Senin, 14 Juli 2014

PENDEKATAN BAYANI, BURHANI DAN IRFANI
MENURUT MUHAMMAD ‘ABID AL JABIRI


Seperti pada uraian sebelumnya bahwa ide pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani awalnya dikemukakan oleh Muhammad ‘Abid al Jibiri dalam buku-bukunya :
  1. Takwin al Aql al Araby,
  2. Bunyah al Aql al Araby, Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nudzumi al Ma’rifah fi al Tsa qafah al Arabiyah.
Kedua buku ini berisi kajian yang mendalam tentang keislaman dalam tataran humanties (kemanusiaan) secara umum. Sedang kitabnya yang ketiga yakni :
  1. Al Aql al Siyasi al Araby, merupakan aplikasi dalam sosial politik masyarakat muslim.
Dari pemikiran Dr. al Jabiri ini oleh Prof. Amin Abdullah diteorikan dengan epistimologi Ta’wilul Ilmiy. Buku-buku al Jabiri di atas, khususnya buku kedua berisi pendekatan pemikiran berupa analisa kritis dan pencerahan dalam pemikiran terhadap syari’ah dalam arti luas (Akidah, Ahkam dan Akhlak) melalui sumbernya. Syari’ah yang sumber pokoknya al Qur’an, dijadikan subyek dan obyek kajian akal.
Selama ini nash (teks) al Qur’an sebagai subyek ditafsirkan dengan istilah bayani yang pengertiannya adalah teks sesuatu yagn sudah matang untuk diterapkan. Tidak juga didudukkan sebagai obyek kajian, pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi.Padahal mendudukkan nash, pemahaman, pemanaknaan, dan interpretasi. Padahal mendudukkan nash sebagai obyek disamping subyek kajian inilah yang merupakan pengembangan pemikiran dalam studi keislaman yang oleh Prof. Amin Abdullah dimaksudkan dengan At Ta’wil Al ‘Ilmi yang diungkapkan sebagai wacana pengembangan pemikiran penafsiran terhadap al Qur’an. Maksudnya al Qur’an dijadikan sebagai subyek dan obyek telaah ilmu keislaman yang baru.
Penulis pribadi yang berkecimpung dalam ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih menilai apa yang dikemukakan oleh al Jabiri, bukan sesuatu yang sangat baru dan mengejutkan. Karena dalam ilmu ushul fiqih ada qaidah lughwiyah dan qaidah syi’iyyah. Qaidah lughawiyah yang perkembangannya didasarkan pada qiyas dan perkembangan dalam masyarakat. Sedang qaidah syir’iyyah, yang didasarkan pada nash-nash (teks) dalam al Qur’an maupun hadits.
Dr. Al Jabiri sendiri dalam kitabnya Bunyatul ‘aqli al ‘Araby dalam mengemukakan pendekatan bayani itu mulai dengan memaknakan al Bayan dari segi bahasa dan pemakaian para pakar terhadap kata istilah al Bayan itu. Dalam paparannya, dikemukakan bahwa al Qur’an menyebut kata dengan menggunakan akar kata ba, ya, dan nun, sampai 250 kali. Sedang Ibnu Mundhur (ahli bahasa) dalam bukunya lisanul a’rab menyimpulkan ada lima arti pokok al Bayan, yaitu :
  1. Menghubungkan satu dengan yang lain.
  2. Memutuskan satu dengan yang lain.
  3. Mengungkap satu pengertian dengan jelas.
  4. Mengemukakan pengertian tentang kemampuan menyampaikan sesuatu dengan jelas.
  5. Kemampuan manusia menyampaikan penjelasan.

Asy Syafi’iy disamping keahliannya bidang fiqih dan ushul fiqh, juga terkenal alih bahasa, mengemukakan tentang fungsi bayani ini pada dataran teori ilmiyyah yang kemudian oleh Al Jahidh diletakkan dalam datara praktis.
Adapun al Jahidh, seorang mufassir yang banyak menyoroti ayat dari segi bahasa, seperti pemikiran al Jabiri, mengemukakan bahwa sehubungan dengan al Bayan ini perlu diberi batasan, sehingga kalau diterapkan dalam pemaknaan al Qur’an dapat sesuai. Untuk itu al Jahidh menulis dua kitab :
  1. Nudhumul Qur’an (susunan kata al Qur’an).
  2. Ayul Qur’an (ayat-ayat al Qur’an).
Di samping itu al Jahidah yang juga dikualifikasikan ahli ilmu kalam itu menulis buku yang bernama “al Bayan wat Tabyin”. Dalam kitab itu memberikan syarat efektivitas ketentuan bayani itu pada :
  1. Kelancaran pengucapnya.
  2. Baik pilihan kata-kata.
  3. Dapat mengungkapkan maksud pembicaraan yang lengkap dengan :
  1. Kata-kata yang baik dan jelas.
  2. Isyarat-isyarat yang tepat.
  3. Tulisan yang terang.
  4. Dengan janji dan persetujuan.
  5. Dengan kenyataan yang ada yang berupa fakta.
  1. Bayan dari segi balaqhah (seni sastra) adalah ungkapan kata-kata dalam susunan yang dapat memberikan makna yang jelas.
  2. Dari segi kekuasaan bayan juga dimaksudkan untuk dapat mempengaruhi orang lain.
Kalau mau dirumuskan dalam satu ungkapan, bahwa menurut al Jahidh kata al Bayan itu adalah kata yang umum yang meliputi bermacam-macam pengertian. Rincian pengertian bayan itu antara lain dapat difahami oleh akal manusia, sehingga bayan dan akal manusia itu dua hal yang saling melengkapi. Demikian dikemukakan Ibnu Wahab.
Oleh al jabiri dikatakan bahwa Ibnu Wahab membagi bentuk bayan dalam empat macam :
  1. Bayan al I’tibar (ialah sesuatu yang dapat membawakan pada pengertian, yang dibagi dua :
    1. Yang nampak didapati dengan panca indera seperti panasnya api dapat diketahui dengan meraba benda yang panas.
    2. Yang tidak nampak, tetapi dapat dicapai dengan menyamakan (qiyas) dan dengan memahami berita.
  2. Bayan al I’tiqad, (ialah yang dapat membawa pengertian dalam fikiran dan membawa keyakinan dalam hati).
  3. Bayan al ibarah (ialah pernyataan yang dapat menunjukkan pada usatu pengertian, baik yang dhahir yang tidak memerlukan pada tafsir (penjelasan) lebih lanjut maupun yang bathin yang memerlukan pada penjelasan (tafsir). Yang bathin lebih lanjut dapat dicapai dengan menggunakan sistem qiyas dan pemikiran dan menggunakan dalil dan khabar. Adapun yang dimasukkan dalam qiyas dan pemikiran setelah istidlal adalah ijtihad dalam memahami arti yang dimaksudkan oleh bayan tersebut. Sedang khabar adalah sunnah yang menjelaskan terhadap syari’at.
  4. Bayan al kitab, (tulisan) yang akan memberi penjelasan orang sesudahnya dan orang yang tidak hadir pada waktu itu.
Kesimpulan yang diberikan oleh Dr. M.A. Al Jabiri ialah bahwa al Bayan itu dapat dibagi dua, yakni :
  1. Sesuatu yang diterima (mauhuban) dan
  2. Sesuatu yang diusahakan dan ditanggapi (maksuban).
Jadi prinsip pendekatan al Bayan ialah gambaran akal yang merupakan gharizah (insting) yang tidak akan sampai pada perwujudan yang dimaksud kecuali dengan usaha pencarian manusia dengan perantaraan khabar (nash) maupun dengan perantaraan nadzar (pemikiran). Pemikiran ini adalah kemampuan dan usaha akal dalam menanggapi dan menangkap petunjuk atau dalil yang disebut amarat. Dalam pengamatannya Al Jabiri setelah mengemukakan bahwa asy Syafi’i sebagai ahli bahasa dan ahli fiqih/ushul fiqih telah membuat qaidah-qaidah tentang tafsirul khithap (qaidah tentang penafsiran terhadap nash). Juga al Jabiri mengemukakan pendapat al Jahidh yang telah menelurkan qaidah-qaidah menuju kepada hasil-hasil khitap. Dan Ibnu Wahab yang telah menelurkan jalah dalam rangka mendapatkan pengertian yang dapat mendatangkan keyakinan. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa sebenarnya pemikiran ahli bahasa, ahli kalam, dan ahli ushul dan fiqih keseluruhan menggunakan al Bayan dalam memahami nash-nash baik sebagai subyek maupun obyek.
Lebih lanjut oleh al Jabiri dikemukakan bahwa dalam lapangan bahasa seperti ilmu nahwu ada cara yang penerapannya menggunakan ilmu mantiq seperti dalam penggunaan bentuk kata benda yang menggunakan bentuk isim alat, isim makan (tempat), dan sebagainya. Juga dalam menghubungkan lafadl (kata) dengan maknanya.
Demikian pula pada ilmu ushul fiqih, dalam memahami nash sebagai sumber yang harus difahami sebagai subyek juga menggunakan qaidah yang dibentuk atas dasar :
    1. Qaidah lughawiyyah, dan
    2. Qaidah syar’iyyah.
Keduanya mendudukkan adanya epistimologi ijtihad yang termasuk didalamnya menjadikan rumusan maqashidusy syari’ah (tujuan penetapan hukum) adalah kemashlahatan.
Dalam ilmu kalam adanya perbedaan pendangan apakah al Qur’an qadiem atau hadits (sesuatu yang baru) dan selesailah perdebatan itu dengan penyelesaian bahwa al Qur’an itu Qadiem makna-maknanya sedang lafadl serta hurufnya adalah hadits (baru, maksudnya makluq) maka lafadl dan huruf al Qur’an itu lafadlnya dapat ditanggapi oleh akal (fikiran) manusia maksudnya, tidaklah tabu fikiran manusia itu mengembangkannya sebagai mana dalam bahasa ada qiyas dan dalam fiqih ada ijtihad.
Pengembangan pemikiran ini merupakan wacana yang terus menerus perlu dikaji dalam rangka menatap kemajuan dimasa kini dan mendatang. Metode memahami nash dengan tafsir dan ta’wil ala mufassirin, dikembangkan menjadi dengan tafsir dan ta’wil ilmiy, penta’wilan nash dengan menjadikan nash, dijadikan pula obyek disamping subyek. Tentu metodenya pun harus difikirkan untuk tidak keluar dari jalur kebenaran. Kebenaran yang berdasarkan pada wahyu yang diterima untuk difahami dan diamalkan sebagai sumber agama juga kebenaran yang dapat difahami dan diamalkan agama sebagai rahmatan lil ‘alamien. Untuk itu diperlukan pendekatan lain yakni irfani dan burhani yang akan dibicarakan pada rubrik manhaj ini yang akan datang. Insya Allah.

Sumber: SM-06-2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar