Jabiri menyadari bahwa pembacaan yang berorientasi pada obyektifitas semata akan tidak memberikan kontribusi bagi kondisi kekinian pembaca. Karena agar teks selalu dinamis dan kontemporer, rasional subyektif diberikan ruang geraknya. Untuk mengawal pembaca agar tidak terjebak dalam suyektifitas pembaca dan kekakuan obyektifitas, al-Jabiri memberikan jembatan dengan konsep al-fashl dan al-washl yang dianggapnya dapat menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk dirinya sendiri dan untuk pembacanya sepanjang masa.wallahu a’lam.


[1] Wahid Harmaneh, “pengantar” dalam al-Jabiri, kritik kontemporer Atas Filsafat Arab Islam, terj. M. Nur Ichwan (yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. Xvii-xviii
[2] Ibid.
[3] Ibid, hlm. xix
[4] Ibid, hlm. Xxiii-xxiv
[5] http:// media isnet.org/Islam/paramadina/juranal/ rab 2. Html, oleh Abdullah Afandi dalam “Pemikiran Tafsir Muhammad Abid Al-Jabiri; Staudi Analisis Metodologis”, Tesis (yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga 2008), tgl 28 Oktober 2008
[6] Abdullah Afandi, ‘Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri, hlm. 55
[7] Muhammad Abid Al-Jabiri, Al-Turats wa Al-Hadatsah, hlm. 24
[8] Abdullah Afandi, ‘Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri, hlm. 56
[9] Maulidin, “Sketsa Hermeneutika” dalam Gerbang, Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, hlm. 17
[10] Al-Fashl adalah sebagai langkah mengatasi problem obyektifitas dalam pembacaan, diaplikasikan dalam al-Qur’an dengan menanggalkannya dari segala atribut yang menyertainya yang termaktub sebagai hasil penafsiran dan segala bentuk pemahaman atasnya. Al-washl adalah sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas dalam pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan membawa makna otentik al-Qur’an ke dalam konteks masa kini. Lihat Al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim, hlm. 87 sebagaimana dikutib oleh Abdullah Afandi dalam “pemikiran Tafsir Muhammad Abid Al-Jabiri, tesis”, hlm. 87
[11] Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an, Hermeneutika Dan Kekuasaan (Bandung: Rqis, 2003), hlm. 42-46
[12] Richard King, Agama, Orientalisme dan poskolonialisme: sebuah kajian tentang perselingkuhan antara Rasionalitas dan Mistis, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm. 138.
[13] Aksin Wijaya,  Arah Baru Studi ulumul Qur’an, hlm. 192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar